Kelaparan di Irlandia

The Legacy of the Great Famine in Irland atau Kelaparan di Irlandia (An Gorta Mór dalam bahasa Irlandia) adalah peristiwa sejarah Irlandia yang dikenal juga sebagai Irish Potato Famine. Peristiwa ini terjadi antara 1845-1852 karena kegagalan panen kentang yang meluas akibat infeksi jamur Phytophthora infestans . Kentang adalah bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Irlandia,[1] terutama bagi kelas pekerja dan petani kecil. Tragedi ini menyebabkan pengurangan penduduk 20-25% akibat kematian dan emigrasi[2] yang berdampak signifikan pada demografi, ekonomi, dan sosial masyarakat Irlandia.[3]

Latar belakang

Sebelum kelaparan, Irlandia adalah negara dengan populasi yang terus meningkat. Pada awal abad ke-19, penduduknya mencapai sekitar delapan juta jiwa. Namun, struktur sosial dan ekonomi negara ini sangat rentan. Pada tahun 1801, Irlandia berada dalam kendali Inggris. Sebagian besar tanah pertanian dimiliki oleh tuan tanah Inggris yang menyewakan lahan kepada petani kecil dengan biaya tinggi. Sebagai akibatnya, banyak keluarga bergantung sepenuhnya pada kentang sebagai sumber mata pencaharian dan makanan pokok, praktis, murah, dan menguntungkan.

Kentang kemudian menjadi komoditas yang mudah ditanam dan dipanen sekaligus menjadi sumber karbohidrat dan kalori yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat. Tanaman ini pun tahan lama dan mudah disimpan sehingga mampu menjadi persediaan makanan selama musim dingin dan periode paceklik.

Kemunculan wabah

Pada tahun 1845, jamur Phytophthora infestans pertama kali menyerang ladang kentang di Eropa. Pertama kali muncul di Courtrai, sebuah wilayah perbatasan antara Prancis dan Belgia. Selanjutnya di Belanda, Prancis bagian Utara, lalu Inggris bagian selatan hingga bulan September, melalui Denmark, Wales, Skotlandia, dan tiba di Irlandia. Cirinya dapat dilihat dari daun yang menghitam, lalu menyebar ke umbi hingga akhirnya busuk dengan warna kentang menjadi hitam dan mengeluarkan bau burusk[1]. Wabah ini sangat mudah menyebar saat cuaca hangat dan lembab, terutama saat hujan turun. Sebagian besar panen kentang gagal total pada tahun 1846 dan situasi memburuk ketika infeksi terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya. Kondisi masyarakat yang sangat bergantung pada kentang menyebabkan wabah di Irlandia semakin parah memperburuk keadaan masyarakat Irlandia dibanding di tempat lain.

Dampak

Peristiwa ini menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Irlandia karena menyebabkan beberapa hal berikut;[2]

Kematian Massal

Kelaparan ini menyebabkan kelaparan akut di seluruh negeri. Penyakit seperti tifus, kolera, dan disentri menyebar dengan cepat di kalangan populasi yang kekurangan gizi. Diperkirakan satu juta orang meninggal akibat kombinasi kelaparan dan penyakit.

Emigrasi Besar-Besaran

Akibat kelaparan, sekitar dua juta orang meninggalkan Irlandia dalam kurun waktu 10 tahun, sebagian besar menuju Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Perjalanan melintasi Atlantik sering kali dilakukan di kapal yang penuh sesak dan tidak higienis, yang dijuluki "kapal peti mati" (coffin ships) karena tingginya angka kematian penumpang.

Perubahan Sosial dan Ekonomi

Dampak Kelaparan Besar Irlandia terhadap penduduk Irlandia masih terasa hingga saat ini, baik secara demografis maupun sosial. Bencana yang terjadi antara tahun 1845 dan 1852 ini mengakibatkan kematian sekitar 1 juta orang dan emigrasi 2 juta lainnya. Populasi Irlandia yang sebelumnya sekitar 8,4 juta berkurang drastis menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 1851[2]. Pola migrasi yang intensif selama periode tersebut membentuk diaspora Irlandia yang signifikan, terutama ke Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, yang pada akhirnya memperkuat budaya Irlandia di luar negeri.

Hingga hari ini, populasi Irlandia belum sepenuhnya pulih ke angka sebelum kelaparan. Trauma historis ini juga meninggalkan jejak mendalam dalam hubungan sosial dan politik antara Irlandia dan Inggris. Secara budaya, tragedi ini dikenang melalui monumen, sastra, dan seni, seperti patung Famine Memorial di Dublin yang memperingati korban bencana ini. Bahkan dalam wacana modern, isu ketahanan pangan dan hak atas tanah sering dikaitkan dengan sejarah kelaparan ini, menjadikannya pelajaran penting tentang dampak kebijakan agraria dan ekonomi yang buruk.

Hubungan dengan Inggris

Respon pemerintah Inggris terhadap kelaparan sering kali dianggap tidak memadai. Meski ada beberapa bantuan, seperti rumah kerja dan dapur umum, kebijakan laissez-faire dan penekanan pada ekspor pangan dari Irlandia ke Inggris selama periode tersebut memicu kemarahan. Banyak orang Irlandia merasa bahwa kelaparan ini diperburuk oleh kelalaian dan eksploitasi pemerintah kolonial.

Perbandingan dengan bencana kelaparan lainnya di dunia

Peristiwa sejarah kelaparan di dunia lainnya, seperti Kelaparan Hebei di Tiongkok (1959-1961) dan Kelaparan Benggala (1943). Penyebab langsung dari tiap peristitwa tersebut berbeda-beda. Di Irlandia, kelaparang besar terjadi karena hama kentang, sementara yang lain oleh kesalahan kebijakan atau perang. Meskipun demikian, kesamaan utama dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah keterlibatan politik dan kurangnya respon yang memadai dari pemerintah. Di Irlandia, tindakan pemerintah Inggris yang tidak efektif memperparah krisis, serupa dengan kelaparan Tiongkok yang dipicu oleh kebijakan "Lompatan Jauh ke Depan." Begitu juga, kelaparan di Benggala sebagian besar disebabkan oleh pengalihan sumber daya Inggris selama Perang Dunia II.

Semua tragedi tersebut memberi dampak signifikan, baik secara ekonomi maupun sosial. Kelaparan Besar Irlandia menyebabkan penurunan populasi hingga 25%, sementara Benggala kehilangan sekitar 2-3 juta jiwa. Kelaparan ini menyoroti pentingnya tanggapan pemerintah yang cepat dan efektif dalam mengurangi penderitaan masyarakat yang terdampak.

Referensi

  1. ^ a b Zaenal, Ali (2024-06-07). "Kala Kelaparan Hebat Melanda Irlandia Akibat Penyakit Kentang". tirto.id. Diakses tanggal 2024-11-27. 
  2. ^ a b c Kinealy, Christine (1994). This Great Calamity. ISBN 0-7171-4011-3. 
  3. ^ Woodham-Smith, Cecil (1991). The Great Hunger. Penguin Group.