Kisaeng
Diperkirakan muncul sejak zaman Dinasti Goryeo, Gisaeng umumnya adalah penghibur yang dilegalkan pemerintah, yang juga terjun dalam banyak bidang pekerjaan lain. Sebagian besar Gisaeng dipekerjakan di istana, yang lainnya dan tersebar di seluruh negeri. Gisaeng dilatih secara ketat dan umumnya sangat mahir dalam bidang seni seperti menari, melukis, dan membaca puisi dan sajak. Walau begitu mereka sering diremehkan karena status sosialnya yang rendah. Selain menghibur, keterampilan seorang Gisaeng juga melingkupi antara lain bidang pengobatan dan jahit-menjahit. Dalam beberapa hal, Gisaeng juga bekerja membantu tentara di pusat militer. Gisaeng dalam sejarah maupun cerita fiksi, memainkan peran penting dalam budaya tradisional Korea pada masa lalu. Salah satu cerita tertua dan paling terkenal, Chun Hyang-jeon, menceritakan Gisaeng sebagai tokoh utama. Walau banyak nama para Gisaeng sudah terlupakan, ada sedikit yang diingat karena bakat dan kesetiaannya, yang paling terkenal mungkin Gisaeng dari abad ke-16, Hwang Jin-i. Kelas sosialSejak dari zaman Dinasti Goryeo dan Joseon, kisaeng digolongkan ke dalam kelas cheonmin, kelas paling rendah dalam masyarakat bersama para tukang daging dan budak. Status sosial adalah turunan, jadi anak dari kisaeng juga adalah cheonmin[1], dan anak perempuan dari kisaeng pastinya akan menjadi kisaeng pula. Mulai pada zaman Dinasti Goryeo, kantor pemerintahan di tiap distrik menyimpan data para kisaeng untuk memudahkan pengawasan.[2] Hal sama berlaku untuk para budak lain. Kisaeng hanya dapat bebas dari posisinya jikalau membayar uang yang cukup banyak kepada pemerintah, hal ini biasanya hanya bisa dilakukan oleh patron kaya, umumnya pegawai dari kantor pemerintahan.[3] Banyak kisaeng sangat berbakat dalam membuat puisi dan sejumlah sijo yang ditulis kisaeng masih tersisa. Karya mereka sering kali melukiskan rasa sakit hati dan putus cinta, serupa dengan tema puisi yang ditulis para cendekiawan dalam pengasingan[4]. Selain itu, beberapa karya puisi kisaeng yang paling terkenal ditulis untuk meyakinkan para bangsawan untuk menghabiskan malam bersama[5]. Sijo lalu dikenal sebagai karya puisi kisaeng, sementara wanita bangsawan berfokus pada karya gasa.[6] Kisaeng yang dipekerjakan di kantor pemerintahan lokal dikenal sebagai gwan-gi, dengan statusnya dibedakan sekali dari budak lain yang juga dipekerjakan di istana. Mereka terdata secara terpisah pada data sensus. Kisaeng juga dianggap berkedudukan lebih tinggi dari budak walau sebenarnya mereka semua masuk ke kelas cheonmin[7]. Karena itu, kadang-kadang dikatakan "memiliki tubuh di kelas bawah namun berpikir layaknya bangsawan."[1] KarierKarier sebagian besar kisaeng sangat pendek, rata mencapai puncak pada usia 16 atau 17, dan sedikit yang diatas 22 tahun. Hanya sedikit kisaeng yang dapat berkarier lebih lama dari umur tersebut. Untuk itulah kisaeng mendapat pelatihan minimal sejak usia 8 tahun. Semua kisaeng, bahkan yang tidak bekerja sebagai penghibur diwajibkan oleh undang-undang untuk pensiun pada usia 50. Prospek yang paling baik agar kisaeng dapat bertahan lama dalam kariernya adalah dengan menjadi istri seorang pejabat tinggi pemerintahan. Namun untuk itu, mereka harus dibebaskan dulu dari kelas mereka, dimana hanya sedikit sekali pejabat atau pegawai di Joseon yang mampu mengeluarkan uang yang cukup banyak. Setelah kariernya meredup, para kisaeng kebanyakan akan bekerja di kedai minuman. Di periode akhir Joseon, dibentuklah sistem 3 tingkatan. Tingkat tertinggi dimiliki oleh haengsu, yang menyanyi dan menari di pesta-pesta warga kelas atas. Kisaeng haengsu tidak diizinkan untuk menghibur sampai mereka berusia 30 tahun. Namun mereka juga dapat bekerja di bidang lain seperti membuat pakaian dan meracik obat-obatan sampai mencapai usia 50 tahun. Haengsu umumnya bekerja di istana dan disebut seonsang. Mereka juga bertanggung jawab atas pelatihan kisaeng-kisaeng baru di tiap distrik. Kisaeng tingkat paling bawah adalah samsu. Samsu dilarang menampilkan tarian dan menyanyikan lagu karya haengsu. Sistem ini seperti layaknya pembagian kelas masyarakat Dinasti Joseon, runtuh di akhir abad ke-19. Selama masa kariernya, beberapa kisaeng mampu memperoleh kekayaan yang cukup besar. Namun mereka harus membiayai sendiri pangan, pakaian dan kosmetiknya. Menjadi seorang kisaengWanita dapat menjadi kisaeng dengan berbagai cara, sebagian besar adalah putri dari kisaeng yang mewarisi status ibunya. Yang lain dijual ke gijeok oleh keluarga miskin yang tidak mampu memelihara anak-anaknya. Mereka inipun berasal dari kelas cheonmin (budak), tetapi kadang-kadang ada pula keluarga miskin dengan status lebih tinggi menjual anak mereka dengan cara ini. Pada beberapa kasus, bahkan wanita kelas bangsawan (yangban) akan dijadikan kisaeng karena melanggar norma sopan-santun. Pemerintah ikut andil dalam memajukan pendidikan dan kebudayaan, yang diawali dengan pengesahan gyobang, institusi pelatihan atau padepokan istana yang mencurahkan pelatihan musik dan tari untuk kisaeng-kisaeng baru (gwonbeon). Sistem ini berkembang pesat di periode akhir Joseon. Kota Pyongyang terkenal akan sekolah-sekolah musik dan tari yang paling berkualitas dimana sampai masa penjajahan Jepang masih terdapat beberapa yang berlanjut beroperasi. Kehidupan sehari-hariSebagai budak pemerintah, kehidupan para kisaeng sangat diatur sedemikian rupa. Mereka dipantau oleh petugas yang melakukan penguasaan dan perlindungan terhadap mereka, yang dinamakan hojang. Hojang memantau registrasi, memastikan agar kisaeng tidak melarikan diri. Kisaeng pun harus terlebih dahulu memberitahukan hojang apabila ada permintaan menghibur dari bangsawan. Kisaeng diharuskan mengikuti inspeksi 2 kali sebulan dan mendampingi petinggi yang mengunjungi distrik mereka. Mereka juga harus melaporkan aktivitas pengajaran musik dan tari. Pimpinan tertinggi kisaeng di tiap gyobang dipegang oleh kisaeng haengsu. Saat ada masalah yang terjadi antara seorang kisaeng dengan tamu, atau saat seorang kisaeng dituduh melakukan tindak kejahatan, kisaeng haengsu biasanya menjadi penengah guna menyelesaikan masalah. Selain itu, sebagian besar kisaeng memiliki gibu atau "suami kisaeng", yang menyediakan perlindungan dan dukungan ekonomi, seperti membelikan mereka kebutuhan sehari-hari. Gibu umumnya adalah bekas prajurit perang atau abdi istana. Gibu semakin banyak muncul di akhir periode Joseon. Permukiman kisaeng di akhir periode Joseon biasanya terletak di pusat kota, pasar, atau tempat-tempat dengan pemandangan indah yang dilengkapi taman dan kolam. Peran dalam politik dan diplomasiKisaeng memainkan peran penting dalam politik Joseon. Mereka dipekerjakan untuk menghibur para tamu dari negeri tetangga, serta menemani mereka jika sedang berkeliling negeri. Karena sering kali memiliki tempat usaha atau permukiman di kota, kisaeng termasuk di antara orang-orang yang paling tahu tentang informasi dan kejadian penting. Oleh karena itu, mereka sering kali menjadi sumber kunci informasi. Contohnya melalui informasi yang dikumpulkan para kisaeng, tentara pemberontak Hong Gyeong-rae dengan mudah dapat merebut benteng Jeongju pada abad ke-19. Saat banyak kota di Korea direbut Jepang pada saat Invasi Jepang pada abad ke-16, kisaeng berperan penting mengumpulkan informasi dan menghibur jenderal perang. Salah seorang kisaeng yang bernama Non-gae diingat akan keberaniannya membunuh beberapa pemimpin invasi Jepang. Pada awal abad ke-20, beberapa kisaeng berpartisipasi dalam Pergerakan Kemeredekaan Korea sebagai pejuang kemerdekaan. Seorang kisaeng asal Daegu, Aengmu, dikenal sebagai penyumbang utama untuk Pergerakan Pelunasan Hutang Nasional di awal abad ke-20. Sekitar 50 orang kisaeng asal Jinju turut berperan serta dalam demonstrasi Pergerakan 1 Maret tahun 1919. SejarahTidak diketahui dengan jelas awal mula sejarah kisaeng. Jarang sekali buku-buku sejarah kuno yang menuliskan penjelasan panjang mengenai kisaeng. Catatan yang menyinggung tentang kisaeng dapat ditemukan di kitab Goryeo-sa dan Joseon Wangjo Sillok serta cerita-cerita rakyat yang diturunkan dari mulut ke mulut sejak zaman Dinasti Joseon. Beberapa teori yang mengusut asal usul kisaeng dikemukakan oleh Dasan dan Yi-ik, sejarawan asal zaman Joseon. Kemungkinan Kisaeng berawal dari zaman Silla saat sekelompok wanita berbakat direkrut menjadi wonhwa (prajurit) untuk berperang.[8] [9] Ada pula teori kedua yang menyebutkan bahwa kisaeng berawal dari awal zaman Dinasti Goryeo saat banyak sisa-sisa orang dari Baekje yang telantar di seluruh negeri. Tidak jelas apakah cara hidup nomaden masih dipraktikkan oleh kelompok masyarakat Baekje atau karena kondisi negeri yang belum stabil. Taejo, raja pertama Goryeo menjadikan kelompok orang ini sebagai budak pemerintah karena dikhawatirkan akan mengganggu keamanan negara. Walau tak tersisa bukti-bukti yang cukup akurat, kemungkinan para kisaeng muncul dari kelas budak ini. Kisaeng modernSangat sedikit rumah-rumah atau padepokan kisaeng tradisional yang beroperasi di Korea, karena pelaku tradisi serta tari-tari sudah terlupakan selamanya. Beberapa perusahaan atau perkumpulan bisnis di Korea Selatan kadang-kadang mengundang para rekan bisnis asing ke rumah kisaeng, tetapi tempat yang dimaksud bukanlah seperti pada zaman dahulu, tetapi dengan interpretasi yang lebih modern. Kisaeng yang terkenal
Catatan
Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|