Lapo tuak adalah sejenis warung, layaknya Warung kopi,[1] yang menyediakan minuman khas, yakni tuak yang merupakan minuman beralkohol tradisi Batak yang terbuat dari nira kelapa atau aren yang diambil airnya.
Sejarah
Pada masa Yunani Klasik, dalam iklim sejuk demokrasinya, ada sebuah tempat untuk pertemuan terbuka yang terkenal disebut dengan Agora. Ini adalah ruang publik yang khas dan merdeka di negara-kota Athena; tempatnya untuk berdebat dan berdiskusi secara terbuka tentang masalah apa saja. Nilai dan semangat yang sama ini kemudian terejawantah dalam bingkai eksisnya lapo tuak. Ya, warung ini tidak tempat minum tuak belaka. Tak melulu soal mabuk-mabukan dan arena keributan. Dia jua tempat berdiskusi, membahas apa saja, baik masalah politik, ekonomi, sosial, nomor undian togel, dan terpenting, memperbincangkan serta menjaga tradisi dan adat di tengah gempuran arus modernitas. Lapo tuak merupakan ruang publik yang dihiasi dengan jalinan keakraban antar-peminum yang bahkan tidak saling kenal, dan justru kerap melahirkan hubungan kekeluargaan tatkala dimulainya martarombo: tradisi menerangkan asal muasal, marga, maupun silsilah di kalangan penutur Batak.[2]
Pengolah Tuak disebut juga "Paragat" dalam Bahasa batak
Paragat adalah orang yang mengambil tuak dari pohon aren dan mengolahnya hingga pas takarannya dengan selera. Proses mengambil/menyadap tuak dari pohon aren ini disebut maragat. Profesi paragat ini berbahaya sebab harus menaiki pohon aren yang biasanya menjulang tinggi dan tumbuh subur di pinggir jurang untuk menyadap tuak. Merekalah yang menyediakan tiap tetes tuak dalam gelas. Merekalah penjaga tradisi dan budaya Batak.[3]
Lihat pula
Itilah kata dalam bahasa batak ketika di Lapo Tuak
Sebutan dalam bahasa batak
Arti dalam bahasa indonesia
Paragat
Pengolah tuak dan mengantar ke lapo tuak
Tenggen
Mabuk
Tambul
Menu makanan
Sagalas
Satu gelas tuak untuk diminum
Marsinabul
Berdebat bersama teman semeja
Pandangan umum
Dalam persepsi masyarakat secara umum, Lapo Tuak sendiri kerap dicitrakan negatif, yakni sebagai tempat orang mabuk-mabukan dan arena keributan. Citra yang sebenarnya terlalu tendensius dan parsial. Meski saya bukanlah orang yang rutin pergi ke sana, namun saya beberapa kali tur ke lapo tuak daerah lain untuk minum. Sependek perjalanan saya selama berkunjung ke lapo-lapo tuak ini, tak sekalipun saya temui adanya keributan. Malah, kerap disambut ramah dan saling hormat, padahal tidak saling kenal.tapi ada baiknya Lapo tuak di berikan jam efektif bukan dan tutup.karena Lapo tuak di perantauan beda dengan di daerah asalnya.sudah berbeda konotasinya dan di jadikan ajang mabuk murah yang berdapan pada masyarakat lingkungan. Berdasarkan pengalaman lingkungan rumah yang dekat Lapo di Lampung. .[4][5][6]