Mi letheg atau Mi lethek (bahasa Jawa: ꦧꦏ꧀ꦩꦶꦊꦛꦺꦒ꧀, translit. Bakmi lěṭèg) adalah salah satu kulinermie yang berasal dari Srandakan, Bantul, Yogyakarta dengan menggunakan bahan dasar tepung tapioka dan singkong.[1][2] Proses produksi mie letheg masih dengan menggunakan cara yang tradisional.[1] Sebutan letheg ini muncul karena mi letheg memiliki warna yang keruh kecoklatan dan kurang menarik, tidak seperti mi pada umumnya.[3][4] Mi letheg tidak menggunakan pewarna zat kimia serta zat pengawet.[4] Meski tanpa zat pengawet, mi lethek kering bisa awet disimpan hingga lebih tiga bulan.[2]
Sekilas, mie ini mirip seperti sohun. Itu karena warna mie letheg yang bewarna kecoklatan, memang benar-benar membangkitkan selera makan.[5]
Keistimewaan
Warna mi letheg keruh kecoklatan dan tidak menarik karena proses produksinya yang benar-benar alami dan diolah secara tradisional.[2] Dikatakan alami karena mi ini tidak menggunakan bahan pemutih, pewarna atau zat pengawet.[2] Secara fisik, mie letheg mirip dengan mi bihun.[2] Tetapi mi letheg lebih tebal dan memiliki tektur yang lebih kenyal dibandingkan dengan mi yang terbuat dari gandum.[2]
Pembuatan mie letheg
Mi yang berasal dari bahan baku singkong dan tepung tapioka ini diproduksi dengan bantuan sapi.[2] Tenaga seekor sapi dimanfaatkan untuk menggerakkan silinder seberat 1 ton sebagai alat pengaduk bahan baku mi.[2][6] Bahan baku utama mi letheg yang diaduk-aduk terdiri dari tepung singkong serta gaplek atau singkong kering.[2] Adonan ini selanjutnya dikukus di atas tungku yang masih berbahan tanah liat.[2] Setelah kadar airnya diatur, adonan dikukus lagi, dipotong dan kemudian dicetak menjadi mi.[2] Untuk mencetak, dibutuhkan sebuat alat pencetak mi yang biasa disebut dengan tarikan.[6] Tarikan ini terbuat dari kayu tepeng dan membutuhkan sedikitnya 8 tenaga manusia untuk menggerakannya.[6] Masing-masing orang mendapatkan pembagian tugas yang jelas.[6] Ada yang bertugas sebagai penginjak balok kayu berdiameter 40 cm yang disebut munyuk, karena gerakannya meloncat-loncat seperti kera.[6] Selain itu ada juga yang bertugas secara serempak untuk menarik kayu.[6] Setelah dicetak, mi lalu dijemur pada panas matahari.[6]