Krisis penyanderaan kedutaan besar Jepang bermula pada tanggal 17 Desember 1996 di Lima, Peru, ketika 14 anggota Gerakan Revolusi Túpac Amaru (MRTA) menyandera ratusan diplomat, pejabat pemerintah, pejabat militer, dan pebisnis yang sedang menghadiri pesta di kediaman resmi Duta Besar Jepang untuk Peru, Morihisa Aoki, dalam rangka ulang tahun ke-63 Kaisar Akihito. Meski penyanderaan terjadi di kediaman duta besar di kawasan elit San Isidro, media memakai istilah "kedutaan besar Jepang" dan istilah ini bertahan sampai sekarang.
Sandera perempuan asing dibebaskan pada malam pertama usai baku tembak pertama. Sebagian besar warga asing dibebaskan setelah menerima ancaman pembunuhan selama 5 hari. Sandera yang tersisa dibebaskan 126 hari kemudian pada tanggal 22 April 1997 melalui operasi penyerbuan Angkatan Bersenjata Peru. Satu sandera, dua anggota komando, dan semua militan MRTA tewas. Operasi ini dinilai sukses oleh masyarakat Peru dan disorot media internasional. Presiden Alberto Fujimori dipuji atas operasi penyelamatan tersebut.
Sejumlah pihak melaporkan bahwa beberapa pemberontak langsung dieksekusi setelah menyerah. Diplomat Jepang, Hidetaka Ogura, mengaku bahwa tiga pemberontak disiksa. Dua anggota komando bersaksi bahwa mereka sempat melihat Eduardo “Tito” Cruz dalam keadaan hidup dan ditahan, kemudian menemukan jasadnya dengan luka tembak di leher di halaman belakang. Atas temuan ini, keluarga militan mengajukan gugatan hukum terhadap petinggi militer Peru. Jaksa Umum Peru memerintahkan sidang dengar pendapat pada tahun 2005.[1] Semua tuduhan dicabut usai peninjauan kembali oleh militer sekaligus tekanan besar dari masyarakat yang membela pasukan komando. Penyelidikan lebih lanjut dilimpahkan ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika.[2][3] Pada tahun 2015, pengadilan memutuskan bahwa Cruz adalah korban pembunuhan tanpa proses hukum (ekstrayudisial) dan pemerintah Peru melanggar hukum internasional. Pengadilan juga mengakui Victor Peceros (25 tahun) dan Herma Melendez (17 tahun) sebagai korban yang hak asasinya dirampas pemerintah.[4]