Ni Ketut Arini (lahir 15 Maret 1943) adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya berupa koreografi tari yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan. Arini merupakan salah satu maestro tari Bali yang kerap menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara.[1][2]
Latar belakang
Ni Ketut Arini lahir di Denpasar, Bali, 15 Maret 1943. Sejak usia muda, dia sudah mendalami dunia kesenian, utamanya seni tari dari pamannya. Meskipun awalnya, keluarganya tidak mengizinkan dia menari karena postur tubuh dan kulitnya dianggap kurang menarik, namun itu justru membuatnya bersemangat untuk terus belajar menari. Minatnya itu kemudian diperdalam dengan melanjutkan pendidikan di Sekolah Konservatori Kerawitan Indonesia Jurusan Bali (KOKAR BALI) dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar. Di sekolah ini, ia mempelajari teknik tari Bali secara teori dan praktik sebagai disiplin studi dan ekspresi seni, sehingga pemikiran-pemikiran mengenai tari Bali semakin berkembang. Ia juga belajar menari kepada Mario di Tabanan, Lokasabha di Gianyar, dan Biang Sengok, khusus untuk tari Legong gaya Peliatan.[3][4]
Tahun 1957, ia resmi menjadi penari Bali saat terpilih menjadi Sang Hyang Dedari di Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja (Denpasar-Bali). Hal ini merupakan kebanggaan bagi dirinya, karena penari pada waktu itu sangat dihormati dan dianggap sakral pada saat akan menari. Di usia 14 tahun ia sudah mengajar tari di berbagai sanggar tari. Pada perkembangannya, Ni Ketut Arini kemudian dikenal sebagai maestro tari Condong, yang mengisahkan tokoh pembantu putri raja. Tokoh pembantu ini selalu ditampilkan pada drama tari Bali sesuai perkembangan zamannya, mulai tari Gambuh (drama tari dengan dialog), tari Arja (drama tari dengan nyanyian), dan Legong (tari yang diiringi gamelan pelegongan).
Selain Condong, ia juga menghidupkan kembali tari Legong Klasik yang nyaris ditinggalkan penerusnya. Di Bali, ada 14 gaya tari Legong Klasik, dan ia menguasai enam di antaranya, yaitu Legong Pelayon, Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog, dan Semarandhana. Keenam tarian itu ia ajarkan di sanggarnya, Warini. Muridnya tak hanya datang dari sekitar sanggar, tetapi juga dari negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Swiss. Di sanggar yang dirikan tahun 1973, ini setiap tahun meluluskan sekitar 100 siswa tari. Ia mempunyai cara agar tari klasik Bali tetap dipelajari generasi muda, yaitu menggunakan gamelan dan gong sebagai pengiring gerakan. Ia tak memakai hitungan untuk setiap gerakan yang dilakukan, Dengan iringan gamelan, anak-anak merasa sudah menari dan itu membuat mereka bersemangat.[5]
Sejak tahun 1965 Ni Ketut Arini menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara. Bersama salah seorang muridnya dari Amerika Serikat, Rucina Balinger, pada tahun 2004, bekerja sama mengangkat kembali karya gurunya, I Nyoman Kaler, antara lain tari Panji Semirang, Mregapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte, Kupu-kupu Tarum, dan Legong Kebyar. Legong Kebyar sendiri pernah terkenal di Bali, lalu hilang karena tak ada yang menarikannya. Keberadaan tarian itu hanya diceritakan di buku-buku. Mereka kemudian menggali lagi karya Kaler lewat simposium dan pementasan yang ditarikan tiga penari lanjut usia, dewasa, dan remaja. Tahun 2010, mendokumentasikan enam tari Legong yang dikuasainya untuk arsip Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan menjadi bahan ajar bagi mahasiswa tari.
Karya
- Tari Dharma Putri (1973)
- Tari Galang Kasih (1980)
- Tari Legong Kreasi Suprabha Duta (1990)
- Revitalisasi Tari Legong Bapang Durga (1996)
- Revitalisasi Tari Putri dan Bebancihan (2004)
- VCD enam tari Legong bagi mahasiswa ISI Denpasar
Referensi