La NiñaLa Niña (pengucapan bahasa Spanyol: [la ˈniɲa]) merupakan fase dingin dari El Niño–Osilasi Selatan dan merupakan kebalikan dari fenomena El Niño. Nama La Niña sendiri berasal dari bahasa Spanyol yang berarti anak perempuan atau putri. Selain itu, fenomena ini dulu juga disebut sebagai anti El Niño,[1] dan El Viejo yang berarti si Tua.[2] Selama fenomena La Niña berlangsung, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik yang dekat atau berada di garis khatulistiwa mengalami penurunan sebanyak 3° hingga 5 °C dari suhu normal. Kemunculan fenomena La Niña ini biasanya berlangsung paling tidak lima bulan. Fenomena ini memiliki dampak yang sangat besar terhadap cuaca bahkan iklim di sebagian besar wilayah dunia, terutama di wilayah Amerika Utara, bahkan berdampak pada pola musim terjadinya Badai Atlantik dan Badai Pasifik. Latar belakangLinimasa seluruh episode fenomena La Niña pada periode 1900 hingga 2023.[3][4] La Niña merupakan pola cuaca yang rumit dan kompleks yang terjadi tiap beberapa tahun sekali, sebagai akibat dari variasi suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik yang dekat atau berada di garis khatulistiwa.[5] Fenomena ini terjadi karena hembusan angin yang kuat meniup air hangat permukaan laut dari Amerika Selatan melewati Pasifik menuju wilayah timur Indonesia.[5] Ketika air yang hangat ini bergerak ke arah barat, air dingin dari dasar laut naik ke permukaan laut di wilayah perairan Pasifik yang dekat dengan Amerika Selatan.[5] Oleh karena itu, fenomena ini dianggap sebagai fase dingin dari pola cuaca El Niño–Osilasi Selatan yang lebih besar, dan merupakan kebalikan dari pola cuaca El Niño.[5] Fenomena La Niña sudah terjadi selama ratusan tahun dan biasanya secara teratur, selama awal abad ke-17 dan awal abad ke-19.[6] Sejak awal abad ke-20, tercatat bahwa fenomena La Niña berlangsung pada tahun Tiap-tiap badan atau organisasi prakiraan cuaca mempunyai ambang batas yang berbeda untuk menentukan kapan suatu fenomena La Niña terjadi, hal tersebut terjadi karena penyesuaian yang dilakukan oleh masing-masing badan prakiraan cuaca terhadap minat masing-masing.[7] Contohnya begini, Badan Meteorologi Australia memperhatikan pergerakan angin pasat, SOI, model cuaca, dan suhu permukaan laut di wilayah NINO 3 dan 3,4 sebelum menyatakan bahwa fenomena La Niña mulai berlangsung.[8] Akan tetapi, Badan Meteorologi Jepang menyatakan bahwa fenomena La Niña telah berlangsung ketika rata-rata penyimpangan suhu muka laut selama lima bulan untuk wilayah NINO.3 lebih dingin dari 05 °C (9,0 °F) selama enam bulan berturut-turut atau lebih.[9] Dampak La Niña di wilayah IndonesiaDampak utama dari fenomena La Niña terhadap wilayah Indonesia adalah peningkatan curah hujan di wilayah tengah dan timur Indonesia sebagai akibat dari menghangatnya suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia. Selain itu, fenomena ini dapat menyebabkan musim hujan yang lebih panjang atau tidak terjadi musim kemarau di wilayah Indonesia dan peningkatan curah hujan yang signifikan pada saat musim hujan berlangsung, sehingga bencana hidrometeorologi rawan terjadi di pelbagai wilayah Indonesia.[10][11] Referensi
|