Orang Bawean di Vietnam
Orang Vietnam di Bawean adalah sekelompok etnis Bawean yang tinggal di Vietnam, dengan sebagian besar dari mereka tinggal di Kota Ho Chi Minh. Pada 2015, populasi mereka berjumlah sekitar 400 orang. Mereka menelusuri nenek moyang mereka yang berasal dari Pulau Bawean di Indonesia.[2] SejarahOrang Bawean dikenal sebagai pengembara laut yang ulung, mereka dapat ditemukan hampir di beberapa tempat di Asia Tenggara.[1] Awal kedatangan orang Bawean di Vietnam sendiri dimulai pada tahun 1800-an, diawali dengan ratusan orang keturunan Bawean yang bermigrasi sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia, kebanyakan dari mereka saat itu mendiami Kota Ho Chi Minh.[3] Masyarakat Vietnam keturunan Bawean ini kebanyakan tinggal di sekitar Masjid Al-Rahim Distrik 1 Ho Chi Minh.[2] Menurut penuturan seorang tokoh Bawean di Vietnam dan pemimpin Masjid Al-Rahim, Haji Ally, ia mengikuti orang tuanya ke Ho Chi Minh pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, saat itu usianya baru 11 tahun. Tidak ada catatan pasti kapan orang Bawean pertama kali tiba di Vietnam. Namun, masyarakat yang memiliki tradisi merantau ini diperkirakan telah meninggalkan kampung halamannya pada masa penjajahan Belanda. Selain Vietnam, ada juga yang ke Singapura dan Malaysia. Saat itu, Vietnam masih berada di kolonial Prancis. Masyarakat Bawean di Vietnam kemudian membangun Masjid Al-Rahim dengan menggunakan bahan bangunan dari kayu. Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Vietnam yang dibangun pada tahun 1885.[2] Seorang peneliti masyarakat Bawean di Vietnam, Malte Stokhof, mengatakan masyarakat Bawean meninggalkan daerah asalnya dengan berbagai alasan. Stokhof berkata, "Menurut cerita mereka, kehadiran mereka di Vietnam disebabkan oleh beberapa hal. Hal utama adalah untuk menghindari pemerintah kolonial Belanda yang represif, menjalankan tradisi hijrah dan dalam perjalanan haji, mereka kemudian singgah di Singapura untuk bekerja menambah ongkos ke tanah suci Mekkah".[2] Sebagian pendatang dari Bawean kemudian memilih tinggal di Singapura dan sebagian lagi melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Stokhof mengatakan orang Bawean yang melakukan perjalanan melalui Sungai Mekong bekerja dengan pedagang dari Tiongkok dan kemudian mencari pekerjaan ketika tiba di Ho Chi Minh.[2] Masyarakat dan kewarganegaraanTidak ada data pasti mengenai jumlah keturunan dan orang asal Bawean di Vietnam. Namun, Haji Ally memperkirakan sekitar 400 orang keturunan Bawean pada 2015. Dari jumlah tersebut, hampir tidak ada yang menguasai bahasa Indonesia ataupun Bawean, bahkan tradisi dari daerah asalnya saat ini tidak dijalankan. Kata Haji Ally, "Setiap hari kami menggunakan bahasa Vietnam, hanya orang tua yang bisa berbahasa Melayu. Ada juga anak-anak muda yang bisa berbahasa Indonesia karena belajar di sana".[2] Keturunan Bawean di Vietnam mengalami kesulitan mengatur identitas kewarganegaraannya. Hampir semua keturunan Bawean yang tinggal di Vietnam tidak memiliki identitas sebagai warga negara Indonesia karena mereka tiba di negara tersebut saat Indonesia belum merdeka. Isu kewarganegaraan ini muncul setelah Vietnam Selatan yang didukung oleh Amerika Serikat dikalahkan oleh Vietnam Utara pada tahun 1975. Perubahan situasi politik dan keamanan di Vietnam membuat keturunan Bawean di Ho Chi Minh merasa khawatir, apalagi banyak dari mereka juga bekerja dengan Amerika Serikat.[2] Malte Stokhof mengatakan sejumlah keturunan Bawean di Vietnam berusaha pulang, tetapi terhambat oleh dokumen dan kehilangan kontak dengan keluarga mereka di kampung halaman. Kata Stokhof, "Sebagian besar dari mereka tidak memiliki dokumen dan tidak dapat kembali ke Indonesia. Bagi yang berhasil menghubungi kerabatnya bisa kembali ke Bawean, tetapi jumlahnya sangat sedikit karena alat komunikasi pada saat itu sangat terbatas".[2] Stokhof mengatakan, masyarakat Bawean yang memiliki dokumen yang dikeluarkan pemerintah kolonial Prancis pun mengalami kesulitan. Dalam dokumen tersebut mereka disebut sebagai orang Melayu. Kemudian Kementerian Luar Negeri Vietnam mengatakan mereka adalah Ma'alay yang berarti warga negara Malaysia. Selanjutnya mereka juga mendatangi perwakilan pemerintah Malaysia, namun ditolak karena mereka juga bukan warga negara disana. Akhirnya mereka kembali ke kantor Kementerian Luar Negeri Vietnam dan akhirnya ditawari menjadi warga negara Vietnam. Namun, masalah muncul kembali ketika harus memasukkan etnis. Stokhof berkata, "Ketika mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang Bawean, mereka tidak dikenal di Vietnam, mereka ditawari untuk mendaftarkan mereka sebagai etnis Cham karena mereka sama-sama Muslim. Tapi karena mereka bukan orang Cham, mereka juga menolak, akhirnya setelah diskusi panjang di kolom etnis di kartu pengenal mereka, orang Bawean disebut Indonesia, padahal itu bukan etnis tapi nama negara asal".[2] Referensi
|