Kabinet Djumhana IIKabinet Djumhana II adalah kabinet ke tiga yang dibentuk oleh Negara Pasundan pada saat NKRI dalam bentuk negara Republik Indonesia Serikat (1949-1950).[1] Kabinet Djumhana II adalah lanjutan dari kabinet Djumhana I yang dibubarkan pada tanggal 31 Januari 1949. Kabinet ini dibentuk oleh Djumhana Wiriaatmadja yang menjabat sebagai Perdana Menteri. Sejarah Kabinet Djumhana IIRepublik Indonesia Serikat (RIS) berlangsung pada tahun 1949-1950, sedangkan Negara Pasundan sendiri yang merupakan negara bagian dari RIS dideklarasikan pada 4 Mei 1947 dan baru diresmikan pada tahun 1948 atau satu tahun setelah pembentukan RIS.[2] Beberapa kabinet dibentuk pada masa berlangsungnya Negara Pasundan. Sebelum Kabinet Djumhana II dibentuk oleh Djumhana Wiriaatmadja. Kabinet pertama yang dibentuk adalah kabinet Adil dengan Adil Puradiredja menjabat sebagai Perdana Menteri. Setelah Kabinet Adil bubar, maka tanggal 28 Desember 1948 Djumhana Wiriaatmadja ditunjuk sebagai formatur kabinet yang baru.[3] Setelah Belanda memaksa pengunduran diri Kabinet Djumhana I pada tanggal 28 Januari 1949. Beberapa cara yang diupayakan oleh Perdana Menteri Djumhana agar tetap bertahan sebagai Perdana Menteri dan bisa meneruskan perjuangan yang pro-Indonesia. Salah satu cara agar tetap bertahan adalah dengan membentuk kabinet baru dan melakukan pembatalan program-program yang telah ditolak secara keras oleh pihak Belanda karena dianggap berpihak pada Indonesia. Akhirnya, Perdana Menteri Djumhana membentuk kabinet baru bernamakan Kabinet Djumhana II. Kabinet Djumhana II diresmikan pada tanggal 31 Januari 1949. Kabinet ini terdiri dari delapan orang menteri yang akan membantu jalannya pemerintahan yang terbagi dalam beberapa bidang. Delapan Menteri yang ada antara lain adalah Menteri Ekonomi, Menteri Kesehatan, Menteri Keuangan, Menteri Transportasi dan Irigasi, Menteri Kehakiman, dsb. Kabinet ini bertujuan untuk mengupayakan untuk membentuk Indonesia yang federal, yang berdaulat dan bebas dalam waktu yang dekat atau sesegera mungkin, dan juga melakukan pembentukan pemerintah sementara. Hal tersebut diupayakan dengan tujuan agar Republik Indonesia akan mengambil peran. Segala bentuk upaya telah dilakukan Djumhana Wiriatmadja beserta dengan anggota kabinet yang lainnya. Namun mengingat pada peristiwa yang telah lalu, ketika Pemerintah Pasundan yang disponsori Belanda tidak pernah menguasai seluruh wilayah yang resmi menjadi negara. Ditambah pada saat pendiriannya, sekitar 25 persen wilayahnya berada di tangan kelompok Islam anti-Belanda, termasuk Darul Islam. Bahkan setelah "aksi polisi" Belanda yang kedua diluncurkan terhadap Republik pada bulan Desember 1948, hanya sepertiga negara yang dikuasai oleh Belanda. Belanda terus menerus melakukan tekanan kepada Kabinet Djumhana II agar tidak terlalu memihak pada Indonesia. Dengan demikian, Kabinet Djumhana II memiliki berbagai persoalan yang harus dihadapi. Tepat pada tanggal 16 Juli 1949 di mana Kabinet Djumhana II masih berjalan selama kurang dari enam bulan, beberapa koalisi partai bersatu dan melakukan sebuah pertemuan. Beberapa partai yang hadir dan turut serta dalam forum ini adalah Partai Persatuan Indonesia (PI), Persatuan Kebangsaan Indonesia, dan juga Partai Rakyat Pasundan bertempatan di Parlemen Pasundan membentuk koalisi bernama Front Nasional. Tujuan dari pembentukan Front Nasional ini adalah melakukan penuntutan terhadap Kabinet Djumhana II agar seluruh kabinet turun dari posisi dan jabatannya atau mengundurkan diri. Selain itu juga menuntut kepada Perdana Menteri untuk membentuk kabinet yang baru dengan melibatkan berbagai pihak. Dua hari setelah dibentuknya Front Nasional, seluruh anggota Kabinet Djumhana II secara resmi melakukan pengunduran diri. Hal tersebut terjadi karena tuntutan yang diajukan oleh Front Nasional. Tepat pada tanggal 18 Juli 1949, Perdana Menteri Djumhana secara resmi terpaksa membubarkan Kabinet Djumhana II. Selanjutnya setelah pembubaran Kabinet Djumhana II inilah berlanjut dengan pembentukan Kabinet Djumhana III. Referensi
|