Operasi KotekaOperasi Koteka adalah sebuah operasi yang dilancarkan oleh pemerintahan Orde Baru di Indonesia pada tahun 1971-1972 dengan tujuan untuk menghapuskan penggunaan koteka (penutup kelamin laki-laki) di kalangan masyarakat Papua dan menggantikannya dengan celana dan baju yang dianggap lebih "modern". Kampanye antikoteka ini dicanangkan pada masa Gubernur Frans Kaisiepo.[1] Petugas-petugas yang terlibat dalam Operasi Koteka terbagi menjadi tim yang ditugaskan di berbagai tempat di dataran tinggi Papua dan Lembah Baliem. Upaya penghapusan koteka dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Beberapa tindakan yang menjadi bagian dari Operasi Koteka meliputi pengenalan praktik pertanian dan peternakan yang baru beserta tanaman baru dan pemakaian baju. Penghapusan koteka dijadwalkan akan diwujudkan dalam kurun waktu dua tahun.[2] Menurut Larry L. Naylor, Operasi Koteka adalah "contoh klasik ketika agen dari luar memaksakan perubahan terhadap suatu kelompok meskipun [agen luar tersebut] tidak memiliki pemahaman yang cukup [mengenai kelompok tersebut]."[3] KegagalanOperasi Koteka mengalami kegagalan. Masyarakat Papua tidak beralih dari tradisi pemakaian koteka. Selain itu, operasi ini malah menimbulkan masalah. Masyarakat Papua pada saat itu tidak memiliki sabun dan tidak mengetahui cara menjaga kebersihan pakaian, sehingga baju dan celana yang belum dicuci mengakibatkan penyakit kulit. Selain itu, dilaporkan terdapat orang Papua yang menjadikan celana sebagai topi, sementara para wanita memanfaatkan pakaian sebagai tas.[4] Larry L. Naylor menjelaskan bahwa pakaian harus dibeli dan dirawat, sehingga membutuhkan uang, padahal masyarakat tradisional Papua pada saat itu tidak memiliki akses ke pasar ataupun uang. Oleh sebab itu, pengenalan penggunaan pakaian dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat diadopsi oleh masyarakat tradisional Papua pada saat itu.[5] Selain itu, pengenalan praktik pertanian dan peternakan yang baru juga gagal karena tidak ada rencana untuk mendorong penerimaan jenis makanan yang baru oleh masyarakat Papua. Tanaman baru malah lebih menguntungkan pendatang dari pulau lain. Selain itu, daerah masyarakat Papua saat itu terpencil dan tidak memiliki akses infrastruktur ke pasar, sehingga hasil panen dari Papua tidak dapat bersaing dengan daerah lain.[3] Catatan kaki
Daftar pustaka
|