Ledjie Taq dilahirkan di kampung Dayak Wehea bernama Nehas Liah Bing, didekat sungai Wehea River. Dia bekerja sebagai guru sekolah dan petani sebelum dipilih sebagai (kepala adat) komunitas Dayak Wehea di tahun 2002. Sejak saat itu, ia terlibat dalam usaha untuk melindungi hutan adat Wehea.
Melindungi Hutan Wehea
Pada tahun 2004, komunitas Dayak Wehea dari kampung Nehas Liah Bing (Nehas) takut hutan mereka akan hancur. Karena itu mereka mendeklarasikan Hutan Wehea sebagai hutan yang dilindungi adat. Pemimpin usaha ini adalah bapak Ledjie Taq yang berumur 61 tahun, kepala adat Dayak WeheaKalimantan Timur. Atas pengakuan usaha ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan Ledjie Taq tanda jasa Bintang Jasa Pratama pada tahun 2009.[1][2][3] Selain itu, Ledjie Taq mendapatkan Kalpataru, sebagai tanda jasa konservasinya.[4][5][6][7]
Ledjie Taq mendapatkan dukungan dari berbagai pihak melalui pertemuan adat yang digelar November 2004. Perwakilan dari suku Dayak, pemerintah daerah dan sektor privat menghadiri pertemuan ini dan menyetujui 38.000 ha bekas konsesi hutan produksi oleh PT Gruti III ‘Hutan Lindung Wehea’ yang dilindungi hukum 'adat’ Dayak Wehea. Daerah yang baru dilindungi ini diberi nama Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen (Hutan yang dilindungi Wehea yang berlokasi diantara sungai Skung dan Metgueen), tentang aturan perlindungan dan pemanfaatan terbatas hutan Wehea.
Ledjie Taq dan komunitas Dayak Wehea ingin melindungi Hutan Wehea sebagai sumber air dan tanaman obat, dan produksi hutan selain kayu. Selain itu, Ledjie Taq tau melindungi hutan juga akan melindungi budaya Dayak Wehea. Sebagai Kepala Adat Dayak Wehea, Ledjie Taq tahu jika hutan hancur, tradisi dan seremoni juga akan terlupakan. Selain itu hutan ini terletak di sebagin wilayah historis Dayak Wehea, usaha ini dilakukan untuk mendapatkan hak dan pengakuan atas sebagian dari wilayah Dayak Wehea.
Untuk melindungi hutan ini dari aktivitas ilegal, Ledjie Taq menggunakan tradisi adat Dayak Wehea dan membentuk Petkuq Mehuey (PM), sebagai penjaga hutan. Menggabungkan tradisi Dayak Wehea dengan merode konservasi modern dianggap penting untuk melestarikan dan mendukung adat dan budaya suku Dayak Wehea. Para anggota PM biasanya adalah pemuda dari komunitas Wehea. Mereka mengitari hutan dan perbatasan hutan selama 3 bulan untuk menangkap pemotong kayu ilegal, mensurvei data konservasi tentang tumbuhan dan hewan di Hutan Wehea, dan melaksanakan program dan inisiatif baru.
^"Archived copy"(PDF). Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 2012-07-27.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)