Krisis pengungsi di Eropa

Para migran berhenti di perbatasan Yunani-Macedonia di Gevgelija dan dijaga ketat oleh polisi Macedonia, 24 Agustus 2015

Krisis pengungsi di Eropa (atau Krisis migran Eropa) muncul seiring meningkatnya jumlah pengungsi (dan juga migran ekonomi)—ke Uni Eropa (UE) lewat Laut Mediterania dan Balkan dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Istilah ini sudah digunakan sejak April 2015 ketika sedikitnya lima kapal yang mengangkut kurang lebih dua ribu migran tenggelam di Laut Mediterania. Jumlah korban tewas mencapai sekitar 1.200 jiwa.

Tragedi tenggelamnya kapal ini terjadi setelah konflik pecah di beberapa negara Afrika Utara dan Timur Tengah dan tertutupnya keran dana Operasi Mare Nostrum dari Uni Eropa (digantikan dengan Operasi Triton oleh Frontex pada November 2014). Pada tanggal 23 April 2014, negara-negara UE sepakat untuk menambah anggaran operasi patroli perbatasan di Mediterania agar efektif seperti Operasi Mare Nostrum. Amnesty International mengkritik keputusan UE yang enggan "memperluas wilayah operasi Triton" sesuai wilayah operasi Mare Nostrum.[1] Beberapa pekan kemudian, Uni Eropa mengumumkan akan meluncurkan operasi baru yang berpusat di Roma, EU Navfor Med, yang dipimpin Laksamana Enrico Credendino dari AL Italia.[2]

Tahun 2014, negara-negara anggota UE mendapat 132.405 permohonan dari para migran. Secara keseluruhan, 23.295 permohonan migran diterima sehingga mereka berhak mendapat perlindungan di Uni Eropa (suaka, status pengungsi, perlindungan subsider, kemanusiaan), sedangkan 109.110 permohonan ditolak.[3] Menurut Eurostat, empat negara—Jerman, Italia, Prancis, dan Swedia—menerima dua per tiga permohonan suaka UE.[4] Berdasarkan analisis data PBB dan Bank Dunia oleh The New York Times, Hungaria dan Swedia merupakan penerima pencari suaka terbesar per kapita.[5]

Lihat pula

Referensi

Pranala luar