Pestalozzi lahir pada tanggal 12 Januari1746 di Zürich dan meninggal pada tanggal 17 Februari1827 di Brugg. Ayahnya seorang dokter, yang meninggal pada saat Pestalozzi berumur 6 tahun dan sejak itu dia diasuh oleh ibunya.[1] Pada masa kecilnya, Pestalozzi merupakan anak yang tidak begitu tertarik dengan tugas-tugas belajar yang menggunakan metode menghafal di sekolah, tetapi dia lebih berminat dengan tugas-tugas yang menggunakan daya imajinasi. Kelainan sifatnya itu dipengaruhi: (1) selama masa kanak-kanak, keadaan tubuh Pestalozzi lemah sehingga menyebabkan dia sering sakit-sakitan.[1] Hal ini kemudian menyebabkan (2) dia tidak dapat bergaul dan bermain seperti anak laki-laki pada umumnya dan lebih merasa aman dalam hubungan dengan ibunya.[1] (3) Di samping itu, fakta bahwa tidak adanya tokoh laki-laki yang mengambil peran dalam keluarga Pestalozzi, membuat dirinya hidup dalam dunia khayalan.[1] Alhasil, Pestalozzi tampak memiliki kelainan sifat yang berbeda dengan teman-teman sebayanya, sehingga akhirnya dia dijuluki HeinrichBodoh dari Kota Aneh.[1]
“seorang gagal yang amat berhasil”
Kehidupan selanjutnya
Pada tahap awal perjalanan kariernya, Pestalozzi berkeinginan untuk mengikuti jejak kakeknya yang adalah seorang pendetaProtestan yang melayani jemaat di pedesaan.[1] Keinginan ini berawal ketika Pestalozzi melihat adanya ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh para penguasa terhadap rakyat di daerah itu.[1] Pestalozzi prihatin terhadap nasib mereka yang tertindas dan ingin menolong mereka memperoleh pendidikan.[1] Pendidikan yang memadai dianggap sebagai solusi untuk keluar dari penindasan tersebut.[1] Atas dorongan kakeknya, Pestalozzi masuk ke salah satu perguruantinggi. Akan tetapi, ketika menempuh proses pembelajaran di perguruantinggi, Pestalozzi lebih tertarik pada gaya penulisan dan pemikiran pengarangklasik.[1] Ia bahkan pernah menerjemahkan karangan bermutu tinggi milik Demosthenes. Ketertarikannya terhadap filsafat kuno itu membuatnya ragu akan tujuannya yang semula. Semakin ragu lagi ketika ia berkotbah di depan klasis dan mendadak berhenti karena lupa isinya. Pengalaman buruk ini membuat Pestalozzi mundur dari keinginannya untuk menjadi seorang pendeta.[1]
Alternatif lain yang ia pilih untuk membantu kaum yang tertindas itu ialah dengan menjadi seorang pengacara. Akan tetapi, usaha ini juga gagal karena ia dan kelompoknya dianggap terlalu radikal dalam membela hak rakyat yang menerima ketidakadilan.[1]
Kegagalan menjadi seorang pendeta dan pengacara ini tergantikan dengan hadirnya seorang wanita yang 8 tahun lebih tua darinya, Anna Schulthess. Wanita yang kemudian menjadi istrinya ini tak lain adalah tunangan sahabatnya sendiri, Bluntschli, yang telah meninggal.[1]
Berikut ini merupakan arti dari tulisan disamping:
Dalam pandangan teologisnya, Pestalozzi memberikan penjelasan bahwa untuk menentukan sebuah metode pendidikan yang baik, perlu didasarkan pada beberapa point, antara lain:
a) kepercayaan kepada Allah (dalam memahami ini, Pestalozzi memberikan penggambaran bahwa manusia perlu bersandar kepada Allah sebagai pencipta dan awal dari segala pengetahuan).
b) alam sebagai pedoman (pemaparan tentang point ini lebih kepada penalaran kita dalam menyesuaikan proses belajar kita kepada irama alami).
c) Yesus dalam pelayanan kepada sesama dilihat sebagai contoh ideal.
d) manusia memiliki jati diri dan tugas selama hidup di dunia, yang dibagi kedalam lima point:
sebagai makhluk yang memiliki kepercayaan di mana di dalamnya memiliki pengalaman beriman secara pribadi
yang memiliki sifat-sifat alamiah
merupakan makhluk sosial
bermoral
memiliki sifat ilahi.
Dasar Ilmu Jiwa
Pestalozzi juga mengembangkan dasar ilmu jiwa di dalam pendidikannya. Hal ini dilakukan untuk mengamati naradidik, agar sistem mengajar yang nantinya digunakan dapat sesuai dengan kebutuhan naradidik.
Peran Pengajar
Oleh sebab itulah Pestalozzi memberikan beberapa point yang dianggap penting dari hasil pengamatannya tentang tugas dari seorang pengajar, antara lain:
pengajar bertugas memberikan pengetahuan baru jika naradidik sudah memahami pengetahuan yang telah diberikan sebelumnya
pengajar bertugas memberikan tugas belajar dalam ruang lingkup yang terbatas dan terarah agar naradidik dapat focus
memanfaatkan pancaindera yang dimiliki naradidik dalam proses belajar-mengejar
mengelompokkan dan menggunakan tiga point penting dalam mengajar, yaitu: jumlah, bentuk, dan bahasa
mengembangkan nalar berpikir naradidik dalam menerima sebuah pengetahuan
melalui pengembangkan nalar berpikir naradidik dituntut untuk memupuk perasaan dan penghargaan terhadap alam sekitarnya
menempatkan pengalaman jasmani dan akal dalam pengalaman moral dan rohani.
Peranan Orang Tua
Pestalozzi juga menekankan satu point yang penting dalam pendidikan, yaitu peran orang tua sebagai pengajar pertama yang didapatkan naradidik. Bagi Pestalozzi, orang tua haruslah berperan dalam menanamkan iman dalam diri naradidik melalui kasih sayang yang diberikan dirumah. Melalui pengalaman ini, orang tua dapat memberikan sebuah contoh yang nyata dalam perlakuan mereka kepada naradidik yang dapat memberikan gambaran bahwa beginilah kasih Allah kepada manusia. Sehingga harapan dari Pestalozzi bahwa naradidik juga dapat membawa pengalaman imannya kedalam ruang pembelajaran dikelas. Di mana proses pembelajaran yang ditawarkan oleh Pestalozzi bukanlah proses pembelajaran yang sudah ada dan telah baku, akan tetapi Pestalozzi memulainya dengan pengalaman-pengalaman dan kemudian berefleksi atas semua pengalaman-pengalaman itu.
Metode
Dengan memakai metode pengalaman, maka Pestalozzi dalam merumuskan dasar-dasar kurikulumnya menggunakan akal, tubuh dan hati, sebagai tiga point yang penting dalam proses pembelajaran yang dianjurkan oleh Pestalozzi dengan memanfaatkan pancaindera dari naradidik. Oleh sebab itulah, Pestalozzi berharap agar pendidikan ini dapat dirasakan oleh setiap anak tanpa memandang status sosialnya. Kesetaraan dalam menerima pendidikan itulah yang sebenarnya menjadi point penting yang diinginkan oleh Pestalozzi bagi anak-anak, karena semua ini merupakan sebuah dobrakan yang diberikan agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua golongan masyarakat.
Referensi
^ abcdefghijklmn(Indonesia)Boehlke, Robert., Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktik Pendidikan Agama Kristen - dari Yohanes Amos Comenius sampai Perkembangan PAK di Indonesia, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003
^(Inggris)Krüsi, Herman., Pestalozzi: His Life, Work, and Influence, Cincinnati: Wilson, Hinkle, hlm 343