Ki Nartosabdo[2] (huruf Latin Jawa: Nartasabda; aksara Jawa:ꦟꦂꦠꦱꦧ꧀ꦢ; 25 Agustus 1925 – 7 Oktober 1985) adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Surakarta, Indonesia. Salah satu dalang ternama saat ini, yaitu Ki Manteb Soedharsono mengakui bahwa Ki Nartosabdo adalah dalang wayang kulit terbaik yang pernah dimiliki Indonesia dan belum tergantikan sampai saat ini.
Asal usul
Nama asli Ki Nartosabdo adalah Soenarto. Merupakan putra seorang perajin sarung keris bernama Partinoyo. Kehidupan masa kecilnya yang serba kekurangan membuat Soenarto putus sekolah dalam pendidikan formalnya, yaitu Standaard School Muhammadiyah atau SD 5 tahun.
Kehidupan ekonomi yang serba sulit membuat Soenarto bekerja membantu pendapatan keluarga melalui bakat seni yang ia miliki. Antara lain ia pernah menjadi seorang pelukis, juga sebagai pemain biola dalam orkes keroncong Sinar Purnama. Bakat seni tersebut semakin berkembang ketika Sunarto dapat melanjutkan sekolah di Lembaga Pendidikan Katolik.
Pada tahun 1945 Soenarto berkenalan dengan pendiri grup Wayang Orang Ngesti Pandowo, yaitu Ki Sastrosabdo. Sejak itu ia mulai mengenal dunia pedalangan di mana Ki Sastrosabdo sebagai gurunya. Bahkan karena jasa-jasanya membuat banyak kreasi baru bagi grup tersebut, Soenarto memperoleh gelar tambahan "Sabdo" di belakang nama aslinya. Gelar itu diterimanya pada tahun 1948, sehingga sejak saat itu namanya berubah menjadi Nartosabdo.
Riwayat Karier
Meskipun berasal dari Surakarta, tetapi Ki Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, tepatnya di Gedung PTIK yang disiarkan secara langsung oleh RRI pada tanggal 28 April 1958. Lakon yang ia tempilkan saat itu adalah Kresna Duta. Pengalaman pertama mendalang tersebut sempat membuat Ki Narto panik di atas pentas karena pada saat itu pekerjaannya yang sesungguhnya ialah pengendhang grup Ngesti Pandowo
Ki Narto sejak remaja sudah menggemari para dalang ternama, seperti Ki Ngabehi Wignyosoetarno dari Sala dan Ki Poedjosoemarto dari Klaten. Ia juga tekun membaca berbagai buku tua. Kepala Studio RRI waktu itu, Sukiman menawari Ki Narto untuk mendalang, sehingga jadilah pertunjukan di PTIK tersebut.
Penampilan perdana itu langsung mengangkat nama Ki Narto. Berturut-turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu ia dapatkan karena banyak belajar sendiri, tidak seperti dalang lain yang pada umumnya lahir dari keturunan dalang pula, atau ada pula istilah dalang kewahyon (mendapat wahyu).
Karena sering mementaskan lakon carangan Ki Narto pun sering mendapat banyak kritik. Ia juga dianggap terlalu menyimpang dari pakem, antara lain berani menampilkan humor sebagai selingan dalam adegan keraton yang biasanya kaku dan formal. Namun kritikan-kritikan tersebut tidak membuatnya gentar, justru semakin banyak berkarya.
Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan pada tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya. Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.
Selain sebagai dalang ternama, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu (lelagon) atau gendhing, antara lain Caping Gunung, Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prahu Layar, Ngundhuh Layangan, Aja Diplèroki, dan Rujak Jeruk.
Murid
Beberapa murid dari Ki Nartosabdo adalah Ki Manteb Soedharsono (dalang) dan Jaya Suprana (pianis dan komposer).
Catatan kaki
Pranala luar