Kekebalan diplomatik (Diplomatic immunity) adalah jenis kekebalan hukum yang memastikan bahwa seorang diplomat dapat bertugas dengan aman dan tidak dapat dituntut atau ditangkap oleh aparat negara di tempat ia bertugas. Dalam hubungan internasional, kekebalan diplomatik dikenal sebagai salah satu strategi tertua dan paling luas. Didukung dengan riwayat sejarah, sebagian besar peradaban kuno telah memberikan perlakuan khusus terhadap utusan dan utusan asing pada tingkatan tertentu.[1] Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan hubungan antar negara dengan menjamin keamanan perwakilan di masing-masing negara meskipun di tengah konflik bersenjata. Kekebalan diplomatik modern telah dikodifikasi sebagai hukum internasional di dalam Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara, walaupun konsep dan kebiasaan yang memberikan kekebalan diplomatik sudah ada selama ribuan tahun. Banyak asas kekebalan diplomatik yang kini dianggap sebagai kebiasaan internasional. Kekebalan diplomatik memungkinkan pembentukan hubungan antar pemerintahan, termasuk pada masa-masa sulit seperti perang.
Sebagaimana yang termuat dalam Protocol II Pedoman Tertib Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, istilah kekebalan mengandung dua pengertian. Yakni kekebalan dan tidak dapat diganggu gugat. Artinya, diplomat kebal terhadap alat-alat kekuasaan negara untuk mencegah segala bentuk gangguan yang berpotensi merugikan. Diplomat berhak mendapat proteksi dari alat-alat negara, serta penuntutan, penyitaan, pengadilan, dan penahanan oleh negara pemerimanya. Di samping itu, kekebalan juga mencakup kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima[2].
Apabila suatu negara ingin menangkap seorang diplomat yang dianggap telah melakukan kejahatan serius, mereka dapat meminta negara asal diplomat tersebut untuk mencabut kekebalan mereka. Contohnya, pada tahun 2002, seorang diplomat Kolombia di London didakwa melakukan pembunuhan tidak berencana setelah kekebalan diplomatiknya dicabut oleh pemerintah Kolombia.[3][4] Alternatif lain adalah dengan mengadili orang tersebut di negara asalnya.
Apabila suatu negara tidak menginginkan kehadiran seorang diplomat, maka diplomat tersebut dapat dinyatakan sebagai persona non grata atau orang yang tidak diinginkan. Pasal 9 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik menyatakan bahwa negara penerima dapat menyatakan status persona non grata kapan saja tanpa harus menjelaskan alasan keputusannya.[5]
Sejarah
Sejak zaman dahulu, seorang utusan kerajaan atau Diplomat dilindungi oleh berbagai keistimewaan dan hak selama penugasanya, terutama hak perlindungan dan keamanan, melecehkan atau bahkan membunuh mereka bisa memicu pecahnya perang seperti penaklukan Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol yang dipimpin oleh Genghis Khan. Pada Abad ke-13, Genghis Khan pernah mengirim kafilah ke Kekaisaran Khwarezmia untuk membangun hubungan perdagangan dengan damai. Sesampainya di Khwarezmia, kafilah tersebut justru ditangkap dan semua orang di kafilah tersebut di eksekusi karena dianggap sebagai mata-mata, dan semua barang bawaanya dijual oleh Kekaisaran Khwarezmia. Mengetahui hal ini, Genghis Khan kemudian mengirim tiga diplomat untuk menghadap kepada kaisar dan bernegosiasi agar kafilahnya dibebaskan dan menuntut keadilan atas pembunuhan kafilahnya yang tidak bersalah, namun Kaisar Khwarezmia Ala ad-Din Muhammad II justru membotaki dan mengeksekusi ketiga diplomat tersebut dan mengirim kepalanya ke Genghis Khan sebagai tanda kehinaan, karena Genghis Khan sangat menghormati dan menganggap para diplomatnya adalah utusan suci, ia langsung memerintahkan pasukanya untuk menyerbu, menginvasi dan menghancurkan Kekaisaran Khwarezmia setelah tiga diplomatnya dianiaya.[6] Invasi Kekaisaran Khwarezmia oleh bangsa Mongol tersebut dinyatakan sebagai salah satu pembantaian dan perang paling sadis dalam sejarah kemanusiaan.
Mencegah kejadian-kejadian historis seperti itu terjadi kembali, maka dibuatlah status Kekebalan diplomatik pada Konverensi Wina tahun 1961 sebagai Hukum internasional untuk melindungi para diplomat yang bertugas yang disetujui oleh mayoritas negara di dunia, termasuk Indonesia.[7]