Kunto Bimo adalah sebuah mitos yang dipercaya masyarakat sekitar candi Borobudur yang mengatakan bahwa siapa saja yang merogoh ke dalam sebuah stupa berongga (berterawang) dan dapat menyentuh bagian tertentu dari tubuh arca Buddha yang ada di dalamnya maka ia akan mendapatkan keberuntungan atau terkabul keinginannya.
Ada yang mengatakan bagi pria ia harus memegang jari manis namun ada yang mengatakan jari kelingking dari arca Buddha yang berada dalam posisi tangan (mudra) Dharmachakra (Pali: Dhammacakka – roda Dharma). Sedangkan bagi wanita ia harus memegang telapak kakinya atau tumit, namun ada yang mengatakan ibu jari kaki.
Karena mitos itu, arca Buddha tersebut dikenal dengan nama arca Kunto Bimo. Dan stupa yang menutupnya tersebut merupakan stupa berongga belah ketupat di lantai atau teras bundar pertama dari tingkat arupadhatu atau tingkat ke-7 dari 10 tingkatan candi, dan terletak di sebelah timur candi atau stupa pertama yang berada di sebelah kanan dari tangga pintu timur.
Meskipun terkenal, sangat sedikit yang mengetahui asal usul dan arti dari Kunto Bimo. Menurut mendiang Drs. R. Soekmono, salah satu arkeolog Indonesia yang pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1971-1983, mitos yang tidak ada kaitannya dan tidak diajarkan dalam Agama Buddha tersebut merupakan akal-akalan oknum petugas candi pada tahun 1950-an.
Mitos Kunto Bimo diawali dengan keinginan oknum petugas candi yang ingin meningkatkan pendapatan mereka dengan membuat daya tarik di Candi Borobudur untuk para pengunjung. Mereka menaburkan bunga dan uang pada satu arca dalam stupa sehingga memberi kesan mistis. Dan itu berhasil. Pengunjung mulai latah dan oknum petugas pun mendapatkan penghasilan yang lumayan.
Perilaku pengunjung Candi Borobudur yang mengistimewakan salah satu arca Buddha di arupadathu juga pernah disinggung oleh August Johan Bernet Kempers (1906-1992), seorang arkeolog asal Belanda, dalam bukunya Ageless Borobudur.
Perilaku memberi uang kepada arca tersebut kemudian diikuti dengan tindakan merogoh dan menyentuh bagian dari arca Buddha untuk mendapatkan keberuntungan. Tidak diketahui secara pasti mengapa yang harus disentuh adalah jari manis dan tumit. Diduga ini juga merupakan sebuah permainan akal-akalan agar para pengunjung tidak dengan mudah begitu saja melakukannya dan tidak mudah begitu saja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yang pasti, jika diperhatikan kedua bagian yang harus disentuh tersebut berada hampir di tengah-tengah stupa, jarak terjauh dari luar stupa.
Etimologi
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, istilah Kunto Bimo berasal dari kata “Kunto” dan “Bimo”. Kata “Kunto” dianggap berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu “ngento-ento” (ngenta-enta) yang berarti “mengira-kira”, atau “ngenta-ento” yang berarti “permintaan-mendapatkan”. Dan kata “Bimo” dari kata “Bima” yaitu salah satu tokoh dari Pandawa Lima dalam kisah Mahabharata yang juga dikenal dengan nama Werkudoro (Skt: Vrikodara) yang memiliki sifat pantang menyerah. Dengan demikian “Kunto Bimo” diduga berarti permintaan pantang menyerah dan mengira-kira (berharap) mendapatkan hasilnya.
Secara harfiah, Kunto Bimo sendiri berasal dari kata “Kunta Bima” (Skt: Kunta Bhima), “kunta” bisa berarti “batang” atau “lembing” atau juga bisa berarti gairah atau keinginan, dan “bima” adalah Bhima dari tokoh Pandawa yang berarti “mengerikan” atau “luar biasa” atau “dahsyat”.
Dampak
Di balik kepopulerannya, mitos Kunto Bimo juga mengandung unsur bahaya, baik untuk pengunjung maupun terlebih untuk kelestarian Candi Borobudur.
Pada Juni2010, karena terpengaruh mitos Kunto Bimo, seorang anak balita terjepit kepalanya di salah satu stupa karena ingin meroggoh arca Buddha. Selama kurang lebih setengah jam sejumlah Petugas Balai Konservasi Peninggalan Borobudur secara perlahan-lahan mengeluarkan kepala anak itu dari stupa.[3][4][5] Meskipun peristiwa ini tidak terjadi di arca Kunto Bimo, namun sempat mengundang perhatian.
Mitos Kunto Bimo yang mendorong para pengunjung untuk merogoh arca Buddha di dalam stupa juga dapat merusak stupa itu sendiri. Dorongan badan yang kuat dari usaha para pengunjung untuk merogoh akan menekan batuan penyusun stupa yang akhirnya dapat merusaknya. Belum lagi sentuhan dari telapak tangan dan jari para pengunjung yang kotor dan mengandung mineral-mineral yang dapat mempercepat pelapukan arca Buddha yang ada di dalamnya.[6]
Pada 2016, Balai Konservasi Borobudur tak memperbolehkan lagi pengunjung candi Borobudur untuk memegang dan menginjak stupa-stupa yang ada di Borobudur, meskipun tak ada sanksi khusus bagi orang yang kedapatan melakukannya.[7]