Museum Samparaja
Museum Samparaja adalah museum khusus yang didedikasikan untuk sejarah lokal. Museum Samparaja terletak di Jalan Gajah Mada, Monggonao, Mpunda, Bima, Nusa Tenggara Barat. Pendiri sekaligus pengurus Museum Samparaja adalah Hj. Siti Maryam R. Salahuddin (anak ke-7 Sultan Salahuddin, Raja Kesultanan Bima). Museum Samparaja didirikan pada tahun 1987 dan mulai resmi dibuka untuk umum pada tanggal 10 Agustus 1995 oleh Adi Haryanto, Bupati Bima pada saat itu. Tujuan didirikannya Museum Samparaja adalah untuk menyimpan peninggalan Kesultanan Bima yang berupa naskah-naskah lama serta melestarikan sejarah lokal. Selain itu didirikannya museum ini juga bertujuan sebagai sarana penelitian kebudayaan Bima[1] Sejarah museumNama Museum Samparaja berasal dari nama sebuah keris yang masih merupakan bagian dari kebesaran Bima yaitu keris Samparaja. Latar belakang utama didirikannya Museum Samparaja adalah untuk melestarikan peninggalan Kesultanan Bima khususnya naskah-naskah lama. Pendiri museum tersebut memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan kebudayaan Kesultanan Bima.[2] Pada tahun 1984 Siti Maryam (pendiri Museum Samparaja) bertemu dengan Pangeran Bernhard (suami dari Putri Yuliana) dari Belanda yang saat itu sedang mengunjungi Bima dalam perjalanannya ke Pulau Komodo. Dalam kunjungan tersebut, Pangeran Bernhard merasa takjub saat melihat naskah asli Bo’ Sangaji Kai. Pada saat itu Pangeran Bernhard memperingatkan kepada Siti Maryam untuk menyimpan naskah tersebut jika tidak ingin kehilangan sejarah, karena naskah tersebut merupakan satu-satunya salinan yang masih ada hingga saat ini. Akhirnya setelah pertemuan tersebut, Siti Maryam membulatkan tekad untuk mencari cara demi bisa melestarikan naskah tersebut. Motivasi tersebut akhirnya membawa Siti Maryam untuk mendirikan museum pada tahun 1987.[2] Koleksi museumKoleksi yang ada di Museum Samparaja di antaranya adalah benda-benda koleksi pribadi Siti Maryam yang memiliki nilai sejarah. Koleksi tersebut bentuknya berupa naskah-naskah lama berhuruf Arab dan berbahasa Melayu yang ditulis sekitar abad ke-17 hingga ke-19 Masehi. Isi dari naskah-naskah tersebut menjelaskan tentang sejarah Kesultanan Bima, hukum adat dan hukum Islam yang saat itu diterapkan di Bima. Tidak hanya naskah-naskah lama saja yang menjadi koleksi di Museum Samparaja, tetapi ada juga koleksi lainnya seperti pakaian upacara adat di Bima, pakaian adat lama Kesultanan Bima, pakaian adat untuk anak-anak di Bima, hingga ukiran-ukiran.[1] Bo’ Sangaji Kai Salah satu koleksi yang ada di Museum Samparaja adalah Bo’ Sangaji Kai, yaitu buku besar kesultanan yang di dalamnya tersimpan perundang-undangan secara tertulis yang berlaku pada masa Kesultanan Bima. Isi dari naskah Bo’ Sangaji Kai adalah Hukum Adat Tanah Bima (HATB) yang berlaku pada saat Kesultanan Bima memimpin sejak abad ke-17 hingga masa kolonialisme di nusantara berakhir. Isi naskah Hukum Adat Tanah Bima mengandung aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban masyarakat serta larangan-larangan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Aturan dan ketentuan tersebut dibuat dengan tujuan agar kepentingan antara warga satu dengan yang lainnya serta warga dengan masyarakat adat bisa seimbang. Jika ada warga yang melanggar peraturan tersebut maka akan dikenakan sanksi yang ditetapkan oleh putusan pemegang hukum yang adil dan bijaksana atas dasar Hukum Adat berdasarkan pertimbangan nilai-nilai kemanusiaan.[3] Jarak tempuh ke museumUntuk menuju Museum Samparaja membutuhkan jarak tempuh 15 km dari Bandara Sultan Muhammad Salahuddin. Sementara dari Terminal Benhur jarak tempuhnya sekitar 2 km dan dari Pelabuhan Bima jarak tempuhnya sekitar 3 km.[1] Waktu kunjungWaktu kunjung ke Museum Samparaja adalah Selasa-Minggu mulai pukul 08.00-14.00 tetapi untuk hari Jumat waktu kunjungnya hanya dari pukul 08.00-14.00, sementara untuk hari Senin dan Hari Libur Nasional museum tutup.[1] Harga tiketHarga tiket masuk ke Museum Samparaja yaitu Rp 15.000[1] Referensi
|