Lirisisme (bahasa Inggris: lyricism) adalah karakteristik yang mengekspresikan perasaan atau emosi yang mendalam dalam karya seni.[1] Menurut Sanento Yuliman, Lirisisme “merupakan ungkapan emosi dan perasaan pelukis dalam mengalami dunia. Sebuah lukisan menjadi bidang ekspresi, tempat seorang pelukis seakan-akan ‘memproyeksikan’ emosi dan getaran perasaannya, merekam kehidupan jiwanya". Bidang lukisan demikian itu dipandang sebagai dunia imajinasi yang memiliki kodrat sendiri, dunia imajiner atau tak nyata.[2]
Lirisisme mengandung kata "Liris" yang berarti emosional (tentang sajak, lagu, dan sebagainya) dan penuh perasaan.[3]
Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku, ras, etnis, agama, dan bahasa yang berbeda. Keragaman tersebut memberikan dampak pada lirisisme yang mampu bertahan hal ini dikarenakan pada setiap keragaman di Indonesia memiliki karya seni yang menjadi parameter eksistensi lirisisme[4]
Karya Sastra
Karya sastra di Indonesia mampu mempertahankan estetika dan eksistensi dari lirisisme, di Indonesia bahasa diajarkan lewat kesenian dan sastra, Estetika lirisime melekat pada karya sastra, hal ini ditandai dengan adanya puisi-puisi yang menggambarkan emosional seperti puisi Chairil Anwar yang kemudian berhasil mengubah sifat mendasar dari estetika lirisisme ini dengan munculnya ”aku-individu” yang penuh luka, sudah jadi binatang. Chairil Anwar tiba-tiba menjadi sebuah perayaan baru dalam sastra Indonesia.[5]
Catatan kaki