Artikel atau sebagian dari artikel ini mungkin diterjemahkan dari Impunity di en.wikipedia.org. Isinya masih belum akurat, karena bagian yang diterjemahkan masih perlu diperhalus dan disempurnakan. Jika Anda menguasai bahasa aslinya, harap pertimbangkan untuk menelusuri referensinya dan menyempurnakan terjemahan ini. Anda juga dapat ikut bergotong royong pada ProyekWiki Perbaikan Terjemahan.
(Pesan ini dapat dihapus jika terjemahan dirasa sudah cukup tepat. Lihat pula: panduan penerjemahan artikel)
Impunitas atau kenirpidanaan (nirpidana) berarti "pembebasan dari hukuman atau kehilangan atau melepaskan diri dari denda".[1] Dalam hukumhak asasi manusia antarbangsa, ini mengacu kepada kegagalan membawa pelaku pelanggaran hak asasi manusia untuk diadili dan merupakan penyangkalan hak korban untuk keadilan dan pemulihan. Impunitas sangat umum terjadi di negara-negara yang tidak memiliki tradisi kedaulatan hukum, menderita korupsi atau yang memiliki sistem patronasi yang buruk, atau tempat peradilan lemah atau anggota pasukan keamanan dilindungi oleh yurisdiksi atau kekebalan khusus.
Serangkaian Prinsip untuk Perlindungan dan Penggalakan Hak Asasi Manusia yang telah diubah Melalui Tindakan Memerangi Impunitas, yang diserahkan kepada Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 8 Februari 2005, mendefinisikan impunitas sebagai:
Ketidakmungkinan, de jure atau de facto, membawa pelaku pelanggaran ke pertanggungjawaban – baik dalam proses pidana, perdata, administratif atau disiplin – karena mereka tidak tunduk pada penyelidikan apa pun yang dapat menyebabkan mereka dituduh, ditangkap, diadili, dan jika terbukti bersalah, dijatuhi hukuman yang sesuai, dan melakukan ganti rugi kepada korban mereka.[2]
Prinsip pertama dari dokumen yang sama menyatakan bahwa:
Impunitas muncul dari kegagalan negara untuk memenuhi kewajibannya , untuk mengusut pelanggaran; untuk mengambil langkah-langkah yang tepat sehubungan dengan para pelaku, terutama dalam bidang hukum, dengan memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pidana dituntut, diadili, dan dihukum sebagaimana mestinya; untuk memberikan pemulihan yang efektif kepada para korban dan untuk memastikan bahwa mereka menerima pemulihan atas luka yang diderita; untuk memastikan hak yang tidak dapat dicabut untuk mengetahui kebenaran tentang pelanggaran; dan untuk mengambil langkah lain yang mencegah terulangnya pelanggaran.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kerap kali dibentuk oleh negara-negara yang muncul dari jangka waktu yang ditandai dengan pelanggaran hak asasi manusia – kudeta, kediktatoran militer, perang saudara, dan lain-lain. – untuk menerangkan peristiwa masa lalu. Walaupun mekanisme semacam itu dapat membantu penuntutan akhir atas kejahatan dan hukuman orang yang salah, mekanisme tersebut sering dikritik karena mengekalkan impunitas dengan memungkinkan pelanggar mencari perlindungan atas undang-undang amnesti yang diterapkan secara bersamaan.[3]
Tujuan utama Statuta Roma di Mahkamah Pidana Internasional, yang diadopsi pada 17 Juli 1998 dan mulai berlaku pada 1 Juli 2002, adalah "untuk mengakhiri impunitas bagi para pelaku" [...] "dari kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat antarbangsa".[4]