Ni'owuruNi’owuru adalah metode pengawetan makanan berbahan dasar daging (biasanya daging babi) dengan cara pengasinan dari Nias. Daging yang telah diolah dengan metode ini memiliki tekstur yang sedikit keras dan agak kering. Rasanya sangat asin, tetapi aroma daging yang khas masih terasa. Metode pengawetan ni’owuru sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Nias, khususnya di Nias Barat dan Nias Utara. Selain karena cara pembuatannya relatif mudah, rasanya juga nikmat dan praktis dihidangkan sewaktu-waktu ketika tamu tak terduga datang berkunjung. MetodeMetode pengawetan ni’owuru dahulu acap digunakan pada daging yang berlebih. Daging yang tidak habis dimasak dalam acara-acara besar tentu akan mubazir jika dibuang, sehingga pengawetan menjadi alternatif terbaik. Babi sendiri adalah binatang peliharaan masyarakat Nias dan paling tinggi nilainya. Selain bisa dimakan, bisa sebagai sumber penghasilan, dan yang terpenting lagi digunakan sebagai mahar.[1] Tiap kali ada acara pesta adat, acara keluarga atau menjamu tamu, maka daging babi adalah hidangan paling spesial. Misalnya saja pada acara pernikahan, setiap keluarga dekat maupun para undangan yang menghadiri pesta pernikahan, pasti mendapatkan bagian daging babi atau ni’odöra.[2] Ni’odöra tadi karena tidak habis dimakan maka diawetkan dan disimpan menjadi ni’owuru. Dalam sejarah, metode pengawetan dengan menggunakan garam sudah dilakukan sejak berabad lalu, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di belahan dunia lainnya. Diperkirakan pengasinan ditemukan oleh manusia pertama kali 12000 tahun yang lalu.[3] Cara tersebut merupakan salah satu metode tertua dalam menyajikan makanan.[4] Rahasia dari metode pengawetan dengan menggunakan garam adalah proses osmosis atau peresapan cairan. Daging yang ditaburi garam sebanyak 25% dari berat daging tersebut dapat menyebabkan berpindahnya cairan dari dalam daging menuju ke butiran garam yang ditaburkan. Sisa darah yang ada pada daging mengering karena kehilangan cairan, begitu juga dengan bakteri yang menyusut dan kehilangan kemampuan untuk melakukan proses pembusukan pada daging atau bahkan langsung mati karena dehidrasi. Cara membuat ni’owuru mudah, namun membutuhkan waktu yang lumayan lama. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyiapkan semua alat dan bahan. Bahan yang dibutuhkan adalah daging babi, lemak/minyak babi, garam, dan air. Alat yang dibutuhkan adalah wadah untuk merendam daging di dalam air garam, penggorengan, sodet, kompor, pisau, dan talenan. Setelah semua alat dan bahan sudah disiapkan, tahap kedua adalah memotong daging menjadi beberapa lembar, tidak terlalu tipis maupun terlalu tebal. Setelah itu, daging direndam ke dalam air yang sudah diberi garam. Biasanya diperlukan waktu 8-12 jam. Perendaman dapat dilakukan lebih lama apabila ingin lebih terasa rasa asinnya. Setelah merendam daging di dalam air garam, daging diangkat dari wadah.[5] Daging ini bisa bertahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun bila tempat penyimpanannya bagus. Saat akan dikonsumsi, daging dibilas beberapa kali dengan air atau direbus satu sampai dua kali untuk menghilangkan garam atau rasa asin. Rasa asin tidak sepenuhnya hilang,tapi sudah dalam kadar rendah. Pengolahannya, bisa dimasak dengan berbagai cara seperti memasak daging lainnya sesuai selera.[6] Kini metode ini semakin langka dan susah didapatkan di Pulau Nias. Masyarakat mulai menyadari konsumsi garam berlebihan bisa menyebabkan berbagai penyakit bagi tubuh[7] sehingga memilih beralih metode pengawetan dengan menggunakan kulkas yang dianggap lebih menguntungkan, yaitu tidak mengurangi keaslian rasa daging dan tidak menimbulkan risiko penyakit. Referensi
|