Menunu batu khas PapuaTradisi Bakar Batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua Pegunungan yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, kelulusan, bersilaturahmi (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan seperti kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Lanny Jaya, Nduga, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Tolikara, Yahukimo dll. Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Barapen (Biak), Lago Lakwi (Lani, Tolikara) atau Logo Lakwi (Dani, Puncak), Mogo Gapil (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena, Jayawijaya), Kerep Kan (Nduga), dan Hupon (Pegunungan Bintang).[1] RitualRitualnya sebagai berikut:
Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua. Hingga saat ini tradisi bakar batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu-tamu penting yang berkunjung, seperti bupati, walikota, gubernur, presiden dan tamu penting lainnya. KehalalanDi sebagian masyarakat pedalaman Papua yang beragama Islam atau saat menyambut tamu muslim, daging babi bisa diganti dengan daging ayam, bebek, domba atau kambing atau bisa pula dimasak secara terpisah dengan babi. Hal seperti ini contohnya dipraktikkan oleh masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jayawijaya untuk menyambut Bulan Ramadhan[2] Pranala luar
Referensi
|