Masjid Lawang Kidul termasuk salah satu masjid tertua di Palembang, Sumatera Selatan. Masjid ini berdiri pada tahun 1881 dan memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun dijadikan markas para pejuang setempat pada masanya. Material Masjid ini terbuat dari campuran batu kapur dengan putih telur dan pasir, sehingga membuat masjid ini dapat bertahan dengan lama. Bangunan induk masjid ini sebagian besar tetap terjaga keasliannya dan hampir 99 persen masih merupakan bangunan asli dan belum ada yang diganti.[2]
Sejarah
Pesatnya pertumbuhan ummat muslim kota Palembang pada waktu itu tidak diiringi dengan tumbuhnya sarana peribadatan (masjid). Masjid Agung Palembang merupakan satu-satunya masjid jami’ di kota Palembang pada waktu itu, yang berarti hanya masjid Agung yang boleh dijadikan tempat pelaksanaan shalat jumat di kota Palembang. Mengingat jumlah umat muslim dikota Palembang yang semakin meningkat, maka Mgs. H. Abdul Hamid (Ki Marogan) sebagai seorang ulama dan usahawan yang sukses memiliki rencana untuk membangun masjid baru di kota Palembang. Rencana ini terealisasi pada tahun 1871 dan 1881 dimana Ki Marogan membangun dua masjid.[3]
Masjid pertama dibangun di Kampung Karang Berahi atau muara Sungai Ogan yaitu Masjid Muara Ogan atau yang dikenal luas dengan Masjid Ki Marogan. Masjid ini bisa menampung jamaah umat muslim dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 ulu serta kampung Karang Berahi. Masjid kedua yang dibangun pada tahun 1881 adalah masjid Lawang Kidul. Masjid ini terletak di Kampung Lawang kidul (5 Ilir) yang dapat menampung jamaah umat muslim dari kampung 1, 2, 3, 4, 5 Ilir dan Kampung Tuan Kapar 14 Ulu. Semua masjid yang beliau bangun di lengkapi dengan alat-alat seperti lampu-lampu stolop, lampu kandil, lampu satron dan peralatan lainnya yang berkenaan dengan masjid.[4]
Sepuluh tahun setelah pembangunan masjid Lawang Kidul, kedua masjid yang dibangun dengan biaya sendiri tersebut akhirnya beliau wakafkan menjadi milik umat muslim di kota Palembang.
Bentuk masjid Lawang Kidul ini hampir sama dengan bentuk Masjid Agung Palembang namun dengan ukuran yang lebih kecil. Keunikannya terdapat dari menara Masjid Lawang Kidul yang hingga sekarang masih dipertahankan bentuk uniknya. Bentuk atapnya berupa bentuk limas segi 4 yang bertumpang dua tingkat. Pada bagian atapnya memiliki tanduk-tanduk hampir sama pada atap Masjid Agung Palembang yang mengadosi bentuk bangunan masjid Hunan di Cina. Kemudian untuk bagian menara masjid Lawang Kidul dibuat sangat unik dan menarik.
Bagian dalam masjid Lawang kidul, ditopang oleh 4 soko guru utama yang berupa tiang kayu yang cukup besar. Kemudian ditopang oleh 12 tiang lain yang bentuknya lebih kurus atau ramping.
Keunikan lain dalam interior masjid Lawang Kidul adalah terlihat dari bentuk mimbar masjid tersebut. Mimbar Masjid Lawang Kidul terdapat 4 buah bendera hijau bertuliskan lafaz-lafaz Islam seperti kalimat syahadat dan beberapa kata asma'ul husna. Mimbar masjid Lawang Kidul juga dihiasi dengan ukiran khas Palembang, keunikan dari ukiran ini adalah di sudut bawah sebelah kiri ukiran ini terdapat tanggal yaitu 26 shofar 1310 Hijriyah atau tanggal 17 september 1892 masehi, diperkirakan merupakan tanggal wakaf.
Konflik dengan Masjid Agung Palembang[3]
Setelah tahap pembangunan masjid ini selesai dan memulai fungsinya sebagai masjid jami’, Masjid Lawang Kidul mulai mendapat berbagai hambatan, khususnya pada pelaksanaan shalat jumat. Masalah ini hingga melibatkan pengurus masjid Agung Palembang dan dua ulama besar yaitu Sayyid Usman (mufti Betawi dan ulama penasihat bagi pemerintahan kolonial Belanda) dan Syekh Akhmad Khatib Minangkabau (ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah dan menjadi Imam Masjidil Haram). Selain itu masalah ini juga diramaikan oleh pendapat-pendapat Snouck Hurgronje yang memihak pemerintahan kolonial Belanda dan Sayyid Usman. Perlu diketahui bahwa pada masa Kolonial ada kebijakan yang membatasi jumlah masjid baru. Hal ini dilakukan karena ada ketakutan dari pihak pemerintah Kolonial bahwa jika masjid semakin banyak akan menambah persatuan ummat muslim, hal ini pasti cenderung kearah pemberontakan. Disamping itu pemerintah kolonial menganggap secara ekonomis bahwa pembangunan masjid baru yang menggunakan tanah wakaf akan merugikan karena akan sulit dimanfaatkan oleh pemerintah jika telah dibangun. Pemikiran yang sifatnya defensif ini rupanya datang dari Snouck Hurgronje yang memberi nasihat pada kepala pemerintahan dalam negeri.(Rahim, 1998 : 219-220).[5]
Masalah ini bermula dari dikeluarkannya surat Nazar Munjaz Wakaf Lillahitaala yang dikeluarkan oleh Rad Agama Palembang tanggal 6 syawal 1310 H (23 april 1893). Surat ini berisi bahwa Mgs. H. Abdul Hamid atau Ki Marogan mewakafkan 2 masjid miliknya beserta seluruh peralatan yang ada didalamnya untuk tempat umat muslim beribadah selama-lamanya dan tidak boleh dijual ataupun diwarisi oleh ahli waris beliau (Gajahnata, 1984 : 2).[4]
Dewan Raad Agama kota Palembang pada masa itu diketuai oleh Haji Mohammad Akil mengesahkan permohonan yang diajukan oleh Ki Marogan. Keputusan ini di ambil setelah diadakan perombakan susunan Khatib dimana sebelumnya menolak permohonan Ki Marogan. Ada indikasi khusus mengapa H. Mohammad Akil bersikeras untuk mengabulkan permohonan Ki Marogan, hal ini disebabkan karena beliau adalah guru dari H. Mohammad Akil (Darmiati, 2002:11).[6]
Namun keputusan ini mendapat penolakan dari salah satu pengurus Masjid Agung yaitu Pangeran Suria Nindito. Beliau mengajukan keberatan dengan mengajukan karangan Sayid Usman yang berjudul Fawaid Jumuah, yang isinya hanya boleh dilaksanakan bila ada salah satu sebab dari tiga hal, yaitu : pertama, jika dua pihak penduduk satu negeri saling berseteru dan apabila berkumpul akan terjadi pembunuhan ; kedua, masjid pertama tidak bisa menampung seluruh jamaah yang ada ; ketiga, sukar berhimpun karena jarak yang jauh dan suara azan yang tidak terdengar. Namun pendapat-pendapat dari Sayyid Usman hanya berpihak pada masjid Agung saja (Rahim, 1998 : 221).[5]
Berdasarkan mahzab Imam Syafi’i yang dianut oleh sebagian besar penduduk kota Palembang, mensahkan adanya Ta’adud Jumat di masjid lain dengan syarat : jarak tempuh yang jauh, jika suara azan tidak terdengar lagi, dibatasi oleh dusun, sungai, atau lapangan yang luas sehingga mendapat kesulitan untuk menuju masjid itu, dan apabila masjid sudah tidak bisa menampung lagi jamaah yang ada. Maka berdasarkan pendapat dari Mahzab ini pengurus Masjid Lawang Kidul mengemukakan alasannya antara lain : pertama, ruang masjid Agung tidak mampu lagi menampung jumlah jamaah ummat muslim kota Palembang yang ingin beribadah shalat jumat, sehingga harus berada di lapangan dengan risiko terkena sinar matahari dan air hujan; kedua, jarak antara kedua masjid berjauhan; dan ketiga, suara azan tidak terdengar sehingga jamaah sering terlambat shalat jumat di masjid Agung (Darmiati, 2002:10).[6]
Pengadilan Raad Agama Palembang yang sebelumnya mengesahkan Taadud Jumat di masjid Lawang Kidul akhirnya mencabut surat itu dan melarang pelaksanaan Taadud Jumat. Hal ini disebabkan oleh perombakan susunan Raad agama oleh Residen, dimana H. Akil dicopot dari jabatannya sebagai Pangeran Penghulu Nata Agama digantikan oleh Haji Abdurohman (Gadjahnata, 1984:5).[4] Kepengurusan Dewan Raad Agama yang baru ini mendapat dukungan dari pemerintah Kolonial khususnya dari Snouck Hurgronje yang merupakan sahabat dari Sayyid Usman, faktor ini tentu lebih memihak pada pengurus masjid Agung.
Sayyid Usman kemudian memberi fatwa atas permintaan Pengadilan Raad Agama dan Pengurus masjid Agung bahwa Ta’adud Jumat di masjid Lawang Kidul tidak sah dengan sebab: pertama, Surat Nazar yang dikeluarkan sebelumnya tidak sah, karena kepala pengadilan sebelumnya adalah murid Ki Marogan; kedua, Pengurus Masjid Lawang Kidul akan menyuap Sayyid Usman jika memberi pernyataan yang mendukung; ketiga, jarak syari’ yang diperbolehkan adanya Ta’adud Jumat adalah 1 Mil syari’ atau sekitar 2.400 meter, namun kenyataannya jarak kedua masjid setelah ditarik garis lurus hanya 1.860 meter. Fatwa yang dikeluarkan oleh Sayyid Usman ini lebih sifatnya pada pendapat yang sumbernya perlu dipertanyakan. Hanya satu alasannya yang bisa diterima yaitu masalah jarak kedua masjid (Rahim, 1998 : 222-223).[5]
Pengurus masjid Lawang Kidul pun lantas tak langsung menerima fatwa tersebut, terlebih lagi isi dari fatwa itu sangat menyudutkan pihak Masjid Lawang Kidul terutama masalah suap. Pengurus masjid Lawang Kidul kemudian meminta fatwa salah satu ulama Indonesia Syech Ahmad Khatib Minangkabau yang merupakan salah satu Imam Masjidil Haram, Mekkah. Syech Ahmad Khatib memang dikenal memiliki hubungan yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, dan sering terlibat perdebatan masalah syariat Islam (Steenbrink, 1980 : 140).[7]
Syekh Akhmad Khatib Minangkabau awalnya tidak bisa langsung memberikan fatwa atas laporan pengurus masjid Lawang Kidul. Namun setelah beliau mendapat surat dan karangan-karangan Sayyid Usman tentang dilarangnya shalat jumat di masjid Lawang Kidul dari pengurus masjid Lawang Kidul, barulah kemudian Syekh Akhmad Khatib bisa mengeluarkan fatwa. Pada umumnya fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh Akhmad Khatib menguntungan pihak masjid Lawang Kidul karena hal-hal yang disampaikan oleh Sayyid Usman tidak berkenaan dengan mahzab Syafi’i (Steenbrink, 1984:142).[7]
Perselisihan kedua ulama ini perihal taadud jumat di masjid Lawang Kidul turut diramaikan oleh pendapat-pendapat Snouck Hurgronje yang lebih memihak pemerintah kolonial atau dengan kata lain memihak pada Sayyid Usman. Snouck Hurgonje banyak sekali menulis surat dan saran yang ditujukan kepada kepala Raad Agama, Residen, bahkan Gubernur Jendral karena merasa masalah yang menyangkut pelaksanaan shalat jumat ini penting dan telah menjadi perbincangan hangat di Palembang serta tempat lain yang memiliki masalah yang sama. Selain itu Snouck juga khawatir tentang fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Syekh Akhmad Khatib sifatnya membangkan pada pemerintahan Kolonial (Rahim, 1998:225).[5]
Polemik ini akhirnya berakhir pada tahun 1914 dimana pengurus masjid Lawang Kidul akhirnya meminta fatwa dari ulama betawi yaitu Syech Yusuf Ha’yat yang memperbolehkan Taadud Jumat di masjid Lawang Kidul. Fatwa ini turut juga didukung oleh Syarikat Indonesia cabang Palembang, namun dengan catatan pelaksanaan shalat Jumat di masjid Lawang Kidul harus 30 menit setelah pelaksanaan shalat jumat di masjid agung. (Rahim, 1998:226).[5] Perselisihan yang melibatkan kedua pengurus masjid dan Ulama-ulama pendukungnya ini berlangsung selama hampir 21 tahun. Namun dalam masa “pengasingannya” selama 21 tahun masjid Lawang Kidul sama sekali tidak ditinggalkan oleh masyarakat atau jamaah masjid itu sendiri. Masalah ini malah menguatkan Masjid ini dibidang sosial dan semakin menambah simpati jamaah untuk terus meramaikan kegiatan didalam masjid Lawang Kidul. Salah satu peninggalan dari permasalahan ini adalah setiap kali dilaksanakan shalat jumat dilaksanakan di masjid Lawang Kidul selalu diadakan majelis Ta’lim sekitar 30 menit sebelum azan dan khotib membacakan khotbah shalat Jumat.
Referensi