Layanan Pengadaan Secara Elektronik atau LPSE adalah mekanisme dan ekosistem penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah maupun pemerintah daerah. Seluruh prosedur dan proses pengadaan dilakukan melalui sistem e-procurement bernama SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik). Sistem ini dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sesuai Pasal 1 Nomor 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Perpres PBJ-2018 junto Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Perpres PBJ-2021, serta pasal-pasal lain dalam kedua Peraturan tersebut. Di dalam LPSE dioperasikan SPSE.
SPSE - Sistem Pengadaan Secara Elektronik
LKPP mengembangkan SPSE untuk diterapkan seluruh instansi Pemerintah dan pemerintah daerah, serta lembaga independen yang dananya bersumber dari Anggran Pendapatan dan Belanja Negera (APBN) atau Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia. SPSE mulai diterapkan pada tahun 2008 oleh 11 instansi, dan tahun 2013 SPSE sudah diterapkan di 573 lembaga dari Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi. Kini (2023) seluruh lembaga Pemerintah dan pemerintah daerah, serta hampir seluruh lembaga independen yang didukung APBN (misal: Sekretariat DPR-RI atau BASARNAS) maupun APBD sudah menggunakan SPSE dalam pengadaan barang/jasanya. Pengembangan SPSE dipimpin oleh Direktur Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik, yang secara berturut-turut adalah:
SPSE merupakan aplikasi e-procurement yang dikembangkan oleh LKPP untuk diterapkan oleh instansi-instansi pemerintah di seluruh Indonesia. Instansi pemerintah di Indonesia sangat beraneka ragam begitu pula dengan anggaran yang mereka miliki. Ada instansi daerah yang memiliki anggaran lebih dari 7 triliun dan ada pula yang hanya puluhan hingga ratusan miliar saja per tahun. Kondisi ini menjadi pertimbangan LKPP dalam mengembangkan sistem e-procurement SPSE[1][2].
LPSE merupakan unit yang dibentuk oleh sebuah instansi untuk mengoperasikan sistem e-procurement SPSE. Pada awalnya LPSE hanya sebagai tim ad hoc yang dibentuk oleh kepala instansi (gubernur, wali kota, menteri). Pada perkembangan selanjutnya, sebagian instansi telah mendirikan LPSE secara struktural seperti di Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Sumatera Barat. Pada proses pengadaan LPSE hanya sebagai fasilitator yang tidak ikut dalam proses pengadaan. Pelaksanaan proses pengadaan sepenuhnya dilakukan oleh panitia pengadaan atau Unit Layanan Pengadaan/ULP.
LPSE tidak hanya melayani pengadaan dari instansi tempat LPSE tersebut berada. LPSE Kementerian Keuangan misalnya, memfasilitasi pengadaan dari LKPP, KPK, Komisi Yudisial, dan PPATK. Hal serupa juga terjadi di LPSE-LPSE lain seperti di LPSE Universitas Diponegoro, LPSE Provinsi Jawa Barat, LPSE Provinsi Sumatera Barat, LPSE Kota Yogyakarta, LPSE Provinsi Lampung dan LPSE Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Implementasi LPSE Secara Tersebar
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 13.000 pulau. Infrastruktur teknologi informasi masih menjadi kendala besar dalam implementasi eprocurement. Di sebagian besar wilayah, internet masih merupakan barang yang mahal. E-procurement memerlukan bandwith yang cukup besar karena di dalamnya ada proses upload dokumen dengan ukuran beberapa megabyte. Sangat tidak efisien, atau tidak mungkin, jika ada satu server tunggal, di Jakarta misalnya, untuk melayani seluruh instansi di Indonesia. Ada lebih dari 600 instansi di seluruh Indonesia. Implementasi secara tersebar dipilih karena:
Pengguna dan penyedia barang/jasa berada pada lingkup geografis yang terbatas/clustered
Setiap instansi perlu membangun LPSE dan memiliki server sendiri. Secara alamiah, pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pengadaan berada pada lingkup geografis yang terbatas. Pengadaan di Kabupaten Malang misalnya, mungkin 90% lebih pesertanya berdomisili di Kabupaten Malang dan kota-kota terdekat seperti Surabaya, Pasuruan, atau Sidoarjo. Merupakan hal yang tidak efisien jika dokumen-dokumen dari Malang diupload dan disimpan di Jakarta kemudian didownload kembali ke Malang. Jauh lebih efisien jika dokumen-dokumen itu diupload dan disimpan di server yang berada di Malang.
Tidak semua penyedia memiliki akses internet yang cukup besar (idealnya minimal 1 mbps) untuk melakukan upload dokumen penawaran. Belum lagi kebiasaan penyedia untuk mengirimkan penawaran di jam atau menit terakhir. Kondisi ini menyebabkan potensi kegagalan upload sangat besar. Untuk itu, jika dokumen penawaran berukuran besar dan bandwidth di sisi penyedia tidak memadai, mereka dapat datang ke kantor LPSE untuk upload dari jaringan lokal (LAN) dengan kecepatan 100 mbps. Fasilitas upload melalui LAN ini tidak mungkin tersedia jika server LPSE terpusat di Jakarta.
Memang ada pertanyaan dari penyedia: apa bedanya dengan lelang konvensional jika penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk memasukkan penawaran. Jawaban pertanyaan ini adalah, mahalnya biaya akses internet bukan di ranah kewenangan dan tanggung jawab LPSE sehingga LPSE tidak dapat membuat akses ini menjadi murah. Untuk membuat biaya akses murah merupakan tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Jika biaya akses internet telah dapat sangat murah, penyedia tidak perlu lagi datang ke kantor LPSE.
Infrastruktur teknologi informasi masih terbatas dan mahal
Implementasi e-procurement yang terpusat seperti Koneps di Korea atau GeBIZ di Singapura tidak mungkin diterapkan di Indonesia[3]. Infrastuktur IT di kedua negara tersebut sangat memadai sehingga biaya internet sangat murah. Implementasi di Singapura yang hanya seluas Jakarta, tentu jauh lebih mudah dibandingkan implementasi di Indonesia yang sangat luas.
Sejarah penerapan e-procurement di Indonesia
Tahun 2003, dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, setiap instansi mulai diperbolehkan menggunakan teknologi informasi dalam pengadaan. Inisiatif paling menonjol sebagai tindak lanjut dari Keppres ini dilakukan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
Tahun 2004, melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Bappenas, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian diperintahkan melakukan ujicoba pelaksanaan e-procurement untuk kemudian dipergunakan bersama instansi Pemerintah lainnya.
Teknologi
SPSE dipasang di seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia dengan kondisi infrastruktur yang bermacam-macam. Oleh karena itu, SPSE dirancang agar dapat berjalan di berbagai sistem operasi. Sebagian besar SPSE berjalan di atas Linux (umumnya CentOS) dan sebagian kecil Solaris.
SPSE menggunakan database PostgreSQL. Pada awalnya (sekitar 2008-2010) menggunakan PostgreSQL versi 8. Adapun sejak 2018, berbagai server LPSE diupgrade ke PostgreSQL 10 seiring instalasi SPSE-4.3.
SPSE dikembangkan menggunakan Java, mulai dari JDK-6 hingga pada 2019 menggunakan JDK-8. Java digunakan dengan pertimbangan keamanan dan kompatibilitas sistem operasi. SPSE 4.x menggunakan Play Framework 1 sebagai framework pengembangan namun dengan modifikasi yang cukup banyak. Modifikasi ini berhasil meningkatkan performa hingga lebih dari 50 kali lipat pada aspek manajemen data. Kini SPSE sudah mapan, dan seluruh SPSE terhubung dengan LKPP.
Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketetapan tercapainya tujuan Pengadaan Barang/Jasa;[4]
Bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan Dokumen Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;[4]
Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;[4]
Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;[4]
Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses Pengadaan Barang/Jasa;[4]
Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam Pengadaan Barang/Jasa;[4]
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;[4] dan
Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa[4][5].