Ni Nyoman Tanjung merupakan seorang wanita berasal dari Banjar Desa Saren Anyar, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem. Memiliki kebiasan untuk mengumpulkan batu–batu kali yang diambil dari sungai dekat tempat tinggalnya. Ini merupakan kebiasan sejak muda, dan sekaligus menjadi hobi, kebiasan ini dilakukan oleh dirinya sendiri tanpa bantuan dari orang lain.
Kegitan ini merupakan pelarian Men Tanjung yang sedikit mengalami gangguan jiwa, sebab konon pernah terjadi peristiwa yang tragis saat pada masa G-30-S PKI Tahun Itu 1965, Men Tanjung kehilangan anak pertamanya saat itu, yakni di cap PKI dan dibunuh. Kejadian ini menjadikan kenangan pahit yang terus terekam dalam ingatan Men Tanjung yang sering membuatnya melamun dengan tatapan mata kosong. Peristiwa itu menyebabkan wanita ini sering dikatakan sebagai wanita yang aneh, yang terbiasa berbicara melantur. Dari pihak keluarga dan lingkungan sekitarnya pun sulit untuk berkomunikasi dengan baik kepada Men Tanjung. Menyebabkan Men Tanjung ini dikatakan sebagai orang yang tidak waras.
Di situasi seperti itu, Men Tanjung mulai berkreasi dengan membuat dunianya sendiri dengan ide dari imajinasi yang dimilikinya sejak 10 tahun silam, saat itu juga Men Tanjung tertarik pada batu-batu yang banyak dijumpai sungai dekat rumahnya. Men Tanjung ini menggosok batu-batu dalam berbagai ukuran dan diletakan di tikungan beberapa meter dari jarak rumahnya.
Kemudian batu ini disusun sedemikian rupa digabungkan dengan ornamen lain seperti ranting buah, kelapa yang sudah dikerat menyerupai monyet, botol minum, sampai buah-buhan kering. Karya yang diciptakan oleh Men Tanjung merupakan keindahan alami yang tercipta dari daya imajinasinya, yang dinilai oleh orang sessuatu hal yang aneh.
Seni Men Tanjung sangat menarik ketika dicermati, karyanya sangat murni yang muncul dari alam bawah sadar yang berasal dari penghayatan pada kehidupannya perempuan sebagai pemeluk beragama Hindu. Meskipn karya ini sederhana namun manarik perhatian bagi yang mencermati kata seorang Budayawan Prancis, Jean Cauteau, yang sudah lama menetap di Bali. Waktu itu ada seorang dari Yogyakarta yang membeli batu–batu karya Men Tanjung seharga 30 Juta. Ada beberapa orang yang kebetulan lewat di desa Budakeling yang berminat membeli karya ini dan memberi imbalan Rp.50-60 ribu. Saat itu juga, Men Tanjung terpikirkan untuk menggumpulkan batu-batu dan kemudian disusun menjadi sebuah tempat persembahyangan atau tempat pemujan kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa.[1]
Referensi