Inklusi keuanganInklusi keuangan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, adalah sebuah kondisi dimana setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Di Indonesia, kelompok masyarakat yang diprioritaskan untuk mendapat akses keuangan antara lain masyarakat berpenghasilan rendah (dalam hal ini MBR atau keluarga prasejahtera), pelaku UMKM, pekerja migran, wanita, disabilitas, anak terlantar, lansia, penduduk daerah tertinggal, serta pelajar dan pemuda. Menurut data Global Findex tahun 2017, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 48,9% atau 12% lebih tinggi dibanding hasil Global Findex tiga tahun sebelumnya. Pada 2014, baru sekitar 36% penduduk dewasa di Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal.[1] Perjalanan inklusi keuangan di IndonesiaPerhatian pemimpin dunia terkait pentingnya inklusi keuangan mulai mencuat setelah krisis ekonomi 2008 yang menyebabkan lapisan masyarakat terbawah (penduduk berpendapatan rendah, penduduk daerah terjauh, penyandang disabilitas, masyarakat tidak memiliki identitas legal, buruh, dan masyarakat tertinggal) menerima dampak terburuk krisis tersebut. Peran inklusi keuangan pada masyarakat yang dimaksud pertama kali resmi dibahas oleh pemimpin dunia pada G2O’s Meeting di Pittsburg tanggal 24 - 25 September 2009.[2] Sebagai salah satu negara dengan tingkat inklusi keuangan yang rendah pada tahun 2011 yaitu sebesar 20%,[3] pemerintah Indonesia telah memulai urun rembug untuk mempersiapkan dokumen resmi sebagai landasan hukum untuk pelaksanaan program kerja terkait peningkatan inklusi keuangan di Indonesia sejak tahun 2012 - 2014. Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo memerintahkan kabinetnya untuk memulai merumuskan rencana program kerja untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia dengan melakukan revisi pada dokumen yang dihasilkan pemerintah sebelumnya untuk disesuaikan dengan Nawacita.[4] Pada tanggal 3 Agustus 2016, Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan telah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden yang akan menjadi program kerja strategis untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.[5] Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang memimpin pertemuan tersebut, yang dihadiri oleh Kementerian dan Lembaga terkait seperti Bank Indonesia, OJK, dsb, bersama menyiapkan dokumen resmi / strategi yang komprehensif dengan menuangkan indikator-indikator capaian program dan target inklusi keuangan di Indonesia.[5] Pada pertemuan tersebut, Sekretaris Menteri Perekonomian, Lukita Dinarsyah Tuwo, menyampaikan bahwa strategi program kegiatan direncanakan dapat meningkatkan tingkat inklusi keuangan di Indonesia menjadi 75% pada akhir tahun 2019.[5] Kemudian pada Jumat, 18 November 2016, Presiden Joko Widodo meluncurkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016. Strategi tersebut-lah yang mendasari terbentuknya Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang diketuai Presiden Republik Indonesia dengan anggota-anggota yang terdiri dari Kementerian dan Lembaga Pemerintahan terkait.[6] Peluncuran ini menandai titik awal upaya serius Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia yang bertujuan akhir meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Strategi Nasional Keuangan InklusifBerdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016, terdapat beberapa informasi penting yang perlu diketahui terkait Strategi Nasional Keuangan Inklusif atau umumnya dikenal sebagai SNKI seperti Definisi Strategi Nasional Keuangan Inklusif, Susunan Keanggotaan Dewan Nasional Keuangan Inklusif, Pilar-pilar dan Pondasi Inklusi Kuangan, Segmen Prioritas Masyarakat Indonesia. Selain itu, salinan dokumen Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 dapat diunduh oleh masyarakat Indonesia secara luas pada tautan berikut, 3. Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi. Nasional Keuangan Inklusif (Lembaran Negara Republik. Indonesia Tahun 2016 Nomor 185);. 4.. DefinisiDalam Peraturan Presiden tersebut, yang dimaksud sebagai Strategi Nasional Keuangan Inklusif adalah "strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat visi, misi, sasaran, dan kebijakan keuangan inklusif dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia."[7] Keuangan inklusif merupakan komponen penting dalam proses inklusi sosial dan inklusi ekonomi yang berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas sistem keuangan, mendukung program penanggulangan kemiskinan, serta mengurangi kesenjangan antarindividu dan antardaerah. Karena, seperti yang dijelaskan dalam Peraturan Presiden tersebut, SNKI dimaksudkan memiliki dua fungsi berikut:
Penduduk Indonesia memiliki kebutuhan yang besar akan layanan keuangan, terutama terkait layanan keuangan dasar yang mencakup transaksi pembayaran nontunai, tabungan, kredit/pembiayaan, remitansi, dan asuransi. Layanan keuangan saat ini masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga penyedia jasa keuangan dan pembayaran. Dalam meningkatkan keuangan inklusif, selain tingkat literasi keuangan yang relatif rendah, juga terdapat tantangan dari sisi penawaran dan sisi permintaan layanan keuangan. Sejumlah tantangan tersebut antara lain ialah sebagai berikut:
Dewan Nasional Keuangan Inklusif dan Susunan KeanggotaannyaPeraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 merupakan dasar pembentukan Dewan Nasional Keuangan Inklusif yang bertugas mengkoordinir dan memulai sinktronisasi pelaksanaan SNKI, memimpin penyelesaian permasalahan dan hambatan permasalahan SNKI melalui langkah-langkah dan kebijakan, serta memonitor dan mengevaluasi implementasi SNKI di lapangan.[7] Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2016 juga mengatur susunan kepengurusan Dewan Nasional Keuangan Inklusif. Dalam dokumen tersebut, diatur bahwa Presiden Republik Indonesia memimpin sebagai Ketua Dewan dengan Wakil Ketua Dewan, Wakil Presiden Republik Indonesia, dengan Ketua Harian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Selain itu terdapat dua Wakil Ketua Harian yaitu Gubernur Bank Indonesia sebagai Wakil Ketua Harian I dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai Wakil Ketua Harian II. Pada akhirnya, Dewan Nasional Keuangan Inklusif memiliki anggota-anggota yang terdiri dari:[7]
Pilar dan fondasi SNKIStrategi Nasional Keuangan Inklusif disokong oleh lima pilar dan tiga pondasi yang bekerja secara simultan untuk mempercepat terbukanya akses-akses keuangan kepada seluruh masyarakat, terutama kelompok-kelompok yang diprioritaskan. Kelima pilar tersebut ialah sebagai berikut:[1]
Kelima pilar SNKI ini harus ditopang oleh tiga fondasi sebagai berikut:[1]
Segmen prioritasKeuangan inklusif menekankan penyediaan layanan keuangan berdasarkan kebutuhan yang berbeda dari tiap kelompok masyarakat. Meskipun mencakup semua segmen masyarakat, kegiatan keuangan inklusif difokuskan pada sejumlah kelompok masyarakat yang belum terpenuhi oleh layanan keuangan formal. Masyarakat berpendapatan rendah adalah kelompok masyarakat 40% (empat puluh persen) berpendapatan terendah berdasarkan Basis Data Terpadu yang bersumber dari hasil kegiatan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik. Kelompok ini memiliki akses terbatas atau tanpa akses sama sekali ke semua jenis layanan keuangan yang mencakup masyarakat penerima bantuan sosial, program pemberdayaan masyarakat , dan wirausaha yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk memperluas usaha. Sementara itu, pelaku usaha mikro dan kecil merupakan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Selain kedua kelompok masyarakat di atas, sasaran keuangan inklusif juga mencakup masyarakat lintas kelompok, yang terdiri dari:
Tantangan terhadap pemenuhan inklusi keuangan di IndonesiaSejumlah tantangan terhadap perwujudan keuangan inklusif di Indonesia dapat dikategorikan menjadi empat area, yakni keterbatasan akses; minimnya penggunaan; kualitas yang rendah dan minimnya dukungan dari pelaku jasa keuangan.[8] Keterbatasan aksesPada tahun 2016, penetrasi internet di Indonesia hanya capai 34% dari total populasi. Penetrasi internet di negara-negara tetangganya bahkan telah mencapai lebih dari 40%.[9] Merespon minimnya ketersediaan dan kualitas akses internet pemerintah menggelar akses internet berkecepatan tinggi yang dapat diakses tanpa biaya di lokasi-lokasi publik di berbagai kota dan kabupaten, membangun jaringan internet serat optik untuk menghubungkan wilayah-wilayah tertinggal.[10] Minimnya penggunaanPertumbuhan rekening simpanan per tahun di Indonesia tak lebih dari 4,2%.[11] Meski pertumbuhan kepemilikan rekening simpanan di Indonesia terbilang tertinggi di antara negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik, sekitar 52.664.391 penduduk dewasa belum memiliki rekening simpanan di lembaga keuangan formal.[12] Kualitas yang rendahTingkat kepemilikan rekening sedikit banyaknya dipengaruhi tingkat literasi keuangan masyarakat. Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2016 oleh OJK, kurang dari 30% orang Indonesia melek keuangan. Tingkat literasi di kalangan perempuan bahkan masih lebih rendah dibanding laki-laki, meski angkanya mengalami peningkatan. Selain itu, dunia perbankan masih mendominasi jumlah pengaduan nasabah yang diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga tersebut mencatat sebanyak 53 persen atau sekitar 1.900 pengaduan nasabah dari total 3.832 pengaduan nasabah merupakan pengaduan yang terkait dengan layanan perbankan.[13] Minimnya dukungan dari pelaku jasa keuanganDengan pendekatan rekening, hanya 22% dari total UMKM yang memiliki akses kepada kredit perbankan. Mereka sebagian besar berada di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan mereka yang berada di timur Indonesia, belum tersentuh secara menyeluruh.[14] Regulasi dan institusiAturan yang tumpang tindih dan berbelit-belit, serta lemahnya koordinasi dan komunikasi antar instansi pemerintah masih menghambat percepatan inklusi keuangan di Indonesia.[15] Hambatan ini sangat terlihat dalam upaya harmonisasi layanan Laku Pandai oleh OJK dan Layanan Keuangan Digital oleh Bank Indonesia.
|