Meng Jiang Nü atau Nyonya Meng Jiang (Hanzi: 孟姜女; Pinyin: Mèng Jiāng Nǚ) adalah sebuah cerita legenda Tiongkok, dengan berbagai variasi. Versi kemudian berlatar pada masa Dinasti Qin, ketika suami Nyonya Meng Jiang dipaksa untuk mengabdi oleh pejabat kekaisaran dan dikirim sebagai tenaga kerja paksa untuk membangun Tembok Besar Tiongkok. Nyonya Meng Jiang tidak mendengar kabar apa pun setelah kepergian suaminya, sehingga dia berangkat untuk memberinya pakaian musim dingin. Sayangnya, saat dia sampai di Tembok Besar, suaminya sudah meninggal. Mendengar kabar buruk ini, dia menangis begitu sedihnya sehingga sebagian Tembok Besar roboh, memperlihatkan tulang belulang suaminya.
Cerita ini sekarang dianggap sebagai salah satu dari Empat Cerita Legenda Rakyat Tiongkok Terkenal, yang lainnya adalah Legenda Siluman Ular Putih (Baishezhuan), Liang Shanbo dan Zhu Yingtai, dan Gembala Sapi dan Gadis Penenun (Niulang Zhinü).[1] Para ahli cerita rakyat Tiongkok pada awal abad ke-20 menemukan bahwa legenda tersebut muncul dalam berbagai bentuk dan genre dan berkembang selama 2.000 tahun terakhir.[2]
Bagian Tembok Besar yang dirobohkan dalam legenda tersebut berada di Kota Zibo, Provinsi Shandong saat ini. Kuil Nyonya Meng Jiang, yang asal mulanya diperkirakan berasal dari Dinasti Song, dibangun atau dibangun kembali pada tahun 1594, pada masa Dinasti Ming, di permulaan Tembok Besar bagian timur di Qinhuangdao, Provinsi Hebei. Kuil ini masih ada saat ini.[3]
Aslinya "Meng" bukan merupakan nama keluarganya. "Meng Jiang" merupakan sebutan yang sangat umum bagi para wanita di Negara Qi, karena "Jiang" adalah nama keluarga penguasa Qi dan sebagian besar bangsawannya, dan "Meng" berarti "anak sulung" yang lahir bukan dari istri utama.[4]
Perkembangan
Legenda ini berkembang menjadi banyak versi dengan berbagai variasi dalam bentuk dan konten. Sarjana Wilt Idema telah memilih dan menerbitkan sepuluh versi legenda,[5] yang, dalam kata-kata penerbit,
"menekankan unsur-unsur yang berbeda dari cerita – kondisi perkawinan Meng Jiang Nü, hubungannya dengan mertuanya, perjalanannya menuju tembok besar, kesedihannya, pembangkangannya terhadap kaisar." [6]
Meskipun kemudian bentuk-bentuk legenda yang dikembangkan secara lengkap terjadi pada masa Dinasti Qin, benih-benih kisah itu terdapat pada anekdot sederhana dalam Zuo zhuan, sebuah kronik dari Zaman Musim Semi dan Gugur yang jauh lebih awal. Anekdot itu menceritakan bahwa setelah seorang pejuang dari negara Qi, Qi Liang (杞梁), terbunuh dalam pertempuran, sang Penguasa, Bangsawan Zhuang, bertemu istri Qi Liang di jalan dan meminta kawulanya untuk menyampaikan belasungkawa kepadanya. Istri Qi Liang menjawab bahwa dia tidak dapat menerima ucapan belasungkawa di jalan, dan Bangsawan Zhuang mengunjunginya di rumah dan baru pergi ketika upacara yang semestinya telah selesai.[7]
Idema, W. L. (2008). Meng Jiangnü Brings Down the Great Wall : Ten Versions of a Chinese Legend. Seattle: University of Washington Press. ISBN9780295987835.
Stent, George Carter (1878).Entombed Alive and Other Songs, Ballads, etc. (From the Chinese)Open Library
"Meng Chiang-nŭ at the Long Wall," (fragmentary Tang dynasty text found at Dunhuang) in Waley, Arthur (1960). Ballads and Stories from Tun-Huang: An Anthology. London,: Allen & Unwin. ISBN9780415361736., pp. 145–149; reprinted in Minford, John & Joseph S. M. Lau (2000). Classical Chinese Literature: An Anthology of Translations I. From Antiquity to the Tang Dynasty. New York; Hong Kong: Columbia University Press; The Chinese University Press. ISBN0231096763., pp. 1079–1081.
Wimsatt, Genevieve, George Chen (Chen Sun-han) (1934) The Lady of the Long Wall:A Ku-shih or Drum Song from the Chinese. New York: Columbia University Press.
Lee, Haiyan (2005). "Tears That Crumbled the Great Wall: The Archaeology of Feeling in the May Fourth Folklore Movement". Journal of Asian Studies. 64 (1): 35–65. doi:10.1017/S0021911805000057.