Ngarot adalah salah satu upacara adat Sunda menyambut musim garapan sawah yang dilaksanakan masyarakat di Desa Lelea, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Biasanya upacara ini dilaksanakan mendekati musim penghujan yaitu antara bulan Oktober sampai Desember.[1] Secara etimologi, ngarot berasal dari kata arot yang mengalami nasalisasi (ng-) sehingga memiliki arti minum untuk melepaskan dahaga. Tapi dalam arti lain, Ngarot adalah kegiatan pesta anak angon sebelum menggarap sawah dilakukan.[2]
Tradisi ini digagas pada tahun 1686 oleh Kepala Desa Lelea ke I yang bernama Canggara Wirena.[3] Canggaran Wirena berterimakasih kepada Tetua Desa Lelea yaitu Ki Kapol yang telah mewakapkan sawah seluas 2,6 hektare untuk digarap oleh pemuda dan pemudi.[4] Dari pemberian ini diharapkan pada pemuda bisa belajar menggarap sawah sehingga di Desa Lelea tidak akan ada kekurangan dan kesusahan pangan. Pemuda akan mendapat pengalaman mencangkul, menanam padi, menyiangi rumput yang mengganggu tumbuh padi dengan sabit dan memanen padi. Sementara pemudi belajar bagaimana mengantarkan makanan ke sawah setelah bekerja dan bercocok tanam sesuai kemampuan.[3] Hasil panen dari garapan pemuda ini akan digunakan makan bersama dalam upacara ngarot. Setelah itu, Ki Kapol menyerahkan sawah tersebut kepada Ki Dawi yang selanjutnya dijadikan lahan carik Kepala Desa untuk digarap sampai sekarang oleh para pemuda.[4]
Tujuan
Tradisi Ngarot dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena telah diberi kesempatan pada musim menanam padi di sawah. Tujuan utama ngarot adalah mengajak para kaum muda untuk berperan dan bekerja sama dalam memajukan pertanian, khususnya dalam hal mengolah padi di sawah. Selain itu, diharapkan juga para pemuda dapat membina pergaulan sehat dengan cara saling mengenal, saling menjaga sikap dan perilaku, kehendak yang sesuai dengan tuntunan agama dan adat budayaSunda.[5] Terkadang tradisi masyarakat agraris ini juga dijadikan ajang cari jodoh antar pemuda dan pemudi di Kampung Lelea.[3]
Kelengkapan
Kesiapan perlengkapan sudah dilakukan sebelum hari upacara terutama untuk menata tempat upacara di balai desa oleh pamong desa, menyiapkan bahan-bahan pembuatan nasi kuning dan sesaji yang dilakukan istri pamong desa, membuat rangkaian bunga kenanga dan melati untuk dikenakan oleh cuene. Dini hari sebelum upacara berlangsung, istri pamong desa memasak nasi kuning untuk dihidangkan pada saat acara di balai desa dimulai. Sementara itu, bujang-cuene berdandan dengan perlengkapan upacara di rumahnya masing-masing.[6]
Bujang-cuene
Berpakaian kebaya, sewet (kain panjang), selendang, ikat pinggang dan sandal atau selop. Mengenakan rias wajah yang cantik dan menarik. Mengenakan perhiasan setenong, seperti bros, gelang, kalung, cincin, jepit kain, untaian peniti, dan giwang. Memakai hiasan rambut berwarna bunga dari kertas jagung, melati, dan rangkaian kenanga. Adapun janur yang dirangkai segitiga disebut cunduk, dikenakan cuene yang telah bertunangan agar tidak diganggu oleh bujang. Sedangkan, pakaian bujang berupa komboran atau pakaian bertani yang terdiri dari celana komprang dan atasan serba hitam dan memakai iket.[6]
Umum
hiasan untuk dekorasi balai desa dan tenda.
peralatan kelompok kesenian yang tampil dalam upacara.
bende atau gong kecil untuk penanda acara dimulai.
sesaji.
perlengkapan tani berupa bibit padi, pedangan, pupuk, air, pacul, dan tanaman penolak bala ( daun pisang raja wulung, daun andong, keraras, bambu kuning, daun beringin).[6]
Tahapan
Sehari sebelumnya dilakukan persiapan ritual, menata sesajen dan doa menjelang tradisi ngarot dimulai di ruangan khusus yang disediakan di bale desa Lelea.
Persiapan merias pengantin ngarot, baik pria atau wanita yang membutuhkan waktu yang cukup lama di rumah pengantin masing-masing.
Pengantin pria dan wanita masuk ke pelataran rumah kepala desa yang dijadikan tempat berkumpul utusan dari berbagai daerah sekitar.
Penerimaan dan persiapan pawai bersama dengan seluruh pengantin, seluruh aparat desa dan penggerak PKK desa dan dihibur dengan musik Tanjidor.
Pawai keliling sepanjang jalan desa sebelum memasuki arena bale desa.
Rombongan masuk ruang bale desa untuk mengikuti seluruh rangkaian upacara adat.
Proses upacara adat dengan uraian sebagai berikut.[7]
Pidato kepala desa yang berisi nasihat sesepuh Desa Lelea dan pembukaan ngarot secara resmi secara simbolis dengan cara memukul gong dan memercikkan air ke kepala para pengantin wanita. Bunyi nasihat tersebut adalah Mikiran budak keuna kuma (memikirkan masa depan anak), Kajeun boga harta kudu tetep usaha (walaupun memiliki banyak harta harus tetap berusaha), Keur ngora ulah poya-poya (ketika masa muda jangan hidup berfoya-foya), Kamberan kolot ulah sengsara (supaya di masa tua tidak sengsara), Jalma lalaki kerja ewena usaha (laki-laki harus bekerja, perempuan yang berusaha), Neangan pekaya rukun runtut (mencari kekayaan harus bersama-sama), Aturan agama kudu diturut (seluruh aturan agama harus ditaati), Selamat dunia jung akheratna (selamat di dunia maupun di akherat).
Penyerahan benih padi oleh kepala desa kepada laki-laki bujang. Penyerahan benih padi dimaksudkan gar bibit padi segera ditanam oleh para bujang sampai mendapat hasil panen yang sangat melimpah.
Penyerahan kendi yang berisi air putih oleh istri kepala desa kepada perempuan/cauene. Maksud dari prosesi ini adalah supaya benih padi yang ditanam tidak pernah mengalami kekurangan air serta supaya air dalam kendi menjadi obat penyubur tanah sehingga menghasilkan panen yang melimpah.
Serah terima alat-alat pertanian, seperti cangkul dan parang oleh Raksa Bumi (pengurus sawah dan tanah desa) kepada laki-laki atau bujang.
Penyerahan pupuk oleh tokoh masyarakat kepada Laki-laki atau bujang. Pupuk tersebut digunakan ketika menggarap sawah untuk menyuburkan tanaman padi.
Penyerahan daun kelaras, daun andong, ruas bambu kuning, dan daun pisang klutuk wuluh oleh Lebe (petugas pengurus perkawinan) kepada bujang. Maksud penyerahan dedaunan tersebut agar dedaunan tersebut segera ditancapkan di tengah-tengah sawah agar padi tidak terkena hama dan berbagai penyakit yang menggangu.
^Danadibrata, R. Alla (2006). Kamus basa Sunda (dalam bahasa Sunda). Wedalan Panitia Penerbitan Kamus Basa Sunda, gawe bareng PT Kiblat Buku Utama, jeung Universitas Padjadjaran. hlm. 34 dan 462. ISBN978-979-3631-93-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcPublishing, TEMPO; al, Rita Nariswari et. Atraksi Budaya Nusantara (dalam bahasa Inggris). Tempo Publishing.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)