Keruing bunga
Keruing bunga (Dipterocarpus hasseltii) atau palahlar adalah sejenis pohon yang termasuk suku Dipterocarpaceae (meranti-merantian). Menyebar luas di Semenanjung Malaya dan Indonesia bagian barat, nama-nama daerah pohon ini, di antaranya adalah palahlar (Sd.); plalar, klalar, jempinang (Jw.); pala (Bl.); lagan (Aceh, Sumsel); keruing tempudau (Klm.).[5][6][7] Jenis keruing ini menghasilkan kayu komersial yang cukup penting, dan juga resin atau minyak keruing.[6][7] PengenalanPohon yang besar dan tinggi; hingga setinggi 45 m dan gemang batangnya hingga 150 cm garis tengahnya di bagian bawah; mengecil ke sebelah atas. Acap kali dengan akar papan (banir) yang memipih. Pepagan hijau abu-abu, tipis di bagian luar; pepagan bagian dalam kemerah-jambuan hingga cokelat-merah.[7] Pepagan luar bersisik tidak teratur.[8] Kayu gubalnya berwarna kuning kecokelatan (oker atau hartal), dan kayu terasnya cokelat merah.[7] Ranting-ranting sedikit menggepeng, lk. 4 × 2 mm di dekat ujungnya, hitam. Kuncup 20 × 5 mm, melanset dan melengkung ke ujungnya, hitam jika mengering. Daun penumpu merah jambu, lanset memanjang seperti pita, lk. 12 × 1 cm, di pucuknya agak melancip, meninggalkan lampang serupa cincin atau takik yang menggembung pada ranting.[9] Daun-daun besar dan lebar, agak tebal dan kaku menjangat; dengan tangkai daun yang ramping sepanjang 2,5-4 cm, menggembung di pangkal helaian. Helaian daun bentuk jorong, 9-16 × 5-10 cm; lembarannya seperti terlipat-lipat menggelombang, beralur-alur pada tulang-tulang daun sekundernya; tepinya beringgit menggelombang; pangkalnya membaji; ujung penetesnya hingga 1 cm panjangnya. Tulang daun sekundernya 11-14 pasang, ramping, hampir lurus-lurus saja, mengarah miring ke depan, menonjol di sisi bawah helaian.[9][10] Perbungaan berbentuk tandan sepanjang lk. 10 cm, terletak di ketiak daun, berisi 4 kuntum bunga atau lebih. Bunga-bunga berukuran besar. Kelopak menyatu di pangkalnya membentuk tabung kelopak, yang kelak membungkus buah; taju kelopak 5 buah, berimpitan seperti genting, yang 3 kecil rudimenter dan yang 2 tumbuh besar memanjang menjadi "sayap" berurat 3. Taju mahkota 5, besar, sempit memanjang, saling menutup di satu sisi ketika kuncup, krem dengan garis kemerahan. Benang sari 30 helai, lebih pendek dari tangkai putik ketika mekar.[9] Buah samara besar, bertangkai lk. 2-3 mm; tabung kelopak bentuk bola berisi buah, bergaris tengah lk 3 cm, dengan sepasang "sayap" (yakni taju kelopak yang membesar dan memanjang) masing-masing berukuran hingga 22 × 3 cm, berwarna kemerahan.[9] Agihan dan ekologiKeruing bunga menyebar luas mulai dari Semenanjung Malaya (termasuk pula di wilayah Thailand), Sumatra, Jawa, Bali, Pulau Kalimantan (Kalsel, Kaltim, dan Sabah bagian tenggara) serta Filipina (termasuk pula di Palawan).[7][9] Pohon ini kerap didapati tumbuh di tanah merah yang subur dengan drainase baik tetapi lembab, di lembah atau lereng bukit, kadang-kadang juga di atas tanah berkapur, pada hutan dipterokarpa dataran rendah hingga ketinggian 600 m dpl. Kadang-kadang pohon ini ditemukan mengumpul dalam jumlah besar.[7][9] Catatan lama menyebutkan bahwa jenis ini dulu banyak didapati di sekitar Bukit Kapur Ciampea di Bogor,[6] akan tetapi kini tidak ditemukan lagi.[11] Yang masih bertahan adalah populasi yang berada di kawasan wisata hutan Sangeh di Bali, yakni pohon-pohon pala yang secara salah kaprah diidentifikasi sebagai Dipterocarpus retusus (syn. Dipt. trinervis).[9] ManfaatKeruing bunga menghasilkan kayu komersial yang cukup penting, yang dikenal sebagai kayu keruing. Kayu ini merupakan kayu dengan berat jenis sedang hingga berat (densitas kayu antara 500-980 kg/m³ pada kadar air 15%).[7] Termasuk ke dalam kelas keawetan II dan kelas kekuatan II, kayu keruing bunga sering digunakan sebagai bahan konstruksi, lantai dan juga bantalan rel.[10] Pohon ini juga menghasilkan resin atau minyak yang disebut damar keruing, minyak keruing, atau minyak lagan.[6] Keduanya digunakan untuk bahan pernis atau untuk penerangan, dan damar keruing juga digunakan untuk mendempul perahu.[7] EtimologiDipterocarpus (dari bahasa Gerika: di, dua; pteron, sayap; karpos, buah) bermakna "buah yang bersayap dua".[12] Dan nama spesiesnya, hasseltii, diambil, sebagai penghargaan, dari nama seorang botanis dan perintis-peneliti di Hindia Belanda, yakni J.C. van Hasselt (1797-1823).[12] Adapun nama lokalnya, palahlar (dari bahasa Jawa Kuno: pala atau phala, buah; dan helar, elar, atau lar, sayap)[13] berarti "buah yang bersayap". Catatan kaki
|