Takara (宝) adalah seorang putri Jepang yang memerintah dua kali sebagai kaisarina, yakni pada tahun 642-645 dengan nama Kaisarina Kōgyoku (皇極天皇, Kōgyoku-tennō) dan pada tahun 655-651 dengan nama Kaisarina Saimei (斉明天皇, Saimei-tennō), menjadikannya Kaisar Jepang ke-35[1] dan ke-37[2] dalam catatan resmi sejarah Jepang. Dia adalah satu dari delapan wanita yang pernah menjadi Kaisarina Jepang.
Latar belakang
Sebelum naik ke Tahta Krisantemum, nama pribadinya (imina) adalah Takara (宝).[3] Putri Takara adalah cicit dari Kaisar Bidatsu.[4] Dia menikah dengan pamannya, Kaisar Jomei, dan menjadi permaisuri sepanjang pemerintahan suaminya. Saat suami sekaligus pamannya mangkat, Takara naik tahta dengan nama Kaisarina Kōgyoku.
Masa pemerintahan
Meskipun dalam catatan resmi Jepang Kōgyoku menyandang gelar tennō, banyak sejarawan percaya bahwa gelar ini belumlah dikenal sampai masa pemerintahan Kaisar Tenmu dan Kaisarina Jitō. Sangat mungkin gelar yang dipakai saat itu adalah Sumeramikoto atau Amenoshita Shiroshimesu Ōkimi (治天下大王), yang bermakna "ratu agung yang memerintah semua yang di bawah langit." Kalau tidak, Kōgyoku mungkin disapa dengan sebutan (ヤマト大王/大君, Yamatoōkimi/Taikun) atau "Ratu Agung Yamato".
Peristiwa Isshi
Kaisarina Kōgyoku memerintah selama empat tahun setelah menggantikan suami sekaligus pamannya, Kaisar Jomei. Di masa pemerintahannya, keluarga Soga masih menjadi keluarga terkuat di Jepang yang mengendalikan kekaisaran dari balik layar. Namun pada tahun 645, terjadi kejadian yang disebut Peristiwa Isshi (乙巳の変, Isshi no Hen). Peristiwa ini adalah upaya untuk menyingkirkan keluarga Soga dari pemerintahan dengan langkah awalnya adalah melakukan pembunuhan terhadap Soga no Iruka oleh putra Kōgyoku sendiri, Pangeran Naka-no-Ōe.[5] Pembunuhan ini lantaran dugaan keterlibatan Soga no Iruka terhadap kematian Pangeran Yamashiro.
Peristiwa ini terjadi pada upacara istana pada tanggal 10 Juli 645 (kalender Jepang kuno: hari kedua belas bulan keenam). Setelah bekerja sama dengan beberapa penjaga istana, empat orang bersenjata diperintahkan membunuh Iruka. Namun karena keempat orang tersebut terlalu takut untuk melakukan perintah tersebut, Naka-no-Ōe sendiri yang maju dan melukai Iruka. Iruka tidak langsung dibunuh saat itu juga dan dia menyatakan ketidakbersalahannya dan meminta penyelidikan.
Naka-no-Ōe memohon di depan ibunya, sang kaisarina, terkait masalah ini. Namun ketika Kōgyoku tidak meninjau masalah itu, pada akhirnya empat penjaga membunuh Iruka. Ayah Iruka, Soga no Emishi, langsung bunuh diri dengan membakar kediamannya sesaat setelah mengetahui kematian putranya. Peristiwa ini mengakhiri pengaruh keluarga Soga yang telah berurat akar sejak sekitar tahun 530.
Kejadian ini membuat sang kaisarina merasa sangat tertekan. Masyarakat Jepang di Zaman Asuka sangat sensitif terhadap masalah "penodaan", baik secara spiritual maupun pribadi. Kematian, terlebih pembunuhan bengis yang terjadi tepat di dekat kaisar dipandang sebagai tindakan penodaan yang mungkin terburuk. Menanggapi peristiwa ini, Kōgyoku menyatakan turun tahta. Meskipun awalnya Kōgyoku hendak menyerahkan kedudukan kaisar kepada putranya, Naka-no-Ōe, tetapi Nakatomi no Kamatari, orang yang turut serta membantu Pangeran Naka-no-Ōe dalam Peristiwa Isshin, menasihati agar tahta sebaiknya diserahkan kepada kakak tiri dari Naka-no-Ōe (anak tiri Kōgyoku), Pangeran Furuhito-no-Ōe, atau kepada pamannya (sekaligus saudara Kōgyoku), Pangeran Karu.[6] Furuhito-no-Ōe menolak gagasan itu dan kemudian menggundul kepalanya untuk menjadi biksu Buddha. Pada akhirnya, tahta diserahkan kepada Pangeran Karu. Dia naik tahta sebagai Kaisar Kōtoku dan memerintah pada 645-654.[7]
Kaisarina Saimei
Setelah mangkatnya Kaisar Kōtoku, Takara kembali naik tahta, kali ini dengan nama Kaisarina Saimei (斉明天皇, Saimei-tennō). Pangeran Naka-no-Ōe sendiri dinobatkan sebagai putra mahkota.
Pada tahun 660, Kerajaan Baekje di Korea hancur. Sebagai sekutu Baekje, Saimei keluar ibu kota dan memimpin pasukan gabungan Jepang dan Baekje untuk berperang melawan Kerajaan Silla pada tahun 661. Namun rencana itu gagal karena Saimei mangkat di Istana Asakura, Kyushu, sebelum pasukan Jepang diberangkatkan ke semenanjung Korea. Pada bulan Oktober, jenazahnya dibawa dari Pulau Kyushu melalui laut menuju Pelabuhan Naniwa-zu (sekarang Osaka). Upacara pemakaman resminya dilakukan pada awal bulan November. Sepeninggalnya, kepemimpinan Jepang diwariskan kepada putranya, Naka-no-Ōe, yang naik tahta sebagai Kaisar Tenji.
Keluarga
Orang tua
Ayah: Pangeran Chinu
Kakek: Pangeran Oshisako no Hikohito
Kakek buyut: Kaisar Bidatsu (敏達天皇, Bidatsu-tennō, 538 – 14 September 585)
Nenek buyut: Permaisuri Hirohime
Ibu: Putri Kibitsu
Pasangan dan mertua
Kaisar Jomei (舒明天皇, Jomei-tennō, 593 – 17 November 641)
Ayah: Pangeran Oshisaka-no-hikohito-no-Ōe
Kakek: Kaisar Bidatsu (敏達天皇, Bidatsu-tennō, 538 – 14 September 585)
Nenek: Permaisuri Hirohime
Ibu: Putri Nukate
Kakek: Kaisar Bidatsu (敏達天皇, Bidatsu-tennō, 538 – 14 September 585)
Nenek: Unako no Otoshi (Wo-Umako no Iratsume)
Anak
Pangeran Kazuraki (Pangeran Naka-no-Ōe) (葛城皇子, 中大兄皇子) (626–672). Naik tahta sebagai Kaisar Tenji (天智天皇, Tenji-tennō) pada 661.
Pangeran Ōama (大海人皇子) (sekitar 631–686). Naik tahta sebagai Kaisar Tenmu (天武天皇, Tenmu-tennō) pada 673.
Putri Hashihito (間人皇女) (wafat 665). Menikah dengan saudara ibunya, Kaisar Kōtoku (孝徳天皇 Kōtoku-tennō).
Titsingh, Isaac. (1834). Nihon Ōdai Ichiran; ou, Annales des empereurs du Japon. Paris: Royal Asiatic Society, Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. OCLC 5850691