Model mental

Model mental (Bahasa Inggris: mental models) merupakan konsep, kerangka kerja, atau pandangan dunia yang tertanam di pikiran individu dalam rangka untuk membantu dirinya menafsirkan dunia dan memahami hubungan antar hal-hal tersebut. Sebuah model mental dapat dikatakan juga sebagai representasi bagaimana dunia bekerja.[1] Maksudnya ialah ia menyoroti bagaiama individu menyederhanakan kompleksitas, mengapa individu menganggap beberapa hal lebih relevan daripada yang lain, dan bagaimana individu bernalar.[2]

Pada dasarnya, individu tak akan mampu menyimpan semua detail dunia di otaknya. Sehingga, dengan menggunakan sebuah model, individu akan mampu menyederhanakan kompleksitas dunia fisik menjadi potongan yang dapat dimengerti dan diatur.[2] Lebih lanjut, penelitian yang membahas mengenai model mental berada pada kajian psikologi kognitif. Di mana disiplin ilmu tersebut digunakan untuk mempelajari bagaimana manusia belajar, mengingat, mengamati proses mental manusia, dan mencari hubungan sistematis antara perilaku dan kognisi.[3]

Sejarah

Charles Sanders Peirce
Charles Sanders Peirce

Model mental pertama kali didalilkan oleh filsuf dan ahli polimatika Amerika bernama Charles Sanders Peirce. Pada tahun 1896. Peirce menyatakan bahwa penalaran adalah proses di mana manusia memeriksa keadaan yang dinyatakan dalam premis, membentuk diagram (model mental) dari keadaan itu, melihat di bagian-bagian diagram hubungan yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam premis, memenuhi dirinya sendiri dengan eksperimen mental, dan menyimpulkan kebenaran yang diperlukan darri hal tersebut. Diagram yang digambarkan Peirce sebagai model mental dunia ini digunakannya untuk memahami dan menulis topik yang luas, dari mulai matematika dan fisika hingga psikologi, antropologi, dan ekonomi.[4]

Pada tahun 1943, psikolog asal Skotlandia bernama Kenneth Craik mengajukan gagasan serupa. Craik percaya bahwa pikiran membangun “model skala kecil” dari realitas yang digunakannya untuk mengantisipasi peristiwa dan untuk mendasari penjelasan, tetapi untuk penalaran manusia tetap didasarkan pada aturan verbal. Seperti apa yang termuat dalam teori gambar Wittgenstein (1922) tentang makna bahasa bahwa model mental memiliki struktur yang sesuai dengan struktur apa yang diwakilinya. Misalnya, model bangunan dari arsitek, model molekul kompleks dari ahli biologi molekuler, dan diagram interaksi partikel dari fisikawan.[5]

Terlepas dari wawasan Craik, ilmuwan kognitif menerima begitu saja bahwa orang bernalar berdasarkan hukum logika simbolik sampai Phil Johnson-Laird menerbitkan buku “Mental Models” pada tahun 1983. Johnson-Laird berpendapat bahwa pikiran membangun model mental sebagai hasil dari persepsi, imajinasi, pengetahuan, memori, dan pemahaman wacana. Setelah Johnson-Laird mengembangkan teori model barulah ilmuwan kognitif mulai mempelajari perkembangan model mental pada anak, perancangan artefak, sistem komputasi, model yang berfungsi sebagai analogi di domain lain, dan bagaimana model mampu mempelopori gagasan, kesimpulan, serta perasaan.[5]

Fungsi

Model mental memiliki beberapa fungsi[6], antara lain:

  • Membantu individu memahami kehidupan.
  • Memandu persepsi dan perilaku individu.
  • Mengakomodasi pengambilan keputusan.
  • Mendukung pemecahan masalah.

Sifat

Model mental bukanlah sistem psikologi yang mudah dikenali karena beberapa sifatnya, antara lain ialah tidak konsisten, tidak stabil, dan dinamis atau kerap berubah seiring semakin bertambahnya informasi yang diperoleh maupun diingat kembali (recalled). Walau begitu, adanya perkembangan model mental secara berangsur-angsur dapat dipastikan menjadi perubahan baik bagi mental seseorang dalam domain tertentu.[7]

Prinsip Perkembangan

Terdapat delapan prinsip yang perlu diperhatikan manakala menetapkan perkembangan dalam model mental[8]:

  1. Tertanam dalam situasi masalah yang kompleks;
  2. Diterapkan dalam domain subjek yang berbeda;
  3. Memungkinkan konstruksi, modifikasi, dan reorganisasi model mental;
  4. Pengumpulan data pada model mental dilakukan dengan desain longitudinal;
  5. Mampu mendemonstrasikan konstruksi mental model secara berurutan hingga sempurna, dari tingkat pemula (awam) sampai ahli;
  6. Mengacu pada karakteristik model pakar;
  7. Menyediakan data kuantitatif yang valid dan reliabel;
  8. Memungkinkan analisis metodologis langsung dan interpretasi data yang dikumpulkan.

Pemikiran dan Pengambilan Keputusan

Setiap individu memiliki model mental favoritnya. Model mental favorit ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana atau mengapa sesuatu terjadi. Masalahnya adalah seiring bertambahnya usia dan peningkatan keahlian di bidang tertentu, individu akan cenderung menyukai model mental yang paling ia kenali. Sehingga, ketika pandangan dunia tertentu mendominasi seseorang maka seseorang tersebut juga akan mencoba menjelaskan setiap masalah yang ia hadapi melalui satu jenis sudut pandang.[6]

Ahli biologi bernama Robert Sapolsky [en] berusaha menjelaskan fenomena tersebut dengan sebuah pertanyaan sederhana[1], “Mengapa ayam itu menyeberang jalan?” kepada berbagai ahli. Jawaban para ahli itu lantas dirangkum seperti di bawah ini:

  • Jika Anda bertanya kepada ahli biologi evolusi, mereka mungkin berkata, "Ayam itu menyeberang jalan karena mereka melihat calon pasangan di seberang jalan."
  • Jika Anda bertanya kepada ahli kinesiologi, mereka mungkin berkata, "Ayam itu menyeberang jalan karena otot-otot di kaki berkontraksi dan menarik tulang kaki ke depan setiap kali melangkah."
  • Jika Anda bertanya kepada ahli saraf, mereka mungkin berkata, "Ayam itu menyeberang jalan karena neuron di otak ayam bekerja dan memicu gerakan tersebut."

Secara teknis, Robert Sapolsky menyimpulkan bahwa tidak satu pun dari para ahli ini yang mengajukan pandangan yang salah atau keliru. Semua perspektif terlihat memiliki beberapa kebenaran. Namun, tak satu pun dari pendapat mereka mengandung kebenaran yang lengkap.

Sama halnya bahwa setiap model hanyalah satu pandangan tentang realitas. Tantangan dan situasi yang setiap individu hadapi dalam hidup ini tentu tak sepenuhnya dapat dijelaskan oleh satu set mental saja. Untuk menemukan solusi dan mengeluarkan potensi penuh individu, maka perlu mengeksplorasi beragam model mental. Dengan mempelajari dan menggunakan berbagai model mental, setiap individu akan mampu membangun fondasi dalam pengambilan keputusan.

Pembentukan Model Mental

Model mental setidaknya dibentuk dan dipelihara melalui empat cara. Pertama, penghapusan, yaitu dengan memilih, menyaring berbagai pengalaman, dan menyusun rencana dari berbagai bagian. Kedua, konstruksi, yaitu menciptakan sesuatu yang belum ada di set mental sebelumnya. Ketiga, distorsi, yaitu menjalin berbagai pengalaman dan mencoba memahami dalam arti yang berbeda. Keempat, generalisasi, yaitu menjadikan suatu pengalaman sebagai gambaran keseluruhan pengalaman.[9]

Macam Model Mental

Sepanjang sejarah peradaban, manusia telah menciptakan lebih dari ribuan model mental. Tetapi, untuk menjadi individu yang memiliki pemahaman kuat tentang cara kerja dunia, setiap individu hanya perlu menguasai puluhan model mental saja.[6] Berikut adalah macam-macam model mental yang dapat diterapkan atau diwaspadai seseorang manakala menjalani kehidupannya, di antaranya:

Pengetahuan Umum

Pengetahuan umum atau common knowledge mengacu pada sebuah informasi yang diketahui oleh kebanyakan orang sehingga seringkali tak memerlukan rujukan.[10] Cara umum untuk menggambarkan pengetahuan umum ialah dengan jalan melihat bahwa pengetahuan tersebut dapat secara mudah diakses, diketahui atau ditemukan oleh sebagian besar orang melalui ensklopedia, kamus, situs web, atau sumber daya lainnya. Lebih lanjut, pengetahuan umum juga sering disebut sebagai pengetahuan komunal karena berhubungan dengan kelompok tertentu.[11] Contoh pengetahuan umum antara lain: ada 365 hari dalam setahun; Amerika Serikat memasuki Perang Dunia II setelah pengeboman Pearl Harbor; Barack Obama adalah orang Amerika pertama dari ras campuran yang terpilih sebagai presiden; Tokyo adalah ibu kota negara Jepang; atau Hari Kesaktian Pancasila diperingati setiap 1 Oktober.

Walau terkesan diketahui oleh rata-rata orang, nyatanya pengetahuan umum terkadang cukup ambigu dan tergantung pada konteksnya. Misalnya saja, dalam ilmu psikologi, sudah menjadi rahasia umum bahwa simpanse dapat mengenali diri mereka sendiri di cermin; atau dalam lingkup sastra, sudah menjadi rahasia umum bahwa James Joyce adalah penulis modernis utama. Bila melihat lingkungan saat berbicara, dalam hal ini ruang kuliah psikologi atau sastra, sah-sah saja menyebut contoh simpanse bercermin atau James Joyce si penulis modernis adalah sebuah pengetahuan umum. Namun, bila audiens berasal dari luar bidang tersebut, maka pernyataan tersebut merupakan pengetahuan umum disiplin, yang mana memerlukan sebuah rujukan saat penyampaiannya.[11]

Untuk lebih mudahnya, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada diri sendiri guna mengetahui apakah informasi tersebut termasuk pengetahuan umum atau tidak, di antaranya[10]:

  • Siapa audiens saya?
  • Apa saya bisa berasumsi bahwa mereka sudah tahu?
  • Apakah saya akan ditanya dari mana saya mendapatkan informasi tersebut?

Setelah menanyakan hal-hal tersebut, seseorang juga dapat mendiagnosis sebuah pernyataan termasuk pengetahuan umum atau bukan. Berikut ciri-ciri yang menandakan pernyataan nonpengetahuan umum[10]:

  • Kumpulan data yang dihasilkan oleh seseorang.
  • Statistik yang diperoleh dari sumber seperti biro sensus dan biro statistik tenaga kerja.
  • Referensi studi yang dilakukan oleh orang lain.
  • Referensi ke tanggal, angka, atau fakta tertentu yang tidak akan diketahui pembaca kecuali dia telah melakukan penelitian.

Hukum Hick

Hukum Hick atau yang disebut juga “Hukum Hick-Hyman” merupakan hukum kepraktisan desain yang dikemukakan oleh psikolog Inggris dan Amerika bernama William Edmund Hick dan Ray Hyman. Pada tahun 1952, pasangan ini mulai menguji hubungan antara jumlah rangsangan yang ada dan waktu reaksi individu terhadap rangsangan yang diberikan. Atas penelitian tersebut, mereka berdua mendapati bahwa semakin banyak rangsangan untuk dipilih maka semakin lama juga waktu yang dibutuhkan pengguna untuk membuat sebuah keputusan. Pengguna yang dibombardir dengan pilihan harus meluangkan waktu untuk menafsirkan dan memutuskan, sehingga hal tersebut berdampak pada kelelahan pengguna.[12][13]

Hukum Hick
Data dari W. E. Hick (1952) menunjukkan Hukum Hick: hubungan antara waktu reaksi dan jumlah opsi respons di dua peserta (merah dan biru).

Sebagai seorang desainer, Hukum Hick digunakan untuk memeriksa berapa banyak fungsi yang harus ditawarkan di bagian mana pun dari situs web dan bagaimana hal ini akan memengaruhi pendekatan keseluruhan pengguna dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini, Hukum Hick mendorong seorang desainer untuk terlebih dahulu mendalami fungsionalitas yang akan menjawab kebutuhan pengguna. Sementara di sisi lainnya, seorang desainer berusaha mengarahkan para pengguna untuk menuju fungsi spesifik yang paling mereka butuhkan. Proses dalam Hukum Hick ini yang nantinya akan mengurangi risiko pengguna mengalami kebingungan, frustasi, atau bahkan meninggalkan situs web terkait.[13]

Rumus Hukum Hick diformulasikan sebagai berikut[14]:

RT = a + b log2 (n)

Dengan "RT" adalah waktu reaksi, "(n)" adalah jumlah rangsangan yang ada (alternatif), "a" adalah total waktu yang tidak terlibat dengan pengambilan keputusan, dan "b" adalah konstanta yang diturunkan secara empiris berdasarkan waktu proses kognitif untuk setiap opsi, yang untuk manusia adalah 0,155.

Ilustrasi perhitungannya seperti contoh berikut:

Katakanlah, anda berada di situs web dan anda perlu menavigasi ke suatu tempat. Ada daftar opsi dan anda membutuhkan waktu 2 detik untuk membaca, memahami, dan memutuskan opsi navigasi mana yang akan dipilih dari 5 opsi yang memungkinkan. Masukkan seluruh variabel ke dalam rumus Hukum Hick seperti berikut:

RT = (2 detik) + (0,155 detik)(log2(5)) = 2,36 detik.

Dari perhitungan tersebut lantas didapatkan hasil bahwa waktu respon yang dibutuhkan pengguna adalah 2,36 detik.

Untuk aplikasinya, Hukum Hick dapat ditemukan di mana-mana. Mulai dari desain web, aplikasi, sampai jumlah kontrol pada microwave atau pun mesin cuci. Dalam pengaplikasian pada alat-alat tersebut, Hukum Hick selalu mengacu pada prinsip “K.I.S.S.”, yakni kepanjangan dari “Keep It Short and Simple”. Prinsip ini menyatakan bahwa kesederhanaan adalah kunci agar sistem bekerja secara optimal. Prinsip K.I.S.S. ini pertama dikenal pada tahun 1960-an dan digunakan oleh Angkatan Laut Amerika Serikat. Selang satu dekade berikutnya, prinsip K.I.S.S. kemudian digunakan pada berbagai industri.[13] Lebih spesifiknya, Hukum Hick dengan prinsip K.I.S.S. kerap digunakan desainer saat mendesain kontrol tampilan menu tarik-turun; halaman kontak; formulir pendaftaran; pilihan tombol, dan menu navigasi.[14]

Kemudian untuk menerapkan Hukum Hick dalam desain pengguna, terdapat empat cara yang dapat ditempuh. Pertama, mengkategorikan pilihan. Maksudnya, seorang desainer harus mengelompokkan item menu ke dalam kategori spesifik agar pengguna dapat masuk lebih jauh ke dalam menu dan menemukan apa yang mereka benar-benar butuhkan. Dengan mengkategorikan pilihan, pengguna tidak kewalahan. Kedua, membatasi jumlah pilihan. Membatasi jumlah pilihan dilakukan dengan meminimalkan input pengguna guna mengurangi waktu dan usaha pengguna. Contoh membatasi jumlah pilihan diterapakan oleh Apple Pay yang melakukan transaksi dengan hanya menekan flash ponsel alih-alih menggesek kartu atau memasukkan pin. Ketiga, memecah proses. Ketika mungkin suatu desain tidak memiliki opsi beli cepat, memerlukan opsi mendaftar dan memasukkan informasi pembayaran, solusinya adalah memecah proses. Memecah proses maksudnya adalah memecah satu proses panjang menjadi beberapa langkah. Pendaftaran email dan kata sandi di satu layar, detail keranjang belanja di layar lain, informasi pengiriman di layar lain, dan seterusnya. Dengan memecah proses menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dengan layar terpisah maka akan tercipta pengalaman yang lebih ramah pengguna dan memastikan pengguna mencapai akhir proses pembayaran. Langkah keempat atau yang terakhir adalah sembunyikan dan cari. Langkah ini dilakukan dengan cara membuat tombol “pengaturan lanjutan” untuk menyembunyikan atau menampiikan opsi yang dikehendaki pengguna. Langkah ini dapat menjadi salah satu cara menyembunyikan fitur tanpa menghapus informasi sepenuhnya.[14]

Sementara itu, pengaruh Hukum Hick dalam sebuah desain perlu diketahui untuk mengoptimalkan interaksi pengguna. Untuk melihat pengaruh tersebut maka dapat dketahui dengan dua langkah. Pertama, dengan melihat waktu yang dihabiskan pengguna di situs terkait. Seorang desain mesti melihat pola waktu penggunya. Jika pengguna menghabiskan terlalu sedikit waktu, mungkin ini menandakan ia pergi tanpa membuat keputusan. Di sisi lain, jika pengguna menghabiskan terlalu banyak waktu, mungkin pengguna tersebut teralihkan dari tujuannya. Seorang desainer dalam hal ini perlu memetakan pola waktu sehingga mampu mempertahankan interaksi dan membantu pengguna dalam membuat keputusan. Sedangkan, langkah kedua dilakukan dengan cara mencermati jumlah kunjungan ke halaman. Jumlah kunjungan ke halaman akan menjadi indikator seberapa efektif Hukum Hick diterapkan. Sebagai contoh, jika navigasi terlalu rumit maka akan berdampak pada jumlah kunjungan halaman yang lebih sedikit dibandingkan dengan menu sederhana.[15]

Pengondisian Klasik (Pavlov)

Eksperimen Anjing Pavlov
Eksperimen Anjing Pavlov

Pengondisian klasik merupakan proses saat suatu stimulus netral atau yang tadinya tak memberikan respon mampu memberikan respon baru apabila diasosiasikan dengan stimulus pemicu respon.[16] Model mental ini ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang ahli fisiologi asal Rusia, ketika ia sedang bereksperimen mengenai bagian produksi cairan liur pada anjing. Dalam eksperimennya yang dinamai Pavlov’s Dog ini, Pavlov melihat bahwa anjing tidak hanya merespons sesuai keperluan biologis (rasa lapar), tetapi juga sebagai hasil dari bagian tak berkesudahan.[17] Lantas, Pavlov menyimpulkan bahwa selain respon refleks terhadap stimulus alami, respon juga dapat dikondisikan. Caranya yakni menggunakan stimulus netral atau tidak terhubung dengan refleks atau respon alami yang dihubungkan dengan respon alami, sehingga menghasilkan respon terkondisi.[18] Khususnya dalam ilmu psikologi, pengondisian klasik diperuntukkan sebagai terapi untuk mengubah perilaku individu.

Contoh aplikasi pengondisian klasik dalam kehidupan sehari-hari misalnya adalah bel di sekolah.[18] Di lingkungan sekolah, pada awalnya, bunyi bel bukanlah sebuah stimulus yang terasosiasi dengan sinyal apapun bagi murid-murid. Tetapi, setelah dikondisikan, maka ketika bel yang distimulus dengan disengaja untuk menciptakan respons yang dikondisikan, hasilnya adalah bunyi bel diterima oleh murid-murid sebagai tanda untuk masuk dan keluar kelas, atau pengingat waktu istirahat.

Sementara itu, contoh yang lebih berguna dari pengkondisian klasik ialah penerapannya untuk mendukung upaya konservasi satwa liar.[18] Agar singa di Afrika tidak memangsa ternak sapi dan berkonflik dengan petani, maka singa-singa tersebut dikondisikan untuk tidak menyukai rasa daging sapi. Delapan singa diberi daging sapi yang diberi obat cacing yang menyebabkan gangguan pencernaan. Setelah melakukan hal ini beberapa kali, singa mulai enggan untuk memakan daging sapi meskipun sapi tidak diberi obat cacing. Mengingat keengganan mereka terhadap daging sapi, singa-singa ini kemungkinan besar tidak akan memangsa ternak sapi milik petani.

Dalam basis terapi perilaku, pengondisian klasik diterapkan menggunakan prinsip-prinsip yang berusaha untuk mengurangi atau menghilangkan perilaku maladaptif. Terapi perilaku yang biasanya menggunakan pengondisian klasik ialah desensitisasi sistematis dan pengondisian aversif. Pada desensitisasi sistematis, terapis membantu individu untuk mengasosiasikan relaksasi mendalam secara bertahap dengan situasi yang menimbulkan kecemasan misalnya. Dengan pengondisian relaksasi tersebut, individu akan berusaha untuk rileks sementara dan bukan malah mencemaskannya. Sementara itu, pada pengondisian aversif, dilakukan dengan cara pemasangan berulang dari sebuah perilaku yang tidak diharapkan dengan sebuah stimulus aversif untuk menurunkan penguatan yang didapatkan dari sebuah perilaku. Caranya ialah ketika ingin menghilangkan kebiasaan minum alkohol pada individu, maka setiap individu yang meminum minuman beralkohol, maka ia juga mesti mengonsumsi minuman campuran yang menciptakan rasa pusing dan mual. Kondisi tidak enak ini nantinya akan memberikan efek jera dan memunculkan keinginan berhenti minum minuman beralkohol pada individu tersebut.[19][20]

Ilusi kontrol

Betapapun seseorang telah memenangkan permainan judi, orang tersebut akan terus melanjutkan permainan hingga uangnya ludes untuk dipertaruhkan kembali. Penjudi bisa menjadi tidak realistis karena merasa dirinya memiliki kendali tertentu dan berpikir risiko pada permainan selanjutnya tak akan begitu besar; sebab mereka telah menemukan triknya. Yang benar adalah bahwa 'yang beruntung' sebenarnya adalah seseorang yang kalah sangat awal dan meninggalkan perjudian dengan cepat. Keacakan sistem (baca: pertaruhan) inilah yang memastikan ilusi kontrol masuk dan membuat para penjudi ingin terus bermain.[21]

Ilusi kontrol ialah sebuah model mental yang menggambarkan bagaimana kita percaya bahwa kita memiliki kontrol yang lebih besar atas peristiwa daripada apa yang sebenarnya kita lakukan. Bahkan dalam konteks sistem yang acak yakni kebetulan dan keberuntungan sekalipun, kita kerap merasa bahwa kita mampu mempengaruhinya dengan cara tertentu. Ilusi kontrol kemudian bisa dikatakan sebagai optimisme tak berdasar.[22]

Kekhasan perilaku ilusi kontrol faktanya telah berlangsung dalam jutaan tahun evolusi. Pada mulanya, bias kognitif ini telah tertanam secara alami di otak manusia sebagai cara untuk meningkatkan peluang bertahan hidup di masa pemburu-pengumpul. Demi menghindari stres kognitif di masa-masa yang tak tentu, ilusi kontrol bertindak dengan cara menyingkirkan ketidakpastian sehingga memastikan manusia purba mampu bertahan hidup di alam liar.[21] Dalam rentang yang panjang, tepatnya pada tahun 1975, seorang psikolog Harvard bernama Ellen Langer baru menamai model mental ini sebagai ilusi kontrol. Di mana dalam makalahnya, bias kognitif yang dikenal dengan nama ilusi kontrol ini telah meluas ke ruang perjudian dan undian kartu lotre dengan berbagai faktor kontribusinya.[23]

Setidaknya terdapat enam faktor yang berkontribusi dalam terciptanya ilusi kontrol.[24] Pertama, seseorang memiliki pemikiran bahwa ia harus menghasilkan tindakan karena orang lain tak mungkin dapat bertindak untuk orang tersebut. Kedua, situasinya akrab atau tidak asing. Ketiga, seseorang telah mengetahui hasil yang ia inginkan sebelumnya. Keempat, seseorang percaya bahwa ia menggunakan lebih banyak kendali dalam situasi sukses daripada saat situasi terpuruk. Kelima, orang-orang dalam suasana hati yang tertekan cenderung percaya bahwa mereka memiliki kendali yang lebih kecil atas peristiwa-peristiwa daripada orang-orang dalam suasana hati yang tidak tertekan. Uniknya adalah individu yang mengalami depresi cenderung kurang rentan terhadap ilusi kontrol dibandingkan mereka yang tak menderita depresi. Keenam, variabel kepribadian atau yang biasa disebut dengan kebutuhan kontrol.

Walau begitu, faktanya ilusi kontrol tidak hanya terkotakkan dalam kasus judi atau lotre saja. Ilusi kontrol bisa terjadi pada siapapun dan kapapun juga. Daniel Kahneman, seorang tokoh ekonomi perilaku dalam bukunya bertajuk “Thinking Fast and Slow” tahun 2012 menjelaskan tentang dua sistem berbeda yang berkontribusi pada pemikiran manusia. Sistem 1, yang otomatis dan di luar kendali kita; dan sistem 2, yang secara penuh kita sadari dan terlibat dalam pemrosesan yang lebih mudah. Di mana tugas membuat kausal ditangani oleh sistem 1 yang berarti seseorang akan cenderung menyimpulkan tanpa melalui penalaran matang.[22]

Perhatikan ilustrasi di bawah ini:

“Setelah menghabiskan hari menjelajahi pemandangan indah di jalan-jalan ramai di New York, Jane mendapati bahwa dompetnya hilang.”

Ketika seseorang membaca kalimat tersebut, seseorang mungkin menyimpulkan bahwa dompet Jane telah dicuri saat ia berjalan-jalan di sekitar New York. Asumsi ini mungkin saja betul, namun juga bisa keliru. Karena secara teori, dompet Jane bisa saja jatuh dengan berbagai cara, misalnya terjatuh di suatu tempat. Tanpa berpikir panjang, ilusi kontrol akan menggiring asumsi bahwa tindakan X akan selalu menghasilkan Y. Yang apabila diterapkan pada semua kondisi akan menyebabkan pengambilan keputusan yang buruk, cenderung tidak rasional, dan merugikan.[22]

Demi menghindari beragam kerugian di masa mendatang, ilusi kontrol dapat dihindari melalui beberapa strategi. Pertama, memperhatikan pandangan luar. Maksudnya adalah daripada hanya mengandalkan intuisi, ada baiknya untuk menengok sumber informasi ekternal. Melalui data yang akurat dan opini kedua dari ahli akan membuat keputusan seseorang lebih bijaksana tanpa meredam harapan orang tersebut. Kedua, berpikir seperti seorang saintis. Poin ini berarti seseorang menggunakan metode ilmiah dalam cara berpikirnya. Dengan menggunakan metode ilmiah, seseorang dapat menilai apakah suatu hal benar-benar memiliki hubungan sebab-akibat dengan sesuatu hal yang lain atau tidak. Metode ilmiah ini akan membantu seseorang untuk lebih berpikir kritis sekaligus menghindari bias dari ilusi kontrol.[22]

Hierarki Kebutuhan Maslow

Hierarki Kebutuhan Maslow
Hierarki Kebutuhan Maslow

Hierarki kebutuhan Maslow adalah teori Abraham Maslow yang mengemukakan bahwa orang dimotivasi oleh lima kategori dasar kebutuhan: fisiologis, keamanan, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri. Menurut Maslow, kebutuhan dasar tersebut akan terpenuhi secara berjenjang (hierarki). Hierarki tersebut dimulai dari kebutuhan yang lebih konkret seperti makanan dan air hingga konsep abstrak seperti aktualisasi diri.[25]

Secara lebih merinci, berikut penjelasan hierarki kebutuhan Maslow dari yang terbawah hingga puncak[26][27]:

Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan fisiologis mengacu pada kebutuhan fisik dasar seperti, minum, makan, tidur, dan tempat tinggal. Menurut Maslow, beberapa dari kebutuhan ini melibatkan upaya individu untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan homeostatis (mempertahankan kondisi yang konsisten agar tubuhnya berfungsi normal meski terjadi perubahan di lingkungan), contohnya, mempertahankan suhu tubuh. Lebih jauh, Maslow menganggap kebutuhan fisiologis sebagai kebutuhan yang paling esensial (primer). Misalnya saja, jika seseorang sangat lapar, sulit untuk fokus pada hal lain selain makanan; atau ketika orang mengantuk, seseorang akan cenderung membahayakan dirinya ketika menyetir. Sehingga, dalam pemenuhannya, seseorang mesti memenuhi kebutuhan fisiologis ini terlebih dahulu sebelum memasuki level hierarki atau priramida selanjutnya.

Kebutuhan akan Rasa Aman

Begitu kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhan akan rasa aman menjadi prioritas selanjutnya. Kebutuhan akan rasa aman meliputi keamanan dan perlindungan dari bahaya fisik dan emosi. Kebutuhan ini didapatkan melalui banyak hal, seperti: ketertiban, aparat penegak hukum, asuransi kecelakaan, kebebasan dari rasa takut, keamanan finansial, dan lain sebagainya. Kebutuhan rasa aman dipenuhi untuk mendukung pemenuhan kebutuhan lain agar bisa terus berjalan dengan baik. Dalam penelitian Maslow terhadap orang dewasa yang tinggal di negara maju, ia menyimpulkan bahwa kebutuhan keamanan mereka lebih jelas dalam situasi darurat (misalnya perang dan bencana). Ini menunjukkan bahwa seseorang akan cenderung lebih menyukai apa yang ia kenal dan terasosiasi dengan asuransi serta rekening tabungan.

Kebutuhan akan Cinta dan Rasa Memiliki

Kebutuhan berikutnya dalam Hierarki Maslow melibatkan cinta dan rasa memiliki. Kebutuhan ini mencakup baik hubungan romantis maupun ikatan dengan teman dan anggota keluarga, serta merasa menjadi bagian dari kelompok sosial. Pada level ketiga hierarki ini, intinya seseorang memiliki perasaan dicintai, diterima, dan perasaan cinta terhadap orang lain. Contoh kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki antara lain ialah keluarga, persahabatan, kepercayaan, dan rasa kasih sayang.

Kebutuhan akan Penghargaan

Kebutuhan harga diri kita melibatkan keinginan untuk merasa baik tentang diri sendiri. Maslow mengklasifikasikan kebutuhan penghargaan menjadi dua kategori: (i) penghargaan untuk diri sendiri (martabat, prestasi, penguasaan, kemandirian) dan (ii) keinginan untuk reputasi atau rasa hormat dari orang lain (misalnya, status, prestise). Menurut Maslow, ketika kebutuhan penghargaan orang terpenuhi, mereka merasa percaya diri dan melihat kontribusi dan pencapaian mereka sebagai sesuatu yang berharga dan penting. Namun, ketika kebutuhan penghargaan mereka tidak terpenuhi, mereka mungkin mengalami apa yang disebut psikolog Alfred Adler sebagai "perasaan rendah diri".

Kebutuhan akan Aktualisasi Diri

Tingkat tertinggi dalam hierarki Maslow ialah kebutuhan akan aktualisasi diri. Aktualisasi diri mengacu pada pemenuhan potensi secara penuh. Maslow menggambarkan tingkat ini sebagai keinginan untuk mencapai segala sesuatu yang seseorang bisa, untuk menjadi yang paling bisa. Sementara itu, aktualisasi diri terjadi begitu unik pada beragam individu. Misalnya, untuk orang A, aktualisasi diri mungkin diwujudkan dengan pelibatan diri dalam membantu orang lain; untuk orang B, itu mungkin melibatkan pencapaian di bidang artistik atau kreatif, yakni lukisan, gambar, atau penemuan.

**

Dalam penelitannya lebih lanjut, Maslow lantas membagi kelima kebutuhan dasar tersebut menjadi deficiency needs atau growth needs. Seluruh kebutuhan dasar yang telah disebutkan Maslow digolongkan ke dalam deficiency needs, kecuali kebutuhan akan aktualisasi diri yang tergolong ke dalam growth needs. Artinya adalah ketika deficiency needs seseorang 'kurang lebih' telah terpenuhi, maka kebutuhan itu akan hilang, dan aktivitas seseorang menjadi terbiasa diarahkan untuk memenuhi rangkaian kebutuhan berikutnya yang belum dipenuhi. Namun di sisi lainnya, ternyata kebutuhan pertumbuhan terus dirasakan dan bahkan mungkin menjadi lebih kuat pada seseorang, bila ia terlibat. Ambil contoh, seorang Van Gogh yang mengaktualisasikan diri melalui karya lukisannya, namun hidup dengan kemiskinan. Oleh karena itu, Maslow memperbarui teorinya dengan mengatakan bahwa pada kenyataannya, hierarki tidaklah sekaku itu. Mengingat tidak semua orang akan bergerak melalui hierarki secara satu arah tetapi dapat bergerak bolak-balik di antara berbagai jenis kebutuhan.[27]

Terlepas dari serentetan pembaharuan teori Maslow, hierarki kebutuhan dasar yang dikenalkannya telah berkontribusi pada banyak penelitian. Psikolog Carol Ryff dan Burton Singer contohnya, menggunakan teori Maslow ketika mengembangkan teori kesejahteraan eudaimonic yang mengacu pada tujuan dan makna perasaan (mirip dengan gagasan aktualisasi diri Maslow). Atau penelitian dari psikolog Roy Baumeister dan Mark Leary yang membangun gagasan Maslow tentang kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki terkait dengan efek kesehatan seseorang. Bahwasanya, perasaan terisolasi atau ditinggalkan dapat memiliki konsekuensi negatif bagi kesehatan mental dan fisik.[26]

Sindrom Pendiri

Sindrom pendiri adalah pola perilaku terkait pendiri organisasi yang dari waktu ke waktu menjadi maladaptif terhadap operasi organisasi yang efektif dan sukses. Praktik ini terutama terkait dengan pendiri atau anggota dewan yang tetap aktif dalam organisasi sejak awal pendirian. Sindrom ini menunjukkan adanya hak istimewa pendiri untuk mengambil banyak kendali dan mengabaikan pemangku kepentingan lain yang ingin memajukan operasi organisasi.[28]

Sindrom pendiri dapat dipicu oleh faktor eksternal seperti meningkatnya kompleksitas organisasi maupun adanya perubahan haluan. Namun, penyebab sebenarnya terletak pada psikologi dan perilaku pendiri itu sendiri. Akibat membangun organisasi dari nol, pendiri seringkali merasa mencurahkan segalanya dan tak ingin organisasinya hancur sia-sia. Ego pendiri menjadi sangat kuat dan berhenti mendengarkan nasihat bijak orang lain, serta memvalidasi segala pemikirannya. Selain itu, pendiri yang memiliki sindrom ini juga cenderung diliputi kesadaran diri yang kurang atau tingkat pemikiran ganda, di mana ia menyetujui sebuah perubahan asal tetap berpegang teguh pada cara lamanya. Gaya kepimpinan pada sindrom pendiri juga tak ubahnya praktek otokratis yang enggan mendelegasikan atau menyerahkan kekuasaan dengan dalih perusahaan akan hancur bila tanpa dirinya.[29]

Sama halnya dengan penyakit fisik, sindrom pendiri memiliki gejala yang khas. Pendiri dengan sindrom ini biasanya melihat organisasinya sebagai wilayah kekuasaan pribadi di mana ia memiliki kekuasaan absolut. Kemudian, dalam konteks berorganisasi, tak jarang terjadi keterlambatan pengambilan keputusan akibat semua keputusan diorientasikan terpusat. Gejala lain yang sangat kentara dari sindrom ini adalah kemunculan faksi yang mendukung atau menentang sang pendiri. Pendiri mungkin menjadi terobsesi dengan loyalitas direktur dan staf, sementara orang yang hendak melesatkan pertumbuhan organisasi lantas menyingkir dan meninggalkan organisasi. Selanjutnya, organisasi juga menjadi ketinggalan zaman dan bermanifesti sebagai kegagalan karena sulitnya mengadopsi strategi atau model bisnis yang sesuai tuntutan pasar. Gejala lainnya adalah para pendiri enggan mengembangkan sistem organisasi yang dapat mengurangi tingkat kendali mereka atas organisasi mereka. Para pendiri ini hampir selalu berusaha menjalankan organisasi mereka dengan kendali ketat jarak jauh.[29]

Sementara itu, ancaman kesejahteraan organisasi akibat sindrom pendiri dapat diantisipasi dengan delapan pendekatan. Pertama, dengan membangun kepemimpinan yang kuat. Dalam konteks ini, organisasi perlu membangun struktur kepemimpinan sehingga para pendiri dapat melipatgandakan kemampuan kepemimpinannya. Kedua, pendiri melibatkan dan mendorong pemangku kepentingan lainnya (termasuk karyawan) untuk menjadi bagian dari pengambilan keputusan dan kegiatan lainnya. Pendekatan semacam itu menutup kesenjangan antara pendiri dan rekan kerja sementara pada saat yang sama mendorong komunikasi dan dialog terbuka. Pendekatan tersebut akan meningkatkan kerja tim dan bermanfaat bagi kinerja dan stabilitas organisasi. Ketiga, mendelegasikan wewenang kepemimpinan secara hati-hati kepada orang yang tepat, dengan keterampilan yang memadai, pada waktu yang tepat dan posisi yang tepat. Pendekatan pendelagasian pada gilirannya akan menghilangkan rasa takut kehilangan kekuatan, tetapi sebaliknya menanamkan kepercayaan pada tim. Keempat, menerapkan struktur, kebijakan, dan prosedur formal yang sesuai dengan tugas yang dialokasikan. Ketika struktur yang tepat dibangun maka tanggung jawab dan akuntabilitas dengan mudah diimplementasikan sehingga menghasilkan sistem yang memberikan hasil yang diharapkan. Kelima, pengambilan keputusan dilakukan melalui diskusi dan organisasi berusaha menanggapi masalah yang muncul bersama-sama. Keenam, organisasi melakukan peningkatan kapasitas dengan hanya mempekerjakan dan mempertahankan karyawan yang kompeten dan terampil. Agar hal tersebut terjadi, para pendiri harus memastikan adanya pembangunan kapasitas penuh dan pemberdayaan kepada semua karyawan, penerus dan pemangku kepentingan lainnya. Ketujuh, melakukan persiapan yang baik dan mendorong mekanisme transisi kepemimpinan. Untuk transisi yang sukses, para pendiri harus mengidentifikasi, melatih, dan membimbing penerus mereka, sementara pada saat yang sama membudayakan mereka dengan visi, misi, dan nilai-nilai yang dianut oleh organisasi terkait. Kedelapan, membangun profesionalisme. Pendektan profesionalisme mengharuskan para pendiri untuk menemukan metode yang baik untuk mengidentifikasi profesional perekrut karyawan. Di mana dasar rekrutmen tersebut juga harus sesuai prinsip integritas, kompetensi, pengalaman, ketersediaan dan keandalan.[28]

Walau sindrom pendiri dapat diatasi dengan berbagai pendekatan, namun encegah tetap menjadi pilihan yang lebih baik karena menyangkut keberlanjutan organisasi. Dalam hal ini, pendiri perlu fokus pada tujuan jangka panjang dan strateginya. Kemudian, para pendiri juga perlu untuk meningkatkan keterampilan manajemen dan kepemimpinannya. Terakhir, para pendiri, anggota, dan pemegang saham perlu memastikan bahwa organisasi menerapkan tata kelola yang baik. Para pendiri juga perlu membangun sebuah tim independen guna membantu mengawasi organisasi dan menjaga kepentingannya. Tim ini nantinya yang akan memastikan bahwa organisasi dapat terus berkembang jika pendiri tiba-tiba berkendala hadir atau bahkan wafat.[29]

Inversi

Inversi atau pembalikkan adalah cara berpikir di mana individu memvisualisasikan sebuah kebalikan dari apa yang ia inginkan.[30] Misalnya, alih-alih berpikir tentang mencapai kesuksesan di A, seseorang akan berpikir tentang bagaimana jadinya bila ia mengalami kegagalan di A. Pendekatan inversi ini memungkinkan seseorang untuk memetakan potensi jebakan guna menghindari dan meminimalisir risiko kegagalan sebuah proyek.[31]

Filsuf Stoa
Salah satu metafora yang digunakan oleh para filsuf Stoa untuk menunjukkan tripartisi filosofi mereka.

Model mental kontra intuitif ini telah lama dipraktikkan oleh para filsuf Stoa kuno yakni Marcus Aurelius, Seneca, dan Epictetus. Para filsuf itu secara rutin melakukan latihan yang disebut dengan premeditatio malorum, yang jika diterjemahkan berarti sebagai “rencana kemalangan”. Dalam latihannya, para filsuf Stoa membayangkan hal-hal buruk yang bisa terjadi dalam hidupnya, seperti cedera, menjadi pengangguran, tunawisma atau bahkan mendapati reputasinya hancur. Sementara kebanyakan orang fokus pada bagaimana mereka bisa mencapai kesuksesan, filsuf Stoa turut pula mempertimbangkan bagaimana cara mereka mengelola beragam kegagalan di masa depan.[30]

Walau telah digunakan oleh para filsuf Stoa kuno, nyatanya model mental inversi baru populer ketika seorang matematikawan Jerman bernama Carl Jacobi menggunakan model mental inversi dalam kontribusi ilmiahnya.[31] “Man muss immer umkehren” atau yang berarti “invert, always invert” menjadi kutipan Carl manakala memecahkan kasus matematika yang sulit dengan hanya membalikan formulanya.[30] Hingga kini, pemanfaatan model mental inversi tak terbatas pada kasus matematika seperti aljabar, namun juga di bidang bisnis, hubungan personal, keuangan, dan sebagainya.[31]

Berikut contoh penerapannya:

Produktivitas

Kebanyakan orang ingin menyelesaikan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih singkat. Inversi membalikannya menjadi sebuah pertanyaan, “Bagaimana fokus saya dapat terganggu atau berkurang?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut seringkali tidak hanya efektif namun juga lebih aman daripada mengejar waktu yang cepat. Mengingat beberapa orang akan cenderung menggunakan obat-obatan atau perangsang mental dalam meningkatkan produktivitas, alih-alih menghilangkan sumber distraksi (misalnya: dengan mematikan ponsel dan mencabut kabel televisi) yang kecil risikonya.[31]

Keuangan pribadi

Setiap orang ingin memiliki keuangan yang sehat. Namun, alih-alih berpikir begitu, coba balikkan menjadi, “Bagaimana jika keuangan saya gagal atau bangkrut?”. Dengan bertanya seperti itu, seseorang akan menemukan solusinya dengan jalan “mencukupkan keuangan” yang berarti kontrol keuangan secara bertanggung jawab ketimbang “mencari lebih banyak”, tetapi memberikan stres secara keseluruhan.[30]

Selancar (Riding the Wave)

Berselancar di ombak adalah perpaduan sempurna antara peluang dan keterampilan. Peselancar harus berada di sana ketika ombak mulai datang dan tahu bagaimana cara mengarungi ombak tanpa membiarkan ombak tersebut menenggelamkannya. Ketika orang berpikir tentang berselancar, mereka biasanya membayangkan pantai yang menenangkan dan orang-orang sedang bersantai di atas papan seluncur. Apa yang banyak orang tidak tahu adalah keterampilan intens yang diperlukan untuk tetap berada di atas ombak dan betapa berbahayanya jika peselancar jatuh. Selancar atau riding the wave adalah model mental tentang bersiap untuk momen yang tepat, serta mencari peluang-peluang itu.[32]

Metafora selancar ini digunakan Charlie Munger dalam kuliahnya yang berjudul “Kebijaksanaan Dasar Duniawi” (Elementary Worldly Wisdom). Dalam kuliahnya itu, Munger mewakili gagasan beberapa kekuatan bisnis raksasa yang berkembang menjadi lebih besar karena berpijak pada model mental “riding the wave”. Bisnis-bisnis tersebut dimulai dengan menangkap gelombang tren dunia, lalu berusaha mengendalikannya layaknya peselancar handal.[33]

Dalam riding the wave, tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti kapan gelombang (peluang) akan datang. Namun, menangkap gelombang adalah tentang berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat. Artinya, seseorang yang ingin sukses mesti meluangkan banyak daya, upaya, dan waktu hingga gelombang itu akan meningkat dan dapat dikendalikan.[32]

Praktek model mental riding the wave sangat mudah dikenali dalam bisnis raksasa dunia. Microsoft misalnya, ia adalah perusahaan pemrograman, hasil dari 16 tahun menangkap gelombang. Bill Gates dan kawannya, Paul Allen, masing-masing baru berusia 16 tahun dan 18 tahun ketika gelombang PC melanda. Gates dan Paul pada tahun 1971 lantas berbincang mengenai mikroprosesor sampai akhirnya mereka mendirikan perusahaan sebesar Microsoft.

Bisnis selanjutnya yang menggunakan model riding the wave adalah Amazon. Ketika internet masih dalam tahap awal, banyak orang bertanya tentang kehebatan situs website. Tetapi, ketika Jeff Bezos, yang bekerja di perusahaan Wall Street pada saat itu, melihat Internet, dia memiliki pemikiran yang berbeda. Dia mulai mencari hal-hal yang bisa dilakukan dengan teknologi unik yang disebut dengan world wide web. Melihat angka pertumbuhan yang tidak biasa terkait dengan internet, dia menyadari potensi gelombang yang disebut internet. Jeff, dalam hal ini menolak mendayung dan malah sibuk mendatangi ombak dan berselancar dengan bisnis raksasanya bernama Amazon. Hingga kini, Jeff Bezos masih menunggangi ombak dengan mengubah cara membeli dan menjual barang melalui situs website.[33]

Riding the wave mungkin adalah model mental yang terkesan menangkap segala gelombang. Padahal, bila seseorang tidak siap untuk itu, maka kemungkinan juga, ia akan beada di bawahnya. Di sinilah kuncinya, harus ada kewaspadaan manakala peluang datang. Sepanjang waktu di dalam air, Bill Gates dan Jeff Bezos atau pebisnis lainnya, mereka semua melihat gelombang internet datang. Mereka melihat apa yang orang lain lihat, tetapi perbedaannya adalah mereka mengetahui cara untuk menunggangi ombak dan tetap di atasnya. Ini artinya ada kewaspadaan yang disertai dengan keberanian untuk mencapainya. Semua orang pasti ingin sesekali berselancar dan menikmati sensasi di atas ombak. Namun, tidak semua orang siap untuk mengambil kesempatan dan terjun ke lautan ketidakpastian.[32]

Tidak peduli seberapa siap seseorang, pertanyaan berikut menjadi sebuah prasayarat bahwa model mental riding the wave berada di jalur yang tepat[32]:

  • Mengapa sekarang waktu yang tepat?
  • Mengapa kemarin terlalu cepat?
  • Mengapa besok terlambat?
  • Apakah saya punya rencana?

Efek Kobra

Efek kobra adalah sebuah anekdot yang dipopulerkan oleh mendiang ekonom Jerman bernama Horst Siebert, untuk menggambarkan betapa kebijakan yang berniat baik dapat memberikan efek yang kontra produktif. Istilah ini muncul pada masa pemerintahan kolonial di Delhi yang merasa terancam akan meledaknya populasi ular kobra. Demi mengendalikan populasi kobra, pemerintah setempat menerapkan hadiah insentif bagi siapapun yang mampu membunuh kobra. Alih-alih menurunkan jumlah kobra, kebijakan ini justru membuat banyak warga membiakkan ular kobra untuk dapat dibunuh dan diserahkan ke pemerintah agar mendapat insentif. Akibatnya, jumlah kobra di Delhi menjadi kian tak terkendali. Yang berarti bahwa efek kobra pada akhirnya membuat masalah menjadi lebih buruk daripada menyelesaikannya.[34]

Dalam hal ini, efek kobra tidak pernah memikirkan efek kedua atau efek jangka panjang saat mengambil keputusan. Para pengambil keputusan tidak berhenti sejenak, merenung, dan bertanya bagaimana orang menanggapi ide tersebut.[35] Padahal, sebuah keputusan yang diambil tentu memiliki banyak hasil. Ketika sebuah keputusan diambil, hasil yang diinginkan mungkin terjadi, tetapi sejumlah hasil yang tidak terduga akan selalu terjadi. Dan inilah mengapa efek kobra juga disebut dengan ‘insentif sesat’.[36]

Yang melatarbelakangi efek kobra sebetulnya adalah konstruksi pemikiran individu itu sendiri. Sejak lahir, Individu mulai melihat koneksi dengan dunia sekitarnya. Makan menyembuhkan rasa lapar; tidur mengurangi kelelahan; masalah memiliki penyebab, dan menghilangkan penyebabnya akan menghasilkan solusi. Apa yang individu lakukan, terlepas ia mengetahuinya atau tidak, membentuk model mental dari cara sebab dan akibat terkait. Sebagian besar pengalaman sebab-akibat itu melibatkan hubungan langsung yang sangat sederhana. Individu menjadi memiliki kecenderungan untuk berpikir dalam kerangka perilaku ‘linier’. yakni menggandakan penyebab untuk menggandakan efek dan membagi dua penyebab untuk mengurangi separuh efek.[37]

Berikut efek kobra yang telah terjadi di berbagi bidang dan negara [35][38][39]:

Airbus dan Mode Senyapnya

Airbus ingin meningkatkan pengalaman terbang dengan membuat kebisingan di dalam pesawatnya lebih tenang. Airbus berhasil membuat pesawatnya lebih senyap, namun,penumpang dan pilot dapat dengan mudah menguping percakapan orang lain dan mendengar tangisan bayi, serta mendengar pintu kamar mandi ditutup dengan lebih keras. Kebijakan ini pada akhirnya membuat pengalaman terbang menjadi lebih buruk.

Jakarta dan Kebijakan 3 in 1

Pada masa Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, diterbitkan kebijakan kawasan jalan “3 in 1”, yakni hanya kendaraan yang berpenumpang sekurangnya tiga orang yang boleh melewati jalan tersebut. Kebijakan ini terinspirasi oleh kebijakan di negara-negara maju yang dinamakan “carpool”, yaitu tetangga atau rekan kerja yang sejurusan dengan rute mobil seseorang dapat diajak bersama-sama dalam satu mobil. Dengan demikian, maka jumlah mobil yang turun ke jalan dalam kurun waktu bersamaan akan jauh berkurang. Sayangnya, apa yang terjadi di Jakarta justru memunculkan joki 3 in 1 atau orang-orang yang berbaris di tepi jalan menawarkan jasanya menjadi penumpang dadakan guna melengkapi jumlah penumpang tiga orang. Jalanan Jakarta menjadi tetap ramai karena semua mobil bisa menyewa joki. Sehingga, tujuan semula kebijakan 3 in 1 untuk mengurangi kemacetan kronis tidak tercapai dan malah memunculkan masalah sosial.

Wells Fargo dan Insentif Penjualan

Pada tahun 2016, Wells Fargo ingin pelanggannya membeli lebih banyak produknya. Fargo kemudian menambahkan insentif pada karyawannya agar dapat menjual lebih banyak produk dan anggota belanja. Meskipun insentif memang mendorong lebih banyak penjualan dan menciptakan lebih banyak anggota, banyak dari peluang baru ini merugikan pelanggan. Alih-alih meningkatkan hubungan dengan pelanggan, keputusan untuk menawarkan insentif ini memengaruhi karyawan untuk bertindak tidak etis (memaksa). Sehingga, menyebabkan pelanggan kehilangan kepercayaan pada Wells Fargo dan perusahaan kehilangan pelanggan.

Amerika Serikat dan Kebijakan Obat Adiktif

Setiap tahunnya, pemerintah Amerika Serikat menghabiskan puluhan miliar dollar- porsi yang besar untuk menghentikan obat adiktif agar tidak menjangkau penduduknya. Pada realisasinya, penjara menjadi sangat penuh dengan pengedar narkoba dan pecandu narkoba. Semua uang yang dihabiskan tidak menghasilkan apa-apa selain meningkatkan harga obat-obatan dan margin keuntungan bagi pengedar. Tidak peduli seberapa berisiko yang dilakukan pemerintah Amerika bagi penyelundup dan pengedar narkoba untuk melakukan apa pun yang mereka lakukan, para pecandu masih dapat membeli narkoba. Semakin mereka mencoba untuk menghentikannya, semakin mereka gagal. Sementara itu, puluhan miliar dolar yang dihabiskan setiap tahunnya dapat dihabiskan untuk menemukan solusi penyakit malaria.

Entropi (Hukum Kedua Termodinamika)

Entropi ialah sebuah konsep yang diturunkan dari hukum kedua termodinamika dan teori informasi yang menggambarkan jumlah ketidakpastian dan ketidakteraturan dalam suatu sistem. Sistem pengaturan personal ini terlibat dalam dialog terus-menerus dengan lingkungan dan memerlukan penyesuaian diri terhadap keadaan yang berubah untuk menjaga entropi internal pada tingkat yang dapat dikelola.[40] Hal ini juga berarti bahwa semakin tinggi tingkat ketidakteraturan maka akan menyebabkan semakin tingginya entropi di alam.[41]

Perhatikan contoh di bawah ini:

“Istana pasir tersapu bersih. Gulma tumbuh memenuhi kebun. Bangunan kuno runtuh. Mobil mulai berkarat. Orang-orang secara bertahap menua. Gunung-gunung terkikis dan ujung-ujungnya yang runcing menjadi membulat.”[42]

Kecenderungan yang tak terelakkan ini menandakan bahwa segela sesuatunya secara alami akan menuju ketidakteraturan.[43] Di mana hal ini sejalan dengan hukum kedua termodinamika yang menyatakan bahwa entropi sistem tertutup tidak akan pernah berkurang. Artinya, hukum kedua termodinamika menggambarkan betapa dalam jangka panjang, tarikan entropi akan meningkatkan kompleksitas apapun itu.[42]

Walau begitu, tarikan entropi selalu dapat dilawan. Seperti halnya, kita dapat mencabut rumput liar dari kebun, membersihkan kamar yang berantakan ataupun mengatur beberapa individu untuk menjadi tim yang kohesif.[42] Entropi menjadi model mental progresif yang dapat dimiliki dalam kisi modern seseorang. Entropi akan membiarkan individu untuk mengenali dan memahami pergeseran alami menuju ketidakteraturan dalam sistem, sehingga individu mampu melanjutkan perjuangan menuju keteraturan dengan energi ekstra.[41]

Batas Keamanan

Batas keamanan adalah kemampuan suatu sistem untuk menahan beban yang lebih besar dari yang diharapkan. Misalnya, bayangkan seorang insinyur sedang membangun sebuah jembatan dan berat maksimum sebuah truk komersial yang terisi penuh adalah 80.000 pon (36.000 kg). Untuk mencegah amblesnya jembatan, insinyur di proyek tersebut mungkin akan membangun jembatan dengan beban 5x berat yang diharapkan, yakni 400.000 pon. Kapasitas yang ditambahkan ini kemudian dikenal sebagai batas keamanan.[44]

Berikut beberapa penerapan model mental batas keamanan dalam kehidupan sehari-hari.[44][45]:

Investasi

Investor dan filantropis cemerlang asal Amerika bernama Warren Buffet selalu khawatir akan kehilangan seluruh uangnya yang terlibat dalam investasi tunggal atau berisiko. Untuk itu, pada musim semi 2002, Buffet membaca laporan tahunan Petrochina dan menentukan bahwa perusahaan migas tersebut memiliki nilai sebesar $100 miliar. Perusahaan itu menjual dengan harga $35 miliar, yang berarti menurut perhitungan Buffet, batas keamanannya ialah $65 miliar. Buffet lantas membeli sekian persen PetroChina seharga $488 juta dan menjualnya pada tahun 2007 dengan keuntungan $4 miliar.

Manajemen waktu

Seseorang yang memiliki kebiasaan terlambat tak hanya perlu mendisiplinkan waktu, tetapi juga menggunakan batas keamanan saat menjadwalkan hari-harinya. Misalnya saja, jika seseorang membutuhkan waktu 10 menit untuk menuju ke suatu tempat, maka jangan menunggu untuk berangkat pada 11 menit sebelumnya. Sisihkan paling tidak 30 menit sebelumnya untuk berjaga-jaga akan keadaan tak terduga, seperti macet maupun ban bocor. Demikian pula, jika tampaknya seseorang selalu membutuhkan lima menit ekstra untuk mengakhiri sebuah rapat. Maka solusinya, berikan batas keamanan dengan menghindari penjadwalan rapat secara berurutan tanpa jeda.

Mencegah cedera

Otot memiliki kurva tegangan dan regangan yang menggambarkan seberapa jauh otot mampu meregang sebelum mencapai titik kegagalan. Di dekat ujung ekstrim dari kurva tersebut, sering terjadi yang namanya cedera. Semakin dekat seseorang ke batas rentang gerak, maka semakin banyak tegangan otot seseorang. Guna menghindari cedera, maka seseorang perlu menerapkan batas keamanan dengan berlatih peregangan dan mobilitas guna memperluas jangkauan gerak dan memperlebar kurva tekanan-regangan.

Perlindungan satwa liar

Katakanlah, singa yang tersisa di bumi ini hanya sekitar 100.000 ekor. Sementara, jumlah tupai ada sekitar jutaan ekor. Jika wabah virus membunuh 100.000 tupai, maka spesies ini kemungkinan akan terus berlanjut. Namun, sebalinya, bila virus itu juga menginfeksi dan membunuh 100.000 singa, maka spesies singa diprediksi akan punah seketika. Spesies yang terancam punah ini berada dalam posisi riskan karena tidak memiliki batas keamanan. Tak ada solusi lain selain memberikan batas keamanan melalui pengetatan ekosistem.

Referensi

  1. ^ a b Moray, N (1999). "Mental Models in Theory and Practice". Attention and Performance. 17 (1): 222–258. 
  2. ^ a b Jones dkk (2011). "Mental Models: An Interdisciplinary Synthesis of Theory and Methods". Ecology and Society. 16 (1): 46. 
  3. ^ Priyadi dkk (2018). "Kajian Literatur: Model Mental dan Metode Evaluasinya". Jurnal Pendidikan Sains (JPS). 6 (2): 70. doi:10.26714/jps.6.2.2018.70-75. 
  4. ^ Callaway, W (2020). "Mental Models". insandouts.org. Diakses tanggal 5 Desember 2021. 
  5. ^ a b The Mental Models Global Laboratory (2021). "What are Mental Models?". www.modeltheory.org. Diakses tanggal 5 Desember 2021. 
  6. ^ a b c Furlough & Gillan (2018). "Mental Models: Structural Differences and the Role of Experience". Journal of Cognitive Engineering and Decision Making. 12 (4): 269–287. doi:10.1177/1555343418773236. 
  7. ^ Khasanah dkk (2016). "Analysis of Mental Model of Students Using Isomorphic Problems in Dynamics of Rotational Motion Topic". Jurnal Pendidikan IPA Indonesia. 5 (2): 186–191. doi:10.15294/jpii.v5i2.5921. 
  8. ^ Seel, N (2006). "Mental Models in Learning Situations". Advances in Psychology. 138 (1): 85–107. doi:10.1016/S0166-4115(06)80028-2. 
  9. ^ Setiadi, I. K. (2015). "Kajian Pengaruh Kuasa Kepemimpinan, Model Mental dan Efektivitas Tim Kerja Terhadap Komitmen Kepada Organisasi". Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 2 (2): 86. 
  10. ^ a b c MIT (2021). "What is Common Knowledge?". integrity.mit.edu. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  11. ^ a b Yale (2021). "Common Knowledge". poorvucenter.yale.edu. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  12. ^ Hick, W. E. (1952). "On The Rate of Gain of Information" (PDF). Quarterly Journal of Experimental Psychology. 4 (1): 11–26. doi:10.1080/17470215208416600. 
  13. ^ a b c Soegaard, M (2020). "Hick's Law: Making the choice easier for users". www.interaction-design.org. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  14. ^ a b c Douglas, S (2018). "What web designers need to know about Hick's Law". www.justinmind.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  15. ^ Nikolov, S (2017). "Design Principle: Hick's Law — Quick Decision Making". uxplanet.org. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  16. ^ Psikologi UI (2017). "Classical Conditioning by Ivan Pavlov". itp.psikologi.ui.ac.id. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  17. ^ Haslinda (2019). "Classical Conditioning". Jurnal Network Media. 2 (1): 88–90. 
  18. ^ a b c Clark, R (2004). "The Classical Origins of Pavlov's Conditioning". Integrative Physiological and Behavioral Science. 39 (4): 279–294. doi:10.1007/BF02734167. 
  19. ^ Vinney, C (2020). "What Is Classical Conditioning?". www.thoughtco.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  20. ^ Rehman dkk (2021). Classical Conditioning. Australia: StatPearls Publishing. hlm. 1–4. 
  21. ^ a b Yarritu dkk (2014). "Illusion of Control: The Role of Personal Involvement". Experimental Psychology. 61 (2): 38–47. doi:10.1027/1618-3169/a000225. 
  22. ^ a b c d The Decision Lab (2021). "Why we believe we have more control over the world than we actually do". thedecisionlab.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  23. ^ Clark & Wohl (2021). "Langer's Illusion of Control and The Cognitive Model of Disordered Gambling". Addiction Classics. 2 (1): 2. 
  24. ^ Psychology Research (2021). "Illusion of Control". psychology.iresearchnet.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  25. ^ Pratama, Cahya Dicky (2020). Gischa, Serafica, ed. "Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow". Kompas.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  26. ^ a b Hopper, E (2020). "Maslow's Hierarchy of Needs Explained". www.thoughtco.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  27. ^ a b McLeod, S. A. (2020). "Maslow's Hierarchy of Needs". www.simplypsychology.org. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  28. ^ a b Muriithi & Wachira (2016). "The Founders' Syndromes, Challenges and Solutions". Journal of Entrepreneurship. 4 (4): 3–12. 
  29. ^ a b c Boustani & Boustani (2017). "Innovation in Organizations Having Founder's Syndrome". Problems and Perspectives in Management. 15 (2): 517–524. doi:10.21511/ppm.15(si).2017.05. 
  30. ^ a b c d Valdez, J (2014). "Stoic Philosophy: Its Origins and Influence". JSPR. 2 (4): 56–68. doi:10.12966/jspr.11.01.2014. 
  31. ^ a b c d Singh, V (2020). "The Terrific Value of Inversion Thinking". www.moneycontrol.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  32. ^ a b c d Jooris, L (2021). "Riding The Waves of Business As An Entrepreneur: The How-To". www.entrepreneur.co. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  33. ^ a b Skillings, J (2020). "In '95, These People Defined Tech: Gates, Bezos, Mitnick and More". www.cnet.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  34. ^ Hartley, D (2016). "The Cobra Effect: Good Intentions, Perverse Outcomes". www.psychologytoday.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  35. ^ a b Bakshi, S (2017). "Heard of Cobra Effect? Be Careful What You Ask For". www.economictimes.indiatimes.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  36. ^ Joy, M. M. (2019). "Leaders n' 'Cobra - Unintended Outcomes May Hamper Your Plans". Pallikutam. 1 (1): 2–4. 
  37. ^ Newell & Doll (2015). "Systems Thinking and The Cobra Effect". www.ourworld.unu.ed. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  38. ^ Rolnick, M (2020). "Beware of The "Cobra Effect" In Business". www.forbes.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  39. ^ Afifah, Riana (2012). Syatiri, Ana Shofiana, ed. "Mencari Solusi Maraknya Joki "Three In One"". Kompas.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  40. ^ Hirsh dkk (2012). "Psychological Entropy: A Framework for Understanding Uncertainty-Related Anxiety". Psychol Rev Journal. 119 (2): 304–320. doi:10.1037/a0026767. 
  41. ^ a b Siegel, E (2017). "Ask Ethan: What Was The Entropy Of The Universe At The Big Bang?". www.forbes.com. Diakses tanggal 4 Januari 2022. 
  42. ^ a b c Evans, B (2018). "Fighting Entropy". www.northcoastjournal.com. Diakses tanggal 5 Januari 2022. 
  43. ^ Makeup & Breakup (2021). "Entropy is a Mental Model of Prized Trophy". www.makeupandbreakup.co. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 
  44. ^ a b O’Neill, B (2017). "Develop a Financial Margin of Safety". njaes.rutgers.edu. Diakses tanggal 5 Januari 2022. 
  45. ^ Collins, B (2018). "Margin of Safety: How to Avoid Disaster and Find Success at Work". www.forbes.com. Diakses tanggal 17 Desember 2021. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41