Mangaraja Hezekiel Manullang

Mangihut Mangaraja Hezekiel Manullang
Informasi pribadi
Nama lahirMangihut Hezekiel Manullang
Lahir(1887-12-20)20 Desember 1887
Peanajagar, Silindung, Bataklanden, Keresidenan Tapanuli
Meninggal20 April 1979(1979-04-20) (umur 91)
Jakarta
Orang tuaSingal Daniel Manullang (ayah)
Chaterine Aratua br. Sihite (ibu)

Pdt. Mangihut Mangaraja Hezekiel Manullang (20 Desember 1887 – 20 April 1979), dikenal sebagai Mangaraja Hezekiel Manullang atau M.H. Manullang saja, dijuluki oleh Belanda sebagai Tuan Manullang, adalah seorang pendeta di Tanah Batak yang mendirikan Hatopan Kristen Batak. Ia berasal dari Bangkara dari keluarga pengikut Si Singamangaraja.[1] Pada tahun 1918, dalam kongres Hatopan Kristen Batak, Mangaraja Hezekiel Manullang terpilih menjadi ketua dengan Guru Polin Siahaan sebagai wakil ketua.[2] Ia juga merupakan pahlawan perintis kemerdekaan bangsa Indonesia dan pelopor semangat kemandirian Gereja di Tanah Batak yang berkiprah dari tahun 1887 hingga 1979.

Kehidupan

Mangaraja Hezekiel Manullang lahir di Peanajagar pada 20 Desember 1887. Ayahnya bernama Singal Daniel Manullang, sedangkan ibunya bernama Chaterine Aratua br. Sihite. Mangaraja pernah mengenyam pendidikan di Singkola Anakni Raja di Narumonda, Porsea pada tahun 1903, namun diberhentikan pada tahun 1905. Ia diberhentikan karena terlalu kritis terhadap Singkola Anakni Raja. Salah satu kritiknya adalah mempertanyakan masa depan siswa tamatan Singkola Anakni Raja

Tahun 1905, Mangaraja Hezekiel Manullang menerbitkan surat kabar berbahasa Batak "Binsar Sinondang Batak" di Padang. Lewat surat kabar itu, Mangaraja mengawali gerakan membuka mata orang Batak agar memperjuangkan nasibnya sendiri. Ia juga mulai mengkritik tindakan pemerintah kolonial Belanda, yang menyakiti jiwa masyarakat dengan kerja rodi.

Ia melanjutkan pendidikan sekolah di Methodist Senior Cambridge School (MSCS), Singapura, dari tahun 1907 hingga 1910.

Aktivitas pergerakan

  • Tuan Manullang menentang pemerintahan kolonial Hindia Belanda, karena penggunaan tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan konsesi (hak erfpacht) kepada perkebunan besar tanpa memperhatikan penguasaan marga-marga dalam struktur kepemilikan tanah orang Batak.
  • Perjuangan MH menentang penjajah semakin intens setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. Pemerintah kolonial itu lalu memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat. Padahal, dari tanahlah sumber kehidupan rakyat diperoleh. Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH Manullang. Dia menyadarkan, menghimpun dan menyuarakan tuntutan masyarakatnya dengan menerbitkan surat kabar Soeara Batak pada tahun 1919. Sebagai pemimpin redaksi sekaligus editor, ia menyuarakan semangat anti kolonialisme.
  • MH Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, MH Manullang menulis: “Teman-teman Batak! Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah (kapitalis bermata putih). Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya …sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara.” (Lance Castles: 2001). Gugatannya terhadap insiden Pansoer Batu mengantarkannya ke depan pengadilan kolonial di Padang Sidempuan. Dengan tegar, ia membela dirinya sendiri di depan pengadilan dan menggugat penindasan Belanda kepada bangsa Indonesia. Semangat kebangsaan yang ia kobarkan di depan pengadilan dan semangat anti kolonialisme membuat ia memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922). Ini bertahun-tahun sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda tahun 1928. Pengadilan kemudian memvonisnya hukuman penjara kolonial untuk 3 tahun di pembuangan Nusakambangan. Rakyat menyambutnya dengan protes dan demonstrasi di mana-mana. Mereka menulis surat kepada gubernur jenderal sampai Ratu Wilhelmina. Rapat-rapat besar diadakan di mana-mana, di alun-alun, di gereja-gereja. Reaksi itu memaksa Belanda mengurangi hukuman menjadi 15 bulan di penjara Cipinang, Jakarta.

Penghargaan

Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia melalui SK Menteri Sosial RI No. POL. 677/67/PK, 2 Oktober 1967.

Referensi

  1. ^ Castles, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, (Jakarta:KPG, 2001). Hal. 109
  2. ^ Castles, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940, (Jakarta:KPG, 2001). Hal. 112

Lihat juga

Bacaan lebih lanjut

  • Castles, Lance. Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra: Tapanuli 1915-1940. Jakarta: KPG, 2001.
  • Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd. "TUAN MANULLANG". N/A: Jakarta, 2008.

Pranala luar