Kudeta 18 Brumaire
Kudeta 18 Brumaire membuat Jenderal Napoleon Bonaparte berkuasa sebagai Konsul Tingkat Satu Prancis dan dalam pandangan kebanyakan sejarawan mengakhiri Revolusi Prancis. Kudeta tak berdarah tersebut menggulingkan Direktori Prancis dan menggantinya dengan Konsulat Prancis. Peristiwa tersebut terjadi pada 9 November 1799, yang jatuh pada tanggal 18 Brumaire, Tahun VIII di bawah Kalender Republik Prancis. KonteksLatar belakangSetelah Kekaisaran Romawi Suci yang dipimpin oleh wangsa Habsburg mendeklarasikan perang kepada Prancis pada 12 Maret 1799,[1] pemerintah menerapkan kebijakan darurat dan faksi Jacobin yang pro-perang berhasil memenangkan pemilu 1799 secara gemilang. Dengan Napoleon dan pasukan terbaik republik yang terlibat dalam kampanye Mesir dan Suriah, Prancis mengalami serangkaian kekalahan di medan perang pada musim semi dan panas tahun 1799. Kudeta 30 Prairial (18 Juni) menggulingkan kaum Jacobin dan menjadikan Emmanuel Joseph Sieyès, anggota dari lima orang anggota Direktori yang berkuasa, sebagai tokoh dominan dalam pemerintahan. Situasi militer Prancis membaik setelah Pertempuran Zurich Kedua. Ketika prospek invasi mereda, kaum Jacobin mengkhawatirkan kebangkitan kembali faksi Royalis yang pro-perdamaian. Dalam pemilihan umum 1799, faksi neo-Jacobin berhasil memenangkan pemilu karena ketidakpuasan publik terhadap penangganan perang yang dilakukan oleh pemerintahan Direktori.[2] Dengan bantuan militer yang dipimpin oleh Jenderal Barthélemy Catherine Joubert, faksi neo-Jacobin melancarkan kudeta 30 Prairial yang memaksa 2 dari 5 anggota Direktori untuk mengundurkan diri. Paul Barras selamat dalam kudeta tersebut dengan berganti pihak menjadi pro-kudeta. Walaupun tidak ada korban jiwa, kudeta tersebut, bersama dengan 2 kudeta sebelumnya (18 Fructidor dan 22 Floreal) dalam kurung waktu 3 tahun, menunjukkan ketidakstabilan politik Prancis pada jaman Revolusi. Kudeta keempat dan mungkin yang paling terakhir akan secara jelas menghancurkan pemerintahan Direktori, tergantung siapa yang akan menjadi inisiatornya.[2] Napoleon pulang ke Prancis setelah kemenangannya di Timur Tengah dan mendarat di Fréjus pada 8 Oktober dan ia disambut sebagai pahlawan oleh rakyat Prancis sampai ke Paris pada saat publik menerima berita kemenangannya di Abukir.[3] Kedua faksi yang berlawanan di perpolitikan Prancis juga memuji Napoleon sebagai seorang pahlawan nasional. Namun, kondisi politik nasional sudah berubah sejak Napoleon pergi berkampanye di Mesir. Pemerintahan Direktori sangat berantakan dan dilanda dengan korupsi, perang telah kembali dimulai dan Prancis harus berhadapan dengan Koalisi Kedua. Sieyès merasa ia memiliki seorang jendral yang bisa diandalkan dalam kudeta yang ia rencanakan. Namun Napoleon kecewa dengan kondisi politik Prancis.
Sejak kala itu, Napoleon mulai merencanakan kudeta dalam kudeta dengan tujuan untuk mendapatkan kekuatan politik yang melebihi dari apa yang direncanakan oleh Sieyès. Konspirator kudetaSieyès tidak menyukai pemerintahan Direktori. Ia pernah ditawari sebuah posisi sebagai salah satu dari 5 direktor pertama pada 1795 tetapi ia menolaknya karena ia menentang Konstitusi Tahun III secara prinsip. Pada saat ia kembali ditawari posisi tersebut pada Mei 1799, Sieyès menerima posisi tersebut bukan karena ia berubah pikiran, tetapi karena ia menyadari bahwa waktunya sudah tepat untuk menghancurkan Direktori dan tempat terbaik untuk melakukannya adalah dari dalam.[2] Dalam upaya kudeta tersebut, ia dibantu oleh beberapa tokoh terkenal. Salah satu dari mereka adalah Charles-Maurice Talleyrand yang baru dipecat dari posisi menteri luar negeri pada Juli 1799 saat ia ketahuan meminta suap dari diplomat Amerika, Jean Jacques de Cambacérès yang membiayai operasi tersebut, dan Menteri Kepolisian Joseph Fouché yang memiliki jaringan mata-mata diseluruh pelosok Paris.[2] Konspirasi tersebut kemudian berkembang dan dukungan terus mengalir dari Roger Ducos, salah satu anggota Direktori dengan Sieyès, dan juga adik Napoleon, Lucien Bonaparte yang menjabat sebagai Ketua Dewan Lima Ratus.[2] Sieyès juga didukung oleh Claude Périer dan Jean-Frédéric Perrégaux (yang kemudian membentuk Bank Prancis) secara finansial.[3] Kudeta ini dengan dukungan banyak tokoh terkenal bisa tergaransi kesuksesannya, Sieyès hanya membutuhkan seorang prajurit yang bertindak sebagai otot kudeta tersebut, yang Sieyès mengartikan sebagai "sebuah pedang". Rintangan terberat yang mungkin terjadi terhadap kudeta adalah di militer. Sieyès membutuhkan kepercayaan dari angkatan bersenjata Prancis yang menjadi tantangan terbesar dalam kelancaran operasi kudeta tersebut. Awalnya, Sieyès melirik Barthélemy Catherine Joubert sebagai jenderal yang memimpin militer dalam kudeta tersebut namun Joubert gugur di Pertempuran Novi.[2] Beberapa jenderal, seperti Jean-Baptiste Jourdan, pahlawan dari Pertempuran Fleurus, percaya pada republikanisme; yang lain, seperti Jean-Baptiste Bernadotte, percaya diri bahwa mereka mampu memerintah Prancis sendiri. Sieyès memandanga Bernadotte sebagai seorang Jacobin dan Jourdan menolak menjadi sang "pedang" dalam kudetanya, namun Jourdan berjanji tidak akan menghentikan kudeta tersebut.[2] Sieyès kemudian mencoba merekrut Jendral Jean Victor Moreau, namun Moreau tidak suka menerjunkan dirinya kedalam dunia politik dan menolak permintaan Sieyès. Pada saat Napoleon pulang ke Prancis, Moreau merekomendasikan namanya ke Sieyès.[4] Napoleon sendiri menyadari perbedaan ideologi jenderal-jenderal Prancis, dan bekerja pada perasaan semua orang, menjaga rahasia niatnya sendiri. Sieyès pada awalnya tidak begitu memercayai Napoleon dan menganggapnya sebagai orang yang ambisius dan berbahaya, tetapi ia tidak memiliki banyak pilihan.[3] Ia bahkan berpikir bahwa Napoleon harus dihukum mati karena meninggalkan pasukannya di Mesir.[2] Talleyrand akhirnya meyakinkannya untuk menawarkan Napoleon tempat dalam konspirasi tersebut. Setelah beberapa kali berdebat, Napoleon menerimanya, dan orang-orang itu bertemu di rumah Lucien Bonaparte untuk merancang rencana kudeta.[2] Perencanaan kudetaSeluruh konspirator kudeta menyetujui bahwa kudeta harus dilakukan dalam jangka waktu dua hari. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membawa pemerintah Direktori keluar dari Paris; jika tetap di ibu kota, para konspirator menanggung risiko bahwa neo-Jacobin akan memanggil rakyat Paris untuk mengangkat senjata guna membela pemerintah. Jadi, pada hari pertama, Sieyès harus mengadakan pertemuan darurat Dewan Kuno, yang akan diberitahu bahwa sebuah rencana Jacobin telah ditemukan dan bahwa badan legislatif harus bertemu keesokan harinya di istana Saint-Cloud, 11 km (7 mil) di sebelah barat Paris, demi keselamatan kudeta sendiri. Sementara itu, Sieyès dan Ducos akan mengundurkan diri dari Direktori dan membujuk tiga Direktur lainnya untuk juga mengundurkan diri melalui paksaan dan penyuapan. Pada hari kedua, Napoleon akan mengunjungi kedua lembaga legislatif dan memberi tahu mereka bahwa, karena rencana Jacobin Prancis berada dalam keadaan bahaya dan hanya dapat dipertahankan dengan mencabut dan mengganti Konstitusi Tahun III. Sebuah pemerintahan sementara kemudian akan dibentuk, dipimpin oleh Sieyès, untuk menulis konstitusi baru.[2] Joseph Fouché menyiapkan surat perintah penangkapan para konspirator sebagai rencana cadangan jika kudeta tersebut gagal sebagai bentuk pertahanan dirinya, mengecewakan konspirator lainnya.[2] Rencana ini cukup berbahaya karena kudeta berlangsung selama dua hari, memberi dampak risiko ketahuan. Namun, para konspirator berencana untuk melakukan kudeta pada 16 Brumaire (7 November 1799). Sejumlah anggota Dewan Kuno menjadi curiga terhadap pertemuan darurat dan harus diyakinkan, sehingga memaksa para konspirator untuk menunda rencana tersebut; 'hari pertama' baru ditetapkan pada tanggal 9 November (18 Brumaire).[2] Pada malam hari 7 November, Napoleon makan malam dengan Jourdan, Moreau, dan Bernadotte dalam upaya meminta bantuan mereka. Moreau bersedia membantu Napoleon namun Jourdan dan Bernadotte menolak untuk membantu. Jourdan kembali menegaskan netralitasnya sementara Bernadotte bahkan memeringati Napoleon bahwa ia akan di hukum mati. "Kita lihatlah nanti", Napoleon dengan santai menanggapi peringatan Bernadotte tersebut.[5] Saat yang sama, sejumlah delegasi kecil deputi berkumpul pada tanggal 16 di rumah Louis-Nicolas Lemercier, ketua Dewan Kuno dan juga salah satu konspirator kudeta, untuk menentukan cara pelaksanaan.[6] Pada 17 Brumaire (8 November 1799), Komandan Militer Distrik Paris François Joseph Lefebvre berserta resimen garnisun, ajudan dari empat puluh delapan seksi diundang untuk pergi keesokan harinya pada pukul tujuh pagi ke rue Chantereine, yang terletak di lokasi saat ini antara rue de Châteaudun dan rue de la Victoire, tempat rumah tinggal Bonaparte. Pertemuan ini, yang telah diharapkan sejak kembalinya Panglima Tertinggi, tidak menimbulkan kecurigaan apapun; pada saat yang sama semua petugas yang dapat kami andalkan juga dipanggil. Masing-masing dari mereka, seperti masyarakat yang percaya bahwa sang jenderal akan berangkat ke tentara Italia, merasa wajar jika mereka dipanggil untuk memberi perintah. Peristiwa kudeta18 BrumairePada pagi hari tanggal 18 Brumaire, Napoleon mengumpulkan sebanyak 60 perwira ke rumahnya di Rue de la Victoire. Mengenakan pakaian sipil, Napoleon menjelaskan situasi mengerikan yang dialami Republik dan meminta kesetiaan mereka, dengan demikian menyamar sebagai pelindung pemerintah yang akan dihancurkannya.[2] Di pertemuan ini, Napoleon berhasil memenangkan hati Jenderal Lefebvre dan mendapatkan dukungannya. Lefebvre menggeram kepada Napoleon, "Marilah kita membuang politikus itu ke sungai!"[7] Di Dewan Kuno, Lucien Bonaparte menyatakan secara keliru bahwa "fraksi anarkis Jacobin" telah bersiap menggulingkan pemerintahan dan untuk menggagalkan rencana mereka, pertemuan Dewan harus dilakukan keluar Paris. Pada pukul setengah delapan, seorang utusan dari Dewan Kuno memberikan dekrit kepada Napoleon Bonaparte untuk memindahkan majelis yang berbunyi sebagai berikut.[8]
Pembacaan dekrit ini disambut oleh teriakan "Hidup Bonaparte! Hidup Republik!" dari prajurit. Napoleon kemudian memberi pidato kepada prajuritnya setelah dekrit tersebut dibacakan. Napoleon berkata kepada mereka:[9]
Napoleon kemudian memberi tugas kepada perwira prajurit yang hadir untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing. Ia kemudian berangkat menuju Istana Tuileries dengan rombongan militer yang besar. Dalam perjalanannya, ia melewati Place de la Revolution di mana banyak musuh negara yang diduga telah dipenggal selama jaman Teror; Napoleon tampaknya berkomentar kepada salah seorang konspirator, "Besok, kita akan tidur di Luxembourg atau kita akan berada di sini". Sesampai disana, ia membacakan dekrit itu kembali kepada Dewan Kuno dan setelah itu ia meyakinkan para anggota Dewan untuk tidak khawatir karena Jenderal Lefebvre dan Berthier akan membantu dalam tugasnya.[6]
Pernyataan Napoleon disambut baik oleh Dewan Kuno dan Napoleon kemudian meninjau pasukan Distrik Militer Paris. Ia kemudian memberi perintah: 10,000 pasukan dibawah pimpinan Jenderal Jean Lannes akan menduduki Istana Tuileries (tempat pertemuan Dewan Kuno), Istana Luxembourg (tempat pertemuan 5 Direktorat), sekolah militer, dan Istana Bourbon (tempat pertemuan Dewan Lima Ratus). Sementara Les Invalides dipercayakan kepada Jenderal Milhaud, Murat, Marmont, dan Berruyer. Lefebvre akan tetap menjadi komandan Divisi Militer Paris dan Moreau akan menjadi aide-de-camp Napoleon. Pada pukul sebelas pagi, para anggota Dewan Lima Ratus bertemu di Istana Bourbon dan diberikan usulan yang serupa dengan Dewan Kuno. Mereka sepakat untuk memindahkan pertemuan mereka keesokan harinya ke Saint-Cloud. Ketua Dewan Lima Ratus Lucien Bonaparte membacakan dekrit pemindahan di Saint-Cloud di depan anggota dewan dengan protes dari fraksi Jacobin yang sia-sia. Kejadian di Dewan Kuno memaksa pemerintahan Direktori untuk melakukan pertemuan luar biasa. Hanya tiga dari lima anggota Direktorat yang hadir diantara lain Paul Barras, Louis-Jérôme Gohier dan Jean-François-Auguste Moulin sementara Sieyès dan Roger Ducos tidak muncul.[6] Ketiga anggota yang hadir tersebut memanggil Lefebvre untuk memberi perintah kepadanya, namun Lefebvre menolak karena dekrit yang dikeluarkan oleh Dewan Kuno membuatnya hanya menjawab kepada Napoleon dan tidak mengenal atasan lain selainnya. Sieyès dan Roger Ducos telah mengundurkan diri sebagai Direktur. Mantan Menteri Luar Negeri Charles Maurice de Talleyrand-Périgord, sekutu dekat Napoleon, menekan Direktur Paul Barras untuk melakukan hal yang sama. Paul Barras awalnya enggan tetapi menyerah setelah Talleyrand menawarinya suap; Barras segera meninggalkan Paris, diapit oleh kavaleri untuk memastikan dia tidak berubah pikiran.[2] Napoleon diberitahu tentang pengunduran diri Barras melalui sekretaris pribadi Paul Barras, Botot.[6] Pengunduran diri tiga dari lima Direktur pada hari pertama kudeta mencegah kuorum dan dengan demikian secara praktis menghapuskan Direktori yang beranggotakan lima orang. Tetapi dua Direktur Jacobin, Louis-Jérôme Gohier dan Jean-François-Auguste Moulin, terus memprotes dengan marah. Kedua pria itu ditangkap dan ditahan di Istana Luxembourg oleh prajurit dibawah pimpinan Jenderal Jean Victor Marie Moreau, dan pada hari berikutnya, mereka dipaksa untuk menyerah. Hari pertama kudeta telah berhasil dengan lancar. Pada malam hari, para partisipan kudeta bertemu di Paris, bertemu di Hôtel de Breteuil: mantan Menteri Luar Negeri Talleyrand, Menteri Kepolisian Joseph Fouché, para deputi Lucien Bonaparte, Bérenger, Cabanis, Daunou, direktur Sieyès, komisaris umum Administrasi Pos (dan kepala kabinet hitam) Gaudin; sebagian kecil dari partai Madame de Staël juga berunjuk rasa mendukung Bonaparte. Semuanya harus siap untuk hari berikutnya; sepanjang malam dikhususkan untuk menulis semua dokumen yang harus digunakan untuk menjamin keberhasilan kudeta.[10] 19 BrumaireHari berikutnya, para anggota dewan, kadang berserta anggota keluarga mereka, dibawa ke Château de Saint-Cloud dengan prosesi militer yang ketat. Sebanyak 6,000 pasukan telah disiagakan di Istana tersebut. Di dalam istana, para pekerja mulai menata kedua sayap istana untuk anggota dewan. Dewan Kuno akan bertemu di Galeri Apollo sementara Dewan Lima Ratus akan bertemu di Orangerie. Sebagian besar deputi menyadari bahwa mereka menghadapi upaya kudeta alih-alih dilindungi dari pemberontakan Jacobin. Menghadapi penolakan mereka untuk tunduk, Napoleon menyerbu ke dalam ruangan, dikawal oleh pasukan grenadier kecil. Meskipun mungkin tidak direncanakan, ini terbukti sebagai kudeta dalam kudeta: sejak saat itu, ini adalah urusan militer. Sesampai disana, Napoleon memberikan pidato kepada Dewan Kuno.[2]
Napoleon mendapat sikap melawan dari pihak Dewan Kuno walaupun sudah "menunjukkan kekuatan militernya". Ia disambut ejekan dari dewan tersebut yang menyorakinya dengan kata-kata "kebenaran fakta" seperti "Revolusi sudah usai" atau "Republik ini tidak mempunyai pemerintahan". Mereka kemudian secara lantang meminta Napoleon untuk menyatakan sumpah kesetiaan kepada Konstitusi Tahun III sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Republik.[2] Seorang anggota dewan menanyakan kepada Napoleon, "dan Konstitusinya?". Napoleon menjawab mengacu pada kudeta sebelumnya, "Konstitusi! Kalian sendiri sudah menghancurkannya. Kamu menghancurkannya pada 18 Fructidor, kamu menghancurkannya pada 22 Floreal, kamu menghancurkannya pada 30 Prarial, ia tidak memiliki rasa dihormati oleh siapapun!". Napoleon ditarik keluar oleh pasukan grenadier yang menemaninya, namun tetap melanjutkan omelannya dengan nada yang tidak peka, "Ingatlah bahwa saya berjalan disini bersama Dewa Perang dan Dewa Keberuntungan!". Omelan tersebut diterima dengan kegaduhan besar.[3] Napoleon kemudian pergi menuju ke sidang Dewan Lima Ratus di Orangerie.[2] Saat Napoleon mendatangi Dewan Lima Ratus, ia menerima reaksi yang lebih jengkel dari anggota dewan. Para grenadiernya masuk tepat saat legalitas pengunduran diri Barras ditentang oleh kaum Jacobin di ruang sidang. Saat masuk, Napoleon pertama-tama didesak, lalu langsung diserang. Menurut beberapa sumber, ia hampir pingsan. Saat melihat Bonaparte dan para grenadiernya, kutukan dari anggota Dewan terdengar dari semua sisi: “Ini pedang! Di sini, orang-orang bersenjata! Hancurkan tiran itu! Jatuhkan diktator! Larang Cromwell baru!".[11] Bukan Napoleon sendiri, melainkan saudaranya Lucien, presiden dewan, yang meminta para grenadier untuk membela pemimpin mereka. Napoleon berhasil lolos, tetapi hanya dengan menggunakan kekuatan militer. Napoleon kemudian menghampiri Sieyès dan berkata bahwa mereka ingin menangkapnya. Sieyès menjawab "merekalah yang memulainya" dan meminta Napoleon untuk menggerakan pasukan dengan cepat. Sebuah mosi diajukan di Dewan Lima Ratus untuk menyatakan Napoleon sebagai penjahat. Napoleon Bonaparte, setelah mendengar berita palsu bahwa dia telah dilarang, bergegas ke jendela dan berteriak, “Siap senjata!" Kemudian dia masuk ke halaman tempat dia bergabung dengan saudaranya, mereka menunggang kuda. Pada titik ini, Lucien rupanya menyelinap keluar ruangan dan memberi tahu para prajurit yang menjaga Dewan bahwa mayoritas dari Lima Ratus sedang diteror oleh sekelompok deputi yang mengacungkan belati. Menurut Michael Rapport, "Dia menunjuk wajah Napoleon yang berdarah dan pucat sebagai bukti; meskipun setidaknya satu laporan menyebutkan Napoleon menggaruk wajahnya sendiri karena frustrasi dan marah hingga dia mengeluarkan darah." Kemudian, dengan gerakan teatrikal, Lucien mengambil pedang dan berjanji untuk menusukkannya ke dalam hati saudaranya sendiri jika dia pengkhianat.[5]
Lucien memerintahkan pasukan untuk mengusir para deputi yang melakukan kekerasan dari ruangan tersebut. Para granat di bawah komando Jenderal Joachim Murat berbaris menuju Orangerie dan membubarkan dewan. Murat kemudian berkata kepada para deputi Dewan Lima Ratus bahwa mereka akan dibubarkan, sebelum memerintah kepada tentaranya dengan nada yang lebih kasar, "Singkirkanlah rakyat jelata ini dari sini!".[3] Para prajurit berbaris ke Orangery dan membubarkan para deputi; banyak dari mereka melompat keluar jendela untuk menghindari penangkapan.[2] Menteri Kepolisian Joseph Fouché kemudian melarang seluruh anggota Dewan yang meninggalkan Saint-Cloud untuk kembali ke Paris untuk mencegah mereka untuk melakukan reformasi majelis di kota. Selesainya kudetaMendengar apa yang terjadi kepada Dewan Lima Ratus, Dewan Kuno memutuskan untuk mengeluarkan dekrit pembentukan pemerintahan sementara yang berisikan tiga orang sebagai anggota karena pemerintahan Direktorat telah dibubarkan akibat tiga direktur mengundurkan diri dan dua ditahan secara hukum. Selain itu, Dewan Kuno juga menunda sesi parlemen berikutnya hingga 1 Ventôse VIII (20 Februari 1800). Napoleon dan Sieyès tidak puas mendengarkan keputusan tersebut dan segera mencari para anggota Dewan Lima Ratus yang mendukung kudeta tersebut. Para konspirator kudeta kemudian membuka dua komisi yang masing-masing terdiri dari 25 anggota dari kedua dewan tersebut. Para konspirator pada dasarnya mengintimidasi komisi tersebut agar mendeklarasikan pemerintahan sementara, bentuk konsulat pertama dengan Napoleon, Sieyès, dan Ducos sebagai Konsul. Kurangnya reaksi dari jalanan membuktikan bahwa Revolusi memang telah berakhir. "Merupakan gabungan kekerasan dan penipuan yang buruk, Brumaire ke-18 dimaafkan, bahkan malah dipuji, oleh bangsa Prancis. Karena lelah dengan revolusi, manusia hanya ingin diperintah dengan bijaksana dan tegas." Perlawanan para pejabat Jacobin di provinsi-provinsi dengan cepat ditumpas. Dua puluh deputi Jacobin diasingkan, dan lainnya ditangkap. Komisi-komisi tersebut kemudian menyusun "Konstitusi Tahun VIII yang singkat dan tidak jelas", konstitusi pertama sejak Revolusi tanpa Deklarasi Hak Asasi Manusia.[12] WarisanPada tahun 1852, filsuf politik dan pencetus ideologi komunisme Karl Marx menulis The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte tentang peristiwa yang terjadi jauh setelahnya, kudeta tahun 1851 terhadap Republik Kedua oleh Napoleon III, yang merupakan keponakan Napoleon. Marx menganggap Napoleon III sebagai politikus yang remeh jika dibandingkan dengan pamannya yang mengguncang dunia, seperti yang diungkapkan dalam kata sambutan pembuka Marx yang sering dikutip: "Hegel menyatakan di suatu tempat bahwa semua fakta dan tokoh sejarah dunia yang hebat muncul, bisa dikatakan, dua kali. Ia lupa menambahkan: pertama kali sebagai tragedi, kedua kali sebagai lelucon."[13] Referensi
Karya dikutip
Pranala luar
|