Panglima Sagoe
Panglima Sagoë adalah pimpinan masing-masing sagoë (sagi) yang merupakan wilayah kerja administrasi pemerintahan di masa kerajaan Aceh yang terletak di bagian barat selatan dan timur kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Panglima Sagoë. Panglima Sagoe ini berfungsi untuk menjalankan roda pemerintahan kerajaan agar berjalan sebagaimana mestinya dibawah pimpinan negeri atau Ulee Balang. Penyebutan Panglima Sagoë merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada keturunan bangsawan atau seseorang yang memiliki jabatan untuk pimpinan sagi, seperti penyebutan salah satu tokoh yaitu Panglima Polem.[1] Pada masa pemerintahan Sultanah Tajul Dunia Safiatuddin, Syekh Abdur Rauf mengusulkan konsep reformasi konstitusi kepada Kerajaan Aceh untuk mereformasi sistem suksesi sultan. Karena pernah ada kasus dimana Aceh pernah diperintah oleh sultan/sultanah yang tidak cakap sehingga menimbulkan konflik.[2] Paham ini mengatur berbagai hal, salah satunya adalah pembagian kekuasaan di wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë. Menurut Syekh Abdur Rauf, tiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul berhak mengangkat dan memberhentikan sultan. Pada saat yang sama, Lhèè Sagoë, di luar Aceh, diberikan hak otonomi yang luas, dengan kepala daerah berfungsi sebagai sultan kecil di bawah Sultan Aceh.[3] Sejarah Aceh Lhèe SagoëDalam sistem dan struktur pemerintahan kerajaan Aceh Darussalam terdapat kurang lebih 37 gelar kehormatan menurut tingkatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Gelar Panglima Polem merupakan salah satu dari beberapa gelar kehormatan yang khusus diberikan kepada seorang keturunan darah bangsawan Aceh. Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Aceh, Panglima Polem Sagoë XXII Mukim (Pedalaman Aceh Besar) adalah pejabat dengan tambahan gelar Sri Muda Setia Peurkasa. Sedangkan di sebelah kanan Aceh Besar, Panglima Sagoe Mukim XXVI disebut Sri Imam Muda dan di sebelah kiri Mukim XXV disebut Setia Ulama. Meskipun masing-masing panglima sagu bertanggung jawab atas Uleebalang, Imeum Mukim dan Keuchik, hanya sagi-sagi dalam negeri yang berhak menyandang gelar Panglima Polem.[4] Masa Pemerintahan Sultanah Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688 M), Qadhi Malikul Adil (Mufti Agung) mengutus Syekh Abdur Rauf, yang sebelumnya menjadi mufti pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin Syah. Salah satu sumbangsih penting Syekh kepada kepemimpinan sultanah adalah nasehatnya untuk melakukan perubahan sistem pemerintahan Kerajaan Aceh, seperti UUD Kerajaan Aceh yang disebut dengan Adat Meukuta Alam. Sultanah mengikuti saran itu untuk melakukan perubahan struktur pemerintahan. Pusat kerajaan Aceh yang dikenal dengan Aceh Rayeuk (Aceh Besar) atau inti Aceh dibagi menjadi tiga bagian federal. Ketiga persekutuan ini disebut tiga hikayat atau didalam bahasa Aceh disebut dengan Lhèè Sagoë.[5] Setiap Sagoë terdiri dari beberapa mukim, yakni sebagai berikut:
Kecamatan Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan Masjid Indrapurwa Pancu di tengah. Sagi XXVI Mukim kanan dan tengah Masjid Ladong. Sagi XXII Mukim mendominasi wilayah di selatan dan terletak di masjid di Indrapuri. Referensi
|