Camara dilahirkan pada 1964 di Koure, Prefektur Lola di ujung tenggara Guinea, dekat perbatasan dengan Pantai Gading dan Liberia. Ia belajar di ibu kota regional, Nzérékoré yang 40 km jauhnya dari kota kelahirannya, kemudian melanjutkan ke Universitas Conakry di ibu kota Guinea, dan memperoleh gelar S2 bidang Ekonomi. Ia seorang Muslim dan berbicara dalam lima bahasa - Prancis, Jerman, Kpelle, Sousou dan Maninka.
Ia bergabung dengan Angkatan Darat Guinea pada 1990 sebagai kopral dan pada 2004 dikirim ke Jerman untuk menjalani pendidikan militer selama 18 bulan. Ia adalah salah satu pemimpin pemberontakan dalam pemberontakan militer Guinea 2008. Pada November 2008, ia ditunjuk sebagai kepala unit pasokan bahan bakar tentara dan anggota dalam kabinet Menteri Pertahanan.[5][6]
Intervensi tentara Desember 2008
Dini hari 23 Desember 2008, Aboubacar Somparé, Presiden Dewan Nasional, mengumumkan di televisi bahwa Conté meninggal dunia karena sakit pada 22 Desember.[7] Menurut konstitusi, Presiden Dewan Nasional mengambil alih jabatan kepresidenan republik apabila terjadi kekosongan, dan pemilihan presiden yang baru harus dilaksanakan dalam waktu 60 hari.[7]
Enam jam setelah Somparé mengumumkan kematian Conté, sebuah pernyataan dibacakan di televisi yang mengumumkan terjadinya kudeta militer.[8] Pernyataan ini, yang dibacakan oleh Kapten Camara[9] atas nama DNDP,[8] mengatakan bahwa "pemerintah dan lembaga-lembaga Republik telah dibubarkan". Pernyataan ini juga mengumumkan dibatalkannya Konstitusi "serta kegiatan politik dan uni".[9] Menurut Camara, kudeta ini diperlukan karena Guinea berada dalam "keadaan yang sangat menyedihkan" di tengah-tengah kemiskinan dan korupsi yang merajalela, dan ia menyatakan bahwa lembaga-lembaga yang ada "tidak mampu memecahkan krisis yang telah dihadapi negara ini." Lebih lanjut, Camara berkata bahwa seseorang dari kalangan militer akan menjadi Presiden, sementara seorang warga sipil akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan yang baru yang secara etnis akan berimbang.[10] Dewan Nasional untuk Demokrasi dan Pembangunan, menurut Camara, akan mencakup 26 perwira serta enam warga sipil.[11]
Sebuah pernyataan dibacakan di radio pada 24 Desember yang intinya mengumumkan bahwa Kapten Camara menjadi Presiden DNDP.[12] Belakangan hari itu, Camara dan ribuan tentara yang setia kepadanya mengadakan parade di seluruh kota, yang dikelilingi oleh sejumlah besar pendukung sipil. Menurut Camara, ia "datang untuk melihat apakah situasinya menguntungkan bagi kami", sambil menyatakan bahwa masa yang besar itu menunjukkan bahwa rakyat memang mendukung kudeta. Juga pada 24 Desember, Camara mengatakan dalam sebuah siaran radio bahwa DNDP tidak ingin bertahan dalam kekuasaan terus-menerus dan bahwa dewan ini dimaksudkan untuk memimpin negara selama dua tahun, sambil menjanjikan "pemilihan umum kepresidenan yang dapat dipercaya dan transparan pada akhir Desember 2010". Hal ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya yang menjanjikan pemilihan dalam waktu yang diwajibkan oleh konstitusi yakni 60 hari.[13]
Berbicara di radio pada 25 Desember, Camara mengatakan bahwa ia tidak berencana untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada akhir masa transisi dua tahun ini. Ia juga mengumumkan bahwa DNDP tidak kebal terhadap sogok. Menurut Camara, orang telah "mulai muncul dengan berkarung-karung uang untuk berusaha mengorup kami. Mereka berusaha memberikan uang kepada para istri kami dan mobil kepada anak-anak kami." Ia memperingatkan bahwa ia akan "secara pribadi mengejar siapapun yang berusaha membuat kami korup".[14]
Perdana Menteri berkuasa berjanji setia
Pada 25 Desember 2008 Perdana Menteri di bawah rezim sebelumnya, Ahmed Tidiane Souaré, secara resmi berjanji setia kepada Camara, dan dengan demikian semakin memperkuat pemerintahan Camara.[15]
Unjuk rasa 2009
Pada tanggal 28 September 2009, anggota partai oposisi berunjuk rasa di Stade du 28 Septembre di Conakry, menuntut agar Camara mundur. Meskipun banyak cabang pasukan keamanan terlibat, pengawal presiden "Baret Merah", yang dipimpin oleh Abubakar "Toumba" Diakite, bertanggung jawab atas kekerasan menembaki, menikam, bayonet, dan memperkosa beramai-ramai warga sipil yang melarikan diri, menewaskan sedikitnya 157 orang (menurut PBB) dan melukai sedikitnya 1.200 orang.[16] Menanggapi kritik dari organisasi hak asasi manusia internasional, pemerintah mengatakan bahwa hanya 56 orang tewas dan sebagian besar terinjak-injak oleh pengunjuk rasa yang melarikan diri.[17]
Setelah kejadian tersebut, foto ponsel dari sumber anonim beredar di Internet, menunjukkan banyak wanita yang diperkosa oleh tentara Camara.[18] Hanya sedikit perempuan yang angkat bicara mengenai penyerangan terhadap mereka karena adanya stigma masyarakat terhadap korban kekerasan seksual. Namun, Médecins Sans Frontières telah mengonfirmasi bahwa mereka telah merawat beberapa korban pemerkosaan dan kekerasan seksual dalam insiden tersebut. Bagi masyarakat yang sudah terbiasa dengan kekerasan, pemerkosaan tersebut sangat mengejutkan karena terjadi di ruang terbuka, di siang hari, dan sangat kejam serta seringkali berakibat fatal.[19] Menurut sejumlah saksi, para perempuan dilecehkan secara beramai-ramai dengan menggunakan laras senapan dan benda-benda lainnya. Ada pula yang diperkosa lalu ditembak dengan laras senapan di vaginanya.[20]Mahkamah Pidana Internasional menyelidiki insiden tersebut dan Uni Afrika meminta pengunduran diri Camara.[21]
Persidangan dan penjara
Pada 27 September 2022, Camara dipenjara dan diadili atas pembantaian tahun 2009. Salifou Beavogui, salah satu pengacara Camara, menyatakan bahwa jaksa telah "membawa enam klien kami ke rumah pusat (penjara) di mana mereka tampaknya akan dikurung sampai akhir (sidang)" dan bahwa "Sangat disayangkan, persidangan dimulai dengan melanggar hak-hak terdakwa”. Pada tanggal 28 September, Camara dan 10 mantan pejabat militer dan pemerintah lainnya hadir di pengadilan.[22]
Pada tanggal 4 November 2023, kelompok bersenjata lengkap mengeluarkan Camara dan tiga pejabat lainnya dari penjara Conakry.[23] Selama pelariannya, sembilan orang, termasuk tiga penyusup dan empat anggota pasukan pertahanan Guinea tewas, dan enam lainnya dirawat karena luka tembak.[24] Dia ditangkap kembali beberapa jam kemudian.[25] Pada tanggal 13 November, persidangannya dilanjutkan, setelah ditangguhkan selama tiga minggu karena alasan yang tidak terkait.[26]
Pada tanggal 31 Juli 2024, Moussa Dadis Camara dinyatakan bersalah atas “kejahatan terhadap kemanusiaan” dalam pembantaian yang terjadi pada tahun 2009, dan dijatuhi hukuman dua puluh tahun penjara.[27]
^Adam Nossiter (6 October 2009). "U.S. Envoy Protests Violence in Guinea". New York Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 27 January 2018. Diakses tanggal 15 October 2009.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Bloody Monday". Human Rights Watch. 17 December 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 October 2012. Diakses tanggal 1 February 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Bloody Monday". Human Rights Watch. 17 December 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 8 October 2012. Diakses tanggal 1 February 2016.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"French told to quit unsafe Guinea". BBC News. 16 October 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 March 2016. Diakses tanggal 15 October 2009.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)