Pangeran Anglingkusumo

Anglingkusumo
Gusti Pangeran Haryo
Kelahiran8 Januari 1944 (umur 80)
Jepang Yogyakarta, Pendudukan Jepang
PasanganSetianingsih Moerwengdyah Anglingkusumo
Nama lengkap
Gusti Pangeran Haryo Anglingkusumo
WangsaPaku Alam
AyahPaku Alam VIII

Pangeran Anglingkusumo atau lengkapnya yakni Gusti Pangeran Hario H. Anglingkusumo (GPH. H. Anglingkusumo) (lahir 8 Januari 1944) adalah putra dari Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII. Dia adalah memiliki istri bernama Ir. KRAy. Hj. Setianingsih Moerwengdyah Anglingkusumo, S.Pd.,M.Eng. yang juga akrab disapa dengan sebutan Bunda Angling. Dia memiliki 3 orang putri antara lain:

  1. RA. Retno Setyoboma Savitri Kusumoputri, S.H.,M.M. MBA Aviation (BRAy. Wasitonagoro).
  2. RA. Dyah Renggowati Retno Puasa Setyawati Kusumodewi, S.Sos. (BRAy. Satyonagoro).
  3. RA. Retno Puspita Mandarwati Kusumawardhani, S.E.,M.M. (BRAy. Wiroyudho)

Sampai dengan usia lanjutnya, Gusti Pangeran Haryo Haji (GPH. H) Anglingkusumo yang juga akrab disapa dengan Kanjeng Angling sudah menjalani hidup berimbang sejak muda. Untuk menjaga kesehatan fisik, mental dan mengasah sportivitas, Kanjeng Angling – begitu akrab disapa – aktif di bidang olahraga.

Riwayat Hidup

Sebagai atlet panahan, Kanjeng Angling pernah menjadi delegasi Indonesia dalam tim Panahan Nasional pada Kejuaran Dunia di Swedia tahun 1965. Pernah juga menjadi pelatih Olahraga Panahan di IKIP thun 1983 – 1984. Sampai kini, Kanjeng Angling masih dipercaya sebagai Penasehat Perpani (Persatuan Pemanah Indonesia) DIY. Olahraga menembak juga pernah ditekuninya. Kanjeng Angling memperoleh penghargaan 20 medali emas, perak dan perunggu dari cabang olahraga Panahan dan menembak tingkat Daerah dan Nasional.

Olahraga sepeda juga ditekuninya justru setelah Kanjeng Angling menginjak usia 50 tahun. Bersepeda bukan hanya sekkedan pengisi waktu di kala libur, melainkan lebih dari itu, juga menawarkan olahraga pembakar lemak yang efektif serta rekreasi.

Untuk menyalurkan jiwa seninya, Kanjeng Angling sejak muda aktif sebagai profesional dunia fotografi. Ini terbukti, hampir 20 tahun lamanya sampai dengan tahun 1994, Kanjeng Angling dipercaya sebagai Ketua Himpunan Seni Foto Amatir (HISFA) Yogyakarta. Dan sampai sekarang masih duduk sebagai penasehat.

Seiring dengan bertambahnya usia, Kanjeng Angling terus menekuni berbagai bidang yang langsung dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak. Pada tahun 1979 mendirikan Yayasan Notokusumo yang bergerak di bidang pendidikan tinggi Keperawatan dan Administrasi Negara. Bidang kesehatan pun ditekuninya. Kanjeng Angling adalah salah seorang pendiri Rumah Sakit Ludira Husada Tama Yogyakarta. Kecintaannya terhadap peninggalan budaya leluhur diujudkan dengan ketekunannya mengelola Museum Pura Pakualaman.

Banyak hal bisa dilakukan secara bersamaan. Kanjeng memilih berwiraswasta. Sebagai putra seorang Wakil Gubernur pastilah mudah untuk menjadi PNS. Tapi lain dengan kanjeng Angling. Berbisnis sebagai agen Pertamina serta pemborong bangunan dan jasa konstruksi menjadikan Kanjeng Angling berkiprah lebih leluasa.

Ketajaman di bidang ajaran luhur Pura Pakualamanpun terus diasahnya. Dalam berbagai tulisannya, Kanjeng Angling menyebutkan, Paku Alam V adalah peletak dasar intelektualisasi Dinasti Paku Alam yang mendorong putra-putra PA beserta sentana Paku Alam untuk menempuh studi di perguruan yang maju bahkan sampai ke luar negeri. PA V berpandangan bahwa pembentukan intelektual itu merupakan kebutuhan mendesak dan mendasar.

Kanjeng Anglingkusumo tergerak untuk menekuni dunia pendidikan dikarenakan mengikuti jejak pendahulunya. Pangeran Notodiprodjo, putra Sri Paku Alam V dengan kesadarannya mendirikan Yayasan Beasiswa Darmoworo guna membiayai dan membantu orang-orang Jawa yang ingin melanjurkan studi ke Eropa.

Sebagai sosok yang berwirausaha penuh serta terjun langsung membidani lahirnya perguruan tinggi swasta mampu menginspirasi seorang mantan Fungsionaris Koperasi Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN) tahun 1998 – 2001, Ahmad Baihaki AM menyebutkan, penekanan Kanjeng Angling terhadap gerakan moral dengan strategi kultural merupakan ciri dia. Kata Baihaki:”Belaiau cukup smart, analisis tajam, detail tapi sangat komprehensif dalam pengambilan keputusan. Dimenasi spiritual wirausaha menjadikan dia sebagai entrepreneur yang bisa menjadi suri tauladan umat.”

Profesor Dr Amri Yahya (alm) pernah membuat catatan bahwa GPH Anglingkusumo adalah satu-satunya keturunan langsung alm. Paku Alam VIII yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan, seni dan budaya. Dan kepedulian seperti itu sangat dibutuhkan bila sebiuah dinasti akan tetap menjadi bagian dari masyarakat modern. Bahkan Prof Amri Yahya waktu itu menegaskan, banyak kegiaatan Pak Angling maupun Bu Angling yang terdokumentasi di media cetak maupun elektronik.

Amri Yahya pun waktu itu mengingatkan. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: ”Serahkan pada ahlinya, kalau tidak, tunggu kehancurannya.” Bahkan Prof Amri telah lama meneropong Dinasti Pakualaman. Banyakkah kegiatan seni dan budaya melalui pentas dan pameran-pameran yang digelar di Bangsal Pakualaman? Kalau ternyata jumlah event yang digelar sangat kurang, itu namanya pemimpin dinasti yang hanya mampu memimpin kerabat Pakualaman. Padahal yang dibutuhkan seorang pemimpin Wangsa lebih dari itu. Kepedulian yang tinggi terhadap seni, budaya dan pendidikan dimiliki sosok Kanjeng Anglingkusumo.

Seniman gaek Azwar AN (71 tahun) yang saat ini menjabat sebagai Ketua Bidang Seni dan Budaya Keluarga Minangkabau Yogyakarta mengenal sosok Kanjeng Angling sebagai seorang bangsawan yang berjiwa kerakyatan. “Pak Anglingitu sosok keluarga ningrat dari Pakualaman yang supel dan selalu berperhatian terhadap lawan bicara, meskipun yang mengajak bicara itu rakyat biasa”. Tambah Azwar lagi: ”Saya lebih terkesan lagi dengan Pak Angling karena perhatiannya terhadap dunia seni dan budaya. Hampir semua karya seni tradisi sampai modern diperhatikan secara cermat. Bahkan dia menguasai dunia fotografi.”

Di mata Azwar AN, GPH Anglingkusumo telah berhasil mendidik dan menempatkan istrinya. Di era gender seperti saat ini, Ir. KRAy. Hj. Setianingsih Moerwengdyah Anglingkusumo S.Pd.,M.Eng. yang berpendidikan modern itu tetap dapat menempatkan diri selaku istri yang tut wuri. Bahkan, Bu Angling juga sangat conceren terhadap pengembangan seni dan budaya di dalam dinasti Pakualaman serta di tempat lain.

Pangeran Anglingkusumo dan Suksesi Pakualaman

Pada rapat pleno ahli waris tanggal 25 November 1998 disepakati,” Proses Suksesi merupakan Hak Eksklisif ahli waris KGPAA. Paku Alam VIII, untuk itu ahli waris melakukan dengan musyawarah dan mufakat.

Hal yg sama disampaikan oleh sesepuh Hudyono pada rapat kerabat 23 November 1998 di Jakarta, ”Suksesi Pimpinan Projo Paku Alaman dan Kepala Keluarga Besar Trah Pakualaman adalah bersifat intern keluarga dan karena itu diselesaikan oleh Ahli Waris Sri Paduka KGPAA. Paku Alam VIII yang terdiri dari 2 Garwo dan para putra kakung serta putri.

Terjadi rapat keluarga pada tgl 7 Maret 1999, dibahas antara lain masalah Paugeran Jawi (hukum adat tidak tertulis) dan Ibu sepuh (ibu yg dituakan). Pada rapat tersebut diakui oleh KRAy. Purnamaningrum bahwa dia adalah istri yang MUDA dengan panggilan diajeng/adik dan KRAy. Ratnaningrum adalah istri yang DITUAKAN dengan panggilan Mbakyu/kakak. Hal tersebut merujuk pada bukti-bukti lain:

  1. Merujuk pada Janji yg diucapakan oleh KGPAA. Paku Alam VIII dihadapan kakek kandungnya SISKS PB X ketika meminang KRAy. Ratnaningrum sebagai istri untuk apabila putri Solo tersebut (KRAy. Ratananingrum) datangnya belakangan supaya dijadikan ISTRI yang nomor 1/ DITUAKAN. DITUAKAN artinya adalah apabila anak pertama dr istri yang dituakan lali-laki maka posisinya akan dituakan/atau merupakan anak pertama yang berhak atas Tahta. Adanya Janji tersebut merujuk pada bukti-bukti antara lain;
  • Surat Keterangan Resmi SISKS PAKOE BOEWONO XII,
  • Surat Keterangan Resmi para saksi hidup GRAY. Brotodiningrat (Putri PB X), GRAY. Kusumojati (putri PB X), Ray. Sumodiningrat (bedoyo PB X), Nyai Lurah Hamung Sugata (abdi dalem keparak).
  1. Dengan adanya janji tersebut diberikanlah tetenger dari nenek KGPAA. Paku Alam VIII (istri SISKS PB X) yaitu KBRAy. Retno Purnomo dipecah 2 menjadi:
  • Retno + Ningrum = KRAy. Ratnoningrum yg didahulukan/dituakan, dan
  • Purnomo + Ningrum = Purnamaningrum yang di belakang/dimudakan.

Namun hal-hal lain masalah suksesi belum memperoleh titik temu namun sudah dinyatakan final oleh GPH.Ambarkusumo sehingga terjadi walkout oleh GPH. Probokusumo dan GPH. Songkokusumo. Oleh sebab itu kemudian disepakati perlunya mediator yg diambil dari sesepuh Hudyono. Namun secara mengejutkan pada rapat terakhir tanggal 18 April 1999 disampaikan sebuah Deklarasi yang dibuat oleh 12 orang sesepuh kerabat berpangkat pangeran lurah/bupati mengatasnamakan Hudyono yang dibuat tgl 6 April 1999 di Jakarta isinya: Mendukung dan Menobatkan GPH. Ambarkusumo sebagai Paku Alam IX dan meNYISIHkan pihak-pihak yang tidak setuju terhadap penobatan itu baik dari internal maupun external. Berdasarkan Deklarasi tersebut maka GPH.Ambarkusumo melakukan Jumenengan sebagai Paku Alam IX tanpa ada persetujuan dari seluruh ahli waris. Pihak GPH. Ambarkusumo juga menolak penggunaan Akta Notaris pada waktu Jumenengan yang diusulkan pada saat rapat terakhir serta menolak perlunya tanda tangan persetujuan dari Ahli Waris yang lain. Pihak Ambarkusumo juga menolak dan tidak mau menggubris semua bukti-bukti tentang adanya Janji KGPAA Paku Alam VIII dengan kakek kandungnya SISKS. PB X. Pihak GPH. Ambarkusumo juga tidak mendudukkan hak dan kewajibannya sebagai Paku Alam terhadap adik-adiknya dan tidak mendudukkan / membagikan hak waris dari seluruh ahli waris yang sah baik itu merupakan harta pribadi mendiang Alm. KGPAA.Paku Alam VIII ataupun Harta Keprabon/ Harta Kerajaan sampai detik ini. Pihak GPH. Ambarkusumo juga melakukan bongkar paksa terhadap kamar mendiang alm.KGPAA.Paku Alam VIII dan mengambil semua barang-barang berharga secara sepihak. Pihak GPH. Ambarkusumo juga melakukan bongkar paksa terhadap museum Puro Pakualaman yang selama ini dikelola oleh GPH. Anglingkusumo.

Dengan demikian maka pihak KPH. Probokusumo menyatakan bahwa Jumenengan GPH. Ambarkusumo TIDAK SAH dan CACAT HUKUM dengan tidak adanya persetujuan dari seluruh Ahli Waris Tahta yang Sah, tidak menggunakan Akta Notaris yang diakui oleh hukum Negara dan Hanya berdasarkan Deklarasi yang mengatasnamakan Hudyono yang melanggar AD-ART Hudyono serta yang notabene hanya berfungsi sebagai mediator. Hudyono tidak memiliki mandat dari Ahli Waris untuk melakukan Jumenengan dan tidak memiliki Hak untuk memilih atau menjumenengkan seorang raja di dalam AD-ARTnya.Paguyuban Hudyono sendiri adalah paguyuban yang Tidak Berbadan Hukum/Tidak punya Akta Notaris Pendirian sehingga Deklarasi tersebut Tidak memiliki dasar hukum/ Cacat Hukum.

Perlu diketahui bahwa setelah KGPAA. Paku Aam VIII mangkat maka tas kantor yang selalu dibawa dia sehari-hari yang berisi 3 map, uang dan kunci brankas (menurut keterangan abdi dalem yang meladeni dia sehari-hari dan yang terakhir membantu dia memasukan isi tas tersebut) HILANG sampai sekarang tidak diketemukan. Yang kami ketahui terjadi adalah pernyataan KRAy. Punamaningrum yang mengatakan bahwa dia menemukan kunci brankas kuno yang berada di dalam kamar almarhum yang notabene berada didalam TAS yang HILANG (menurut keterangan abdi dalem yang terakhir memasukan isi tas sebelum KGPAA. Paku Alam VIII mangkat). Tas tersebut diDUGA berisi SURAT WASIAT yang ditinggalkan almarhum mengingat berdasarkan keterangan wartawan sejak tahun 1989 sebetulnya Dia telah menunjuk pengganti/ Putra Mahkota.

Mencuatnya Kembali Permasalahan Suksesi Puro Paku Alaman

Pada tahun 2001 GPH. H. Anglingkusumo membuat sebuah buku mengenai suksesi Puro Pakualaman dengan judul “Sebuah Dinasti yang Terkoyak”. Buku tersebut kemudian dibedah melalui bedah buku yang dilaksanakan oleh Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia. Hasil dari bedah buku tersebut adalah disarankannya oleh beberapa pakar untuk menuntut melalui PTUN menimbang bukti-bukti yang cukup lengkap dan memadai.

Dengan semangat, ”Mikul duwur mendhem jero” dan menghindari keributan yang lebih besar maka saran para pakar belum dilaksanakan oleh GPH. Anglingkusumo. GPH. Anglingkusumo lebih memilih cara persuasif dengan berharap bahwa dengan berjalannya waktu maka ada kesadaran dari pihak GPH. Ambarkusumo ataupun Hudyono untuk kemudian melakukan upaya rekonsiliasi seperti yang terjadi pada Puro Mangkunegaran di Solo.

Berdasarkan permintaan dari salah satu penerbit maka dibuatlah buku “Sebuah Dinasti yang Terkoyak” edisi kedua. Tanpa diduga buku tersebut menjadi booming sebelum sampai ke tangan penerbit, sampai sekarang kami kewalahan menangani permintaan buku tersebut.

Perseteruan keluarga mulai muncul kembali saat kubu Ambarkusumo akan mensertifikatkan Tanah Paku Alam atau Paku Alam Ground (PAG) yang ada di Kulon Progo yang akan diguanakan untuk penambangan pasir besi dan bandara. Hal tersebut ditentang oleh keluarga dari kubu Probokusumo yang kini dimotori oleh GPH. Anglingkusumo sebagai putra laki-laki tertua setelah meninggalnya GPH. Probokusumo dan ditandatangani oleh semua Ahli Waris dari KRAy. Ratnaningrum (Kubu Probokusumo/Anglingkusumo). Hal tesebut kemudian didukung oleh masyarakat PAG (masyarakat Adikarto) yang banyak dirugikan oleh pihak Ambarkusumo dengan praktik penambangan pasir besinya. Masyarakat Adikarto juga kecewa terhadap kubu Ambarkusumo karena selama 13 tahun mereka tidak pernah dilihat, ditengok, diurus, diayomi bahkan akan dieksploitasi.

Diduga hal tersebut diatas yang melatar belakangi terjadinya, ”Pengukuhan GPH. H. Anglingkusumo menjadi Sri Paduka KGPAA Paku Alam IX pada tanggal 15 Maret 2012 oleh masyarakat Adikarto Kulon Progo secara sepontan pada acara Sedekah Bumi sekaligus Peringatan 102 tahun kelahiran KGPAA.Paku Alam VII (Pengukuhan tersebut sudah disahkan dengan Akta notaris). Peristiwa tersebut mendapat tekanan dari kubu Ambarkusumo, bahkan terjadi aksi semi kekerasan di kediaman GPH. H. Anglingkusumo (sudah dilaporkan ke Polda, namun Polisi tidak memproses lanjut). Hal tersebut justru menambah perhatian dan simpati publik terhadap apa yang sebenarnya terjadi sehingga permintaan buku Dinasti yang Terkoyak edisi 2 semakin bertambah seiring dengan bertambahnya dukungan terhadap GPH. H. Anglingkusumo.” Bahkan muncul Pengukuhan ke-2 terhadap GPH. H. Anglingkusumo sebagai Sri Paduka KGPAA Paku Alam IX oleh elemen-elemen masyarakat dari kabupaten Gunung Kidul. Kemudian diikuti pula dukungan dari elemen mahasiswa dan masyarakat Indonesia Timur terutama kaum muda dan seterusnya semakin bertambah setiap harinya hingga saat ini.

Seiring dengan bertambahnya pendukung GPH. H. Anglingkusumo sebagai KGPAA. Paku Alam IX dari kerabat dan masyarakat maka dibentuklah suatu Himpunan Kerabat dan Kawulo Paku Alam (HKPA) Notokusumo yang sudah disahkan oleh Akta Notaris nomor 147 pada tanggal 10 Juli 2012 yang sudah memiliki perwakilan di beberapa provinsi, kabupaten/kota bahkan ada perwakilan di Amerika Serikat dan Inggris. Perwakilan HKPA dengan anggota terbanyak untuk saat ini adalah HKPA cabang Kabupaten Gunung Kidul, disusul Kabupaten Kulon Progo dan Bantul.