Mat Depok (1910 - 24 Oktober 1993) adalah seorang jawara dan pejuang kemerdekaan Indonesia asal Depok.
Kehidupan awal
Mat Depok dilahirkan dengan nama Daeran pada tahun 1910 dari pasangan Sa'ari dan Dama. Ibunya berprofesi sebagai pengusaha bisnis rias penganten dan warung makan di Depok.[1][2]
Pada tahun 1935 Mat Depok ke Kampung Berlan di Matraman dan bertemu dengan perempuan asal Karawang yang bernama Nyai Emah. Kecantikan Nyai Emah membuat Mat Depok ingin menjadikan dia sebagai istrinya. Akan tetapi, ia sudah menjadi nyainya orang Belanda. Oleh karena itu, dia membawa kabur Nyai Emah ke rumah guru silatnya, Misar, di Pengasinan. Ulahnya membuat dia menjadi buronan Belanda. Sesampainya di rumah sang guru, Misar membacok Mat Depok dengan maksud ingin menguji kekebalan dia dan hasilnya menunjukkan bahwa Mat Depok kebal.[3]
Mat Depok pernah merampok gudang logistik milik Belanda dan hal ini membuat dia dipenjara di Pulau Onrust. Pada tahun 1942, Mat Depok dibebaskan dari penjara oleh Jepang. Seusai bebas dari penjara, Mat Depok bergabung dengan gerakan anti fasis yaitu Banteng Merah.[3]
Masa Revolusi Nasional
Pada tanggal 11 Oktober 1945, Mat Depok memimpin aksi penyerbuan ke daerah pemukiman Belanda Depok. Berkat aksinya, ia mendapatkan julukan Mat Depok. Selain itu, dia bersama dengan Imam Syafei bergabung ke laskar bernama Oesaha Pemoeda Indonesia untuk melawan tentara Belanda. Dalam pertempuran melawan Belanda, dia selalu berada di barisan terdepan.[2][1]
Keputusan Sjahrir yang menjadikan Jakarta sebagai kota diplomasi membuat Mat Depok pindah ke Karawang.[1] Pada tahun 1947, Mat Depok ditangkap oleh Belanda di Karawang dan dijebloskan ke Penjara Nusakambangan. Selama di penjara, ia mendapatkan tato di dada yang bertuliskan Mat Depok.[2] Setelah penyerahan kedaulatan, Mat Depok dibebaskan dari penjara dan dia kembali ke Tanahbaru, Depok.[4]
Pasca penyerahan kedaulatan
Setibanya di Tanahbaru, Mat Depok menjadi seorang preman yang suka meminta uang kepada para pengemudi mobil yang lewat di jalanan perempatan Tanahbaru. Apabila ada mobil yang melarikan diri, dia melemparkan golok ke arah mobil untuk memberhentikannya. Uang yang ia peroleh dibagikan kepada pemuda-pemuda setempat untuk merehabilitasi jalan dan membangun perkuburan.[4] Di samping itu juga, ia juga membantu Imam Syafei dalam menjaga keamanan. Ketika Syafei menjadi menteri negara keamanan rakyat, Mat Depok juga membantu dia.[1]
Mat Depok meninggal dunia pada tanggal 24 Oktober 1993.[5] Pada tahun 2017, Dewan Kesenian Depok dan Sanggar Betawi Ngumpul menggelar pertunjukan lenong dengan lakon Mat Depok: Pernikahan di Ujung Bedil. Lakon ini mengangkat kisah Mat Depok dan Nyai Emah.[6]
Kehidupan pribadi
Mat Depok memiliki setidaknya tiga istri yang bernama Risah, Aminah bin Midin, dan Emah. Dari ketiga istrinya, dia dikarunai lima anak.[3]