Kasus SMP Negeri 56 Melawai adalah permasalahan penggunaan lahan yang pernah menimpa SMP Negeri 56 Jakarta pada tahun 2000-an. Sekolah tersebut didirikan pada tahun 1966 dan semula berada di Jalan Melawai Raya, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Namun karena adanya tukar guling lahan, sekolah ini harus pindah ke tempat lain walau beberapa pihak sempat menentangnya.
Permasalahan tukar guling
Lokasi tempat berdirinya SMPN 56 di Melawai adalah lokasi yang strategis. Hal tersebut membuat lahan sekolah ini sering menjadi incaran para pengusaha, tetapi sebelumnya berkali-kali gagal karena selalu ditentang oleh para guru, BP3, dan dewan guru.[1] Permasalahan muncul ketika pada bulan Desember 2000, Departemen Pendidikan Nasional dan PT Tata Disantara, anak perusahaan Abdul Latief Corporation milik Abdul Latief, mantan menteri dalam Kabinet Pembangunan VI dan VII, menandatangani perjanjian tukar guling (ruilslag). Dengan kesepakatan ini, gedung dan lahan SMP Negeri 56 Melawai ditukar dengan lahan di Jalan Jeruk Purut, Cilandak, Jakarta Selatan dan Bintaro. Sementara pemerintah DKI Jakarta kemudian mendirikan bangunan sekolah pengganti di Jeruk Purut dalam lahan seluas 7865 meter persegi dan siap digunakan pada tahun 2001[2] dan menjamin biaya para siswa di sekolahnya yang baru sampai lulus.[3]
Akan tetapi, perjanjian tukar guling tersebut dituding para guru dan orang tua murid berbau korupsi karena lahan di Melawai tersebut hanya dihargai Rp5 juta per meter persegi, padahal nilai jual objek pajak tahun 2000 sudah mencapai Rp9,5 juta per meter persegi.[4] Oleh karena itu, maka para orang tua murid, guru, dan lembaga advokasi pendidikan mengajukan gugatan pembatalan tukar guling itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan tersebut ditolak, namun pada Desember 2003, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan surat yang menyatakan kasus SMPN 56 Melawai dalam keadaan status quo. Atas hasil itu, penggugat kemudian melakukan banding.
Pemindahan sekolah
Sementara proses hukum masih berjalan, guru dan siswa terus ditekan dengan berbagai ancaman seperti pemecatan guru dan penghentian gaji.[4] Akibat ancaman-ancaman itu, satu per satu guru dan murid pindah ke sekolah pengganti di Jeruk Purut atau SMPN 13 Tirtayasa yang lokasinya berdekatan dengan sekolah yang lama. Satu-satunya guru pegawai negeri sipil yang berupaya bertahan adalah Siti Nurlaila, seorang guru yang mengajar PPKn. Ia tetap menyelenggarakan proses pendidikan di Melawai dengan dibantu beberapa guru dan sukarelawan. Kejadian tersebut membuat banyak anggota masyarakat bersimpati dan turut dalam unjuk rasa memprotes keadaan itu, termasuk Titi Qadarsih, artis yang merupakan alumni dari sekolah tersebut. Mereka menuntut pembatalan tukar guling tersebut.[5]
Pada tanggal 18 April 2004, petugas ketenteraman dan ketertiban menyegel sekolah ini.[6] Namun, proses belajar mengajar tetap dilakukan walau dilakukan di tempat parkir pertokoan Melawai. Gedung sekolah baru bisa dimasuki kembali pada tanggal 22 April 2004, setelah gerbang SMPN 56 dibuka paksa dengan bantuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan kelompok Banteng Muda Indonesia (BMI).[7] Baru pada tanggal 17 November 2004, bertepatan dengan Hari Lebaran, bangunan SMPN 56 di Melawai benar-benar dikosongkan dari berbagai perlengkapan sekolah secara resmi oleh para petugas ketertiban[3] sehingga tidak bisa lagi untuk dijadikan tempat belajar mengajar.
Kasus hukum
Sementara itu, guru Nurlaila bersama Ketua Komisi Sekolah Jonni Rimon Elian dikenai tiga dakwaan yang disusun secara kumulatif. Pada dakwaan pertama, mereka didakwa menyelenggarakan satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 71 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada dakwaan kedua, mereka didakwa bersama-sama memasuki perkarangan tertutup secara melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 167 ayat (1) jo. Pasal 55 KUHP. Terakhir, mereka juga didakwa bersama-sama membuat surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) jo. Pasal 55 KUHP. Namun pada tanggal 28 Maret 2006, majelis hakim PN Jakarta Selatan (Jaksel) menjatuhkan putusan sela yang mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh tim penasihat hukum terdakwa yang berasal dari Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM Indonesia (APHI) dan menyatakan surat dakwaan JPU secara keseluruhan batal demi hukum.[8] Nurlaila bahkan kemudian menerima penghargaan dari Gerakan Tiga Pilar Kemitraan pada tanggal 1 Februari 2007 karena dianggap memiliki tekad dan semangat tinggi dalam melawan sistem yang korup yang berniat menggusur sekolahnya di kawasan perniagaan Blok M Jakarta untuk kepentingan bisnis.[9] Namun sampai tahun 2014, Nurlaila belum mendapatkan kembali haknya berupa status sebagai guru Pegawai Negeri Sipil, walaupun ia sudah mencoba mengadukannya kepada Gubernur DKI saat ini, Basuki Tjahaja Purnama.[10] Demikian juga kasus korupsi yang coba ia bongkar seret di tingkat Mahkamah Agung.[10]
Dalam kasus hukum lain, Direktur Utama PT Tata Disantara Usman Ismail pada tanggal 2 Januari 2005 dijadikan tersangka korupsi dalam proses tukar guling tanah dan bangunan SMPN 56 Melawai. Penyimpangan yang dilakukannya antara lain tidak ditemukannya izin prinsip dari presiden. Padahal, untuk proses tukar guling dengan harga tanah lebih dari Rp 10 miliar, seharusnya ada izin prinsip dari presiden.[11]
Keadaan gedung selanjutnya
Bangunan bekas gedung SMPN 56 tersebut sampai awal tahun 2008 belum digunakan. Bahkan bangunan tersebut sempat roboh saat direnovasi hingga menimpa dua pengamen yang beristirahat di dalamnya.[12]
Referensi