Karmaka Surjaudaja (29 April 1934 – 17 Februari 2020) adalah seorang pengusaha Indonesia dan dikenal sebagai pendiri Bank NISP (kini Bank OCBC NISP).[1]
Kehidupan awal
Karmaka lahir pada 29 April 1934 di Fujian, Tiongkok dengan nama lahirnya Kwee Tjie Hoei. Pada usia 10 bulan, Karmaka dibawa oleh ibunya berlayar dari daratan Tiongkok menuju Majalaya, Jawa Barat. Sesampainya di pelabuhan Sunda Kelapa Batavia, mereka sempat tertahan berhari-hari karena sang bayi menderita demam dan diare, penyakit yang dianggap berbahaya oleh penguasa kolonial saat itu. Jika bayi sampai meninggal, maka harus dibuang ke laut. Tapi ayah dan kawan-kawannya berhasil mengumpulkan uang sebesar 500 gulden sebagai uang jaminan untuk menurunkan istri dan anaknya dari kapal. Dengan uang jaminan sebesar itu, akhirnya penguasa Belanda pun mengizinkan mereka keluar kapal. Ayah Karmaka pun segera memboyong istri dan anaknya ke Bandung.[2]
Karmaka lahir dari ayah bernama Kwee Tjie Tjoen yang sudah lebih dulu tinggal di Bandung dan menjadi kepala sekolah di sebuah sekolah Tionghoa. Ayahnya menjadi kepala sekolah selama lima tahun dan kemudian menjadi kepala pabrik tekstil. Dengan penghasilan yang cukup besar, ayahnya mampu menghidupi istrinya, Karmaka, dan kemudian adik Karmaka. Karmaka memulai bangku sekolah di kelas tiga SD, setelah sebelumnya diajar secara homeschooling oleh ibunya yang juga seorang guru ketika masih di daratan Tiongkok.[3]
Baru dua tahun bersekolah, Belanda menyerang pasukan Jepang dan para gerilyawan di kota Bandung. Mereka menjebol pintu air Cikapundung yang menyebabkan rumah keluarga Karmaka terendam air. Karmaka dan keluarganya harus bertahan selama 3 hari dan 3 malam melawan lapar dan haus. Akhirnya mereka mengungsi ke sebuah restoran masakan Cina dan tinggal di gudang di bawah restoran tersebut. Mereka mendapat makan dari sisa makanan para pengunjung restoran. Selain membantu memasak dan mencuci piring, ibu Karmaka membuat kue yang kemudian dijajakan oleh Karmaka dan adiknya di Jalan Braga dan ke rumah-rumah warga di sekitar tempat mereka tinggal. Dengan usaha keras kedua orang tuanya, Karmaka dan adiknya bisa bersekolah. Adiknya bahkan sempat kuliah dan lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia namun tidak sempat diwisuda akibat meninggal dalam sebuah insiden kecelakaan lalu lintas.[2]
Selain adik yang meninggal, Karmaka mempunyai masih memiliki delapan adik lain sehingga sebagai anak tertua Karmaka harus bekerja untuk menghidupi mereka. Takdir membawanya menjadi guru les dan karyawan pabrik tekstil. Siang kerja di pabrik, malam memberi les. Di pabrik tekstil inilah Karmaka memperlihatkan bakatnya sebagai usahawan. Ia mampu melihat di mana ketidakberesan pabriknya, bagaimana membereskannya, dan akhirnya meningkatkan keuntungan.[2][4][5][6][7]
Referensi