Otoritas Pengembangan Media (Singapura)
Otoritas Pengembangan Media (bahasa Inggris: Media Development Authority, singkatan: MDA, Mandarin: 媒体发展管理局, Melayu: Penguasa Pembangunan Media) merupakan badan hukum pemerintah Singapura, di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informasi (MCI). SejarahMDA dibentuk pada 1 Januari 2003 melalui penyatuan Singapore Broadcasting Authority (SBA), Films and Publications Department (FPD) serta Singapore Film Commission (SFC) dalam menanggapi seruan nasional untuk mengembangkan industri media yang berdaya saing global. Cetak biru industri yang disebut Media 21 juga dirancang dan pada akhirnya disahkan oleh Komite Peninjau Ekonomi 2002 (yang diketuai oleh Wakil Perdana Menteri Lee Hsien Loong) sebagai bagian dari Strategi Pengembangan Industri Kreatif untuk memompa laju pertumbuhan ekonomi kreatif Singapura. Pada 18 Januari 2016, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengumumkan bahwa Otoritas Pengembangan Informasi dan Komunikasi (Infocomm Development Authority of Singapore, IDA) dan MDA akan direstrukturisasi menjadi dua badan baru: Otoritas Pengembangan Media Informasi dan Komunikasi (Infocommunications Media Development Authority, IMDA) dan Organisasi Teknologi Pemerintah (Government Technology Organisation, GTO), pada paruh kedua tahun 2016.[1] Badan hukum sebelumnyaSingapore Broadcasting AuthoritySebelum penyatuan, SBA, yang didirikan pada 1 Oktober 1994 di bawah naungan Kementerian Informasi dan Seni (Ministry of Information and the Arts, MITA) bertujuan untuk mengatur industri penyiaran di Singapura. Films and Publications DepartmentFPD didirikan sebagai departemen dibawah naungan MITA untuk mengatur konten-konten dan publikasi film pada 1 Januari 1998. Lembaga Sensor Film (Board of Film Censors) termasuk bagian dari FPD, bertanggung jawab atas klasifikasi film dan video. Singapore Film CommissionMengikuti jejak promosi film di negara lain, SFC didirikan pada 15 April 1998.[2] Menyusul rilis rekomendasi di bawah Media 21, SFC dilebur ke dalam MDA pada tahun 2003. Peran MDAOtoritas Pengembangan Media bertanggung jawab untuk mempromosikan dan mengatur sektor media Singapura. Fungsi MDA ialah untuk menumbuhkan industri media dengan mendorong penciptaan lapangan kerja, menanam dan menarik investasi, sekaligus menetapkan standar untuk meletakkan dasar dalam membangun masyarakat yang kohesif dan inklusif.[3] Pengembang IndustriSalah satu inisiatif penting MDA adalah mengembangkan peta jalan industri yang menempatkan Singapura sebagai inti tempat konten media, layanan, dan aplikasi yang dibiayai, dibuat dan diperdagangkan kepada dunia. Media 21 merupakan peta jalan pertama yang dirancang oleh MDA pada tahun 2003 dalam menanggapi memuncaknya media global. Baru-baru ini, cetak biru pengembangan media nasional, Singapore Media Fusion Plan (SMFP), diluncurkan pada tahun 2009 untuk menciptakan lingkungan terbaik di Singapura bagi bisnis media dalam menjelajah peluang baru di media digital dan meningkat nilai, sembari memperkuat daya tarik global akan media Singapura melalui kemitraan internasional.[4] Di tahun 2011, MDA merevisi skema pendanaannya. Pada tahun 2013, telah memiliki lima skema utama yaitu Dukungan Produksi, Dukungan Pengembangan, Dukungan Pemasaran, Dukungan Talenta dan Dukungan Perusahaan untuk membantu menunjang berbagai tahapan proyek. Skema ini dapat dipakai pada proyek di beragam sektor seperti Film, Animasi, Media interaktif, Game, Penerbitan, Penyiaran serta Musik. Regulator Media Generasi BerikutnyaTanggung jawab penting MDA lainnya yaitu menciptakan dan menegakkan kebijakan regulasi yang menjadikan Singapura sebagai tempat yang menarik untuk mendorong investasi dan inovasi dalam sektor media, yang kemudian mengarah pada lebih banyak pilihan bagi konsumen. Sejak tahun 90-an (dibawah naungan SBA) hingga sekarang, melihat dirinya memimpin tugas untuk mengatasi tantangan dan peluang terbaru yang dihadapi media industri, ditimbulkan konvergensi media dan media digital melalui regulasi konvergensi. Sebagai contoh, merupakan yang pertama yang mengartikulasikan kebijakan Internet dan menetapkan standar Digital Audio Broadcasting (DAB) di Asia Tenggara. Pendekatan regulasi mulai bergeser secara bertahap menuju ke regulasi dan konsultasi untuk merangsang pertumbuhan industri serta melayani minat publik akan jumlah maksimum rumah tangga di Singapura. Terlihat fokus mereka ialah mendesain kerangka kebijakan yang memfasilitasi pertumbuhan industri, sekaligus memungkinkan pilihan informasi dan melindugi kaum muda dari konten yang tidak diinginkan. Tantangan krusial bagi regulator ialah memastikan bagaimana kebijakan mereka tetap sejalan dengan nilai-nilai komunitas dalam mewujudkan standar konten yang diprakarsai komunitas, sembari memberikan sikap tanggap yang sangat baik kepada para pelanggan. Contoh terbaru termasuk pengenalan peringkat baru dibawah standar klasifikasi konten mereka (misalnya PG13), dan Skema Lisensi Kelas (Class License Scheme) dari SBA sebelumnya. Serupa dengan regulator di negara maju seperti Australia serta Britannia Raya, MDA bekerja sama dengan instansi publik lain dan berbagai grup komunitas dalam meningkatkan standar literasi media melalui inisiatif edukasi masyarakat untuk memelihara masyarakat yang paham dan terhubung dengan media. MDA telah memulai program yang membantu menumbuhkan keterampilan kesadaran kritis media dan nilai-nilai kesadaran siber atau dunia maya. KritikanPelarangan kebebasan berpendapat dan berkumpul diberlakukan oleh MDA.[5] Di tahun 2005, MDA mencekal lisensi drama Benny Lim, "Human Lefts" kecuali bila beberapa adegan diedit dan semua referensi yang mengarah kepada hukuman mati dihilangkan. Drama tersebut awal mulanya menceritakan tentang penggantungan Shanmugam Murugesu dan akan dirilis satu hari setelah eksekusi kontroversial warga negara Australia Nguyen Tuong Van[6] Pada Agustus 2006, sebuah drama Smegma dilarang oleh MDA, yang mengatakan bahwa "drama tersebut menggambarkan Muslim dalam sorotan negatif".[7] Di Mei 2013, MDA mengumumkan skema lisensi wajib barunya kepada situs web berita dengan jangkauan signifikan yang melaporkan berita Singapura. Situs ini harus memasang ikatan kinerja sebesar S$50.000 dan diharapkan menghapus konten yang melanggar standar MDA dalam waktu 24 jam, setelah diinformasikan untuk melaksakannya.[8] Langkah ini dikecam keras oleh lebih dari 20 aktivis dan narablog yang menunjukkan bahwa skema tersebut memengaruhi kemampuan warga untuk "menerima informasi yang beragam".[9] Di Mei 2014, 45 kelompok seni besar mengeluarkan petisi menentang berat skema opsional yang diusulkan MDA untuk melatih seniman sebagai "penilai konten" dalam memastikan kepatuhan terhadap pedoman klasifikasi milik otoritas. Seniman yang masuk ke dalam grup "penilai konten" salah mengklasifikasikan pertunjukan akan menerima denda sampai dengan $5.000, dan lisensi mereka akan dicabut. Kelompok seni menolak adanya "regulasi bersama" sembari mempromosikan self-censorship.[10] Pada 10 September 2014, film dokumenter pemenang penghargaan Tan Pin Pin, "To Singapore, With Love" dilarang tayang di Singapura, dengan MDA mengklaim bahwa dokumenter tersebut mengancam keamanan nasional sebab "orang-orang di dalam fillm telah memberikan informasi yang menyimpang dan tidak benar tentang bagaimana mereka datang untuk meninggalkan Singapura serta masih berada di luar Singapura," juga " sejumlah orang yang mengaku "orang buangan":ini adalah anggota atau pendukung Partai Komunis Malaya (PKM)."[11] Sebagai bentuk respon, sebuah kelompok terdiri dari 39 seniman, termasuk pembuat film Anthony Chen, Royston Tan, dan Kelvin Tong, mengeluarkan pernyataan bersama, mengungkapkan "kekecewaan mendalam" serta mendesak MDA untuk membatalkan larangan tayang tersebut.[12] Pada 2 Oktober 2014, Tan menyerahkan "To Singapore, With Love" yang tidak dirubah kepada Komite Banding Film di MDA untuk meninjau larangan tayang film tersebut. Dalam pernyataan nya, Tan menulis, "Menjelang perayaan ulang tahun kami ke-50, saya merasa bahwa kita sebagai masyarakat seharusnya bisa melihat dan menimbang diri kita melalui pemutaran publik yang sah di Singapura, perbedaan pandangan di masa lalu, bahkan pandangan yang tidak disetujui pemerintah. Saya berharap bahwa Komite Banding Film akan menonton film ini dan mengkaji lagi klasifikasi ini."[13] Pada 12 November 2014, pengajuan banding Tan ditolak. Dalam pernyataannya, ketua dari Komite Banding Film mengatakan, "Meskipun memiliki standar artistik yang apik, FAC (Film Appeals Committee) menemukan film tersebut hanya menampilkan satu sisi saja, dengan usaha yang minimal dalam menyediakan pandangan campuran yang seimbang di luar yang diberikan oleh narasumber yang ditampilkan dalam film tersebut". Dari 12 anggota FAC yang hadir, sembilan memilih untuk mempertahankan klasifikasi sementara yang tiga lain memilih memberikan film tersebut rating 21 Terbatas (R21) sebagai opsi lain.[14] Di Juni 2016, MDA menolak 31 foto di pameran foto jurnalis Newsha Tavakolian, "I Know Why the Rebel Sings", sebagai bagian dari pra-festival program The O.P.E.N Singapore International Festival of Arts, sebab menampilkan "anggota perempuan Kurdi dari organisasi terkait teroris, yang telah melakukan tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, misalnya bom bunuh diri." 15 dari foto-foto tersebut masuk ke final-cut pameran dan tidak diizinkan. Direktur festival Ong Keng Sen merilis pernyataan, mengecam penjelasan MDA dan menunjukkan bahwa foto-foto itu telah diterbitkan dalam majalah Time yang bisa diakses, baik secara online maupun offline. Dia juga menunjukkan foto-foto yang menggambarkan tentara Kurdi melawan ISIS, penjahat yang lebih besar. "Jadi kita hidup dengan teror baru yang kita tidak ketahui dan itu di luar kendali kita," katanya saat pembukaan pameran.[15] Lihat jugaReferensi
Pranala luar
|