Karapan sapi (Madura: Kerrabhân sapè) merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di eks Kota Karesidenan, Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.
Pada bulan November tahun 2013, penyelenggaraan Piala Presiden berganti nama menjadi Piala Gubernur.[1]
Sejarah
Awal mula kerapan sapi dilatarbelakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah atau ladang.
Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syekh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur) yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu yang dikenal dengan masyarakat Madura dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik dengan dua ekor sapi. Maksud awal diadakannya Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah. Orang Madura memelihara sapi dan menggarapnya di sawah-sawah mereka sesegera mungkin. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi segera menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Karapan Sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen. hi
Dulu dan Sekarang
Adapun perbedaan yang sangat mencolok karapan sapi tempo dulu dengan saat ini sebagai berikut :
Karapan Sapi tempo dulu
terdapat ubo rampe dan ritual sebelum pelaksanaan unuk memohon keselamatan diiringi musik saronen
menggunakan sapi-sapi dengan badan berukuran besar
Tiap sapi dihias semeriah mungkin, Keleles dengan ukiran kayu yang indah, bendera umbul-umbul, hingga payung
Tiap kelompok karapan sapi dijaga oleh seorang Penjagheh yang bertugas menjaga keselamatan sapi supaya terhindar dari kecurangan dari peserta lain, Biasanya Penjaghe didatangkan dari Ponorogo yang merupakan seorang Warok yang terkenal ahli dalam bertarung. Penjagheh dari Ponorogo kerap berdiri dan menari-nari diatas gawangan kaleles karapan sapi yang menunjukan barang siapa saja yang mengganggu sapi yang dijaganya akan berurusan dengannya. Dipilihnya seorang Penjagheh dari Ponorogo bukan tanpa alasan, selain menekan angka kecurangan juga menghindari terjadinya balas dendam peserta lain apabila penjagheh itu adalah orang Madura sendiri.
Karapan Sapi Sekarang
Tidak ada Ubo rampe maupun ritual, hanya bacaan doa saja
Menggunakan sapi-sapi berukuran kecil
Keleles Kaerapan minimalis, tidak ada hisan yang meriah
Penjaghe oleh orang Madura sendiri
Pelaksanaan Karapan Sapi
Pelaksanaan Karapan Sapi dibagi dalam empat babak, yaitu: babak pertama, seluruh sapi diadu kecepatannya dalam dua pasang untuk memisahkan kelompok menang dan kelompok kalah. Pada babak ini semua sapi yang menang maupun yang kalah dapat bertanding lagi sesuai dengan kelompoknya.
Babak kedua atau babak pemilihan kembali, pasangan sapi pada kelompok menang akan dipertandingkan kembali, demikian sama halnya dengan sapi-sapi di kelompok kalah, dan pada babak ini semua pasangan dari kelompok menang dan kalah tidak boleh bertanding kembali kecuali beberapa pasang sapi yang menempati kemenangan urutan teratas di masing-masing kelompok.
Babak ke tiga atau semifinal. Pada babak ini masing-masing sapi yang menang pada masing-masing kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi pemenang dan tiga sapi dari kelompok kalah. Pada babak keempat atau babak final, diadakan untuk menentukan juara I, II, dan III dari kelompok kalah.
Kritik
Karapan sapi dikritik berbagai pihak seperti Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah daerah di Madura karena tradisi kekerasan rekeng yang dilakukan pemilik sapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan haram mengenai tradisi rekeng karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur melalui Instruksi Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng. Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi.[2][3]
Galeri
Kontes sapi Sonok
Karapan sapi Brujul di Probolinggo
Karapan sapi di Piala Presiden Pamekasan
Lihat pula
Pacu jawi — balapan tradisional khas suku Minangkabau di Tanah Datar, Sumatera Barat
Mamajir — balapan tradisional khas suku Kangean di pulau Kangean, Kepulauan Kangean
Maen jaran — balapan tradisional khas suku Sumbawa di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat
Pacu itiak — balapan tradisional khas suku Minangkabau di Payakumbuh, Sumatera Barat