Ideologi bahasa standar

Ideologi bahasa standar adalah istilah yang diperkenalkan oleh James dan Lesley Milroy untuk menggambarkan serangkaian sikap preskriptif dan pandangan sosial yang terwujud sebagai akibat proses standardisasi bahasa. Di satu sisi, inti ideologi tersebut adalah konsep salah-benarnya bahasa, di sisi lain – anggapan bahwa ada satu varietas bahasa yang "terbaik" dan sikap tidak toleran terhadap bentuk-bentuk yang dianggap menyimpang darinya.[1] Rosina Lippi-Green mendefinisikan istilah ini sebagai: "bias terhadap bahasa yang abstrak, ideal, dan homogen, yang dipaksakan dan dikelola oleh institusi berposisi dominan dan yang mendefinisikan bahasa tertulis sebagai modelnya, meskipun sebagian besar didasarkan pada bahasa tutur kelas menengah tinggi".[2]

Ideologi bahasa standar khusus dijumpai di masyarakat Eropa; pengaruhnya juga terlihat dalam wacana ahli linguistik profesional.[3][4]

Asumsi

James Milroy membedakan empat unsur ideologi bahasa standar:[5]

  • konsep salah-benarnya bahasa;
  • pemberian makna kepada otoritas bahasa;
  • pemberian makna kepada prestise;
  • konsep legitimitas bahasa baku.

Salah-benarnya bahasa

Salah satuk konsekuensi penting dari standardisasi bahasa adalah munculnya ide salah-benarnya bahasa dalam masyarakat. Dalam budaya bahasa standar, terdapat anggapan umum bahwa bentuk-bentuk bahasa tertentu bersifat benar, sementara yang lainnya bersifat salah. Pandangan ini diterima luas, termasuk oleh kalangan orang berpendidikan. Masyarakat yang mengikuti ide benar-salahnya bahasa cenderung tidak menyadari motivasi ideologis yang mendasarinya, dan konsep tersebut sering kali dianggap sebagai hal yang logis dan berdasarkan fakta ilmiah. Namun, para ahli linguistik berpendapat bahwa "benar-salah" dalam bahasa tidak berhubungan dengan aturan yang terdapat di dalam bahasa atau ditentukan oleh ilmu linguistik, melainkan bersifat kesepakatan sosial. Menurut James Milroy, argumentasi linguistik yang digunakan untuk membuktikan keunggulan unsur-unsur bahasa baku dibuat secara post hoc, karena penilaian terhadap bentuk-bentuk bahasa sesungguhnya dipengaruhi oleh faktor non-linguistik.[6] Salah satu karakteristik lain dari budaya bahasa standar adalah ketidaksadaran terhadap sifat konvensional sistem ejaan dan kepercayaan bahwa sistem ejaan ditentukan oleh kaidah kebahasaan yang jelas.[7]

Ahli linguistik Kroasia, Mate Kapović, menggambarkan preskriptivisme sebagai akibat negatif dari proses preskripsi (kodifikasi bahasa) dan menganggap ideologi bahasa standar sebagai salah satu elemen dari preskriptivisme tersebut. Dia mendefinisikan preskriptivisme sebagai praktik yang menggambarkan preskripsi (pengangkatan dan kodifikasi isolek tertentu menjadi bahasa baku demi alasan praktis) sebagai kegiatan ilmiah yang bisa dijelaskan melalui argumen linguistik.[8]

Otoritas bahasa

Menurut pendapat linguis teoretis, bahasa adalah milik pengguna aslinya dan merupakan fenomena kognitif yang terbentuk dalam pikiran manusia. Mereka berpendapat bahwa semua bentuk bahasa, tanpa memandang status sosial penggunanya, mengandung aturan kompleks yang berfungsi terlepas dari keberadaan bentuk tulis dan kodifikasi resmi.[9] Sedangkan ideologi bahasa standar menganggap bahasa sebagai sebuah ciptaan yang dikelola oleh otoritas, yaitu sumber khusus yang menetapkan kaidah bahasa dan mengarahkan pengguna bahasa untuk mengikuti aturan tersebut. Dalam budaya bahasa standar, pengetahuan bahasa yang diperoleh secara alami dianggap tidak sempurna, dan hanya pengetahuan bahasa yang diperoleh melalui pendidikan formal yang dianggap sah dan benar. Pada saat itu, bahasa baku diidentikkan dengan keseluruhan bahasa, dan penguasaan bahasa dianggap setara dengan kemampuan untuk mengikuti norma-norma bahasa dari sumber eksternal (tata bahasa, kamus, dll.).[10] Pandangan ini seringkali disertai dengan keyakinan bahwa bahasa sedang mengalami "kemunduran" dan bahwa cara berbahasa yang digunakan saat ini kurang baik.[11]

Prestise bahasa

Para ahli linguistik berpendapat bahwa status kebakuan berbagai bentuk bahasa sangat dipengaruhi oleh prestise sosial yang terkait dengan bentuk-bentuk tersebut. James Milroy memberikan dua kalimat sebagai contoh perbedaan prestise dalam bahasa: "He was a man what didn’t believe nothing" dan "He was a man who didn’t believe anything"; ia menyatakan bahwa kebanyakan penutur bahasa Inggris menganggap kalimat yang kedua sebagai bentuk yang lebih baik dan benar. Hal ini menunjukkan bahwa bentuk bahasa baku memiliki prestise sosiolinguistik yang lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya. Namun, Milroy juga mencatat bahwa prestise ini bukanlah sifat tetap yang melekat pada bentuk atau varian bahasa tertentu, melainkan mencerminkan status sosioekonomis dari penuturnya.[12]

Prestise berlawanan dengan stigmatisasi bahasa, yang merujuk pada pandangan negatif terhadap unsur-unsur bahasa tertentu, misalnya bentuk bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial yang lebih rendah dan tidak diakui dalam proses pendidikan. Menurut Milroy, akibat dari stigmatisasi yang ekstrem, muncul pernyataan populer bahwa penutur asli "tidak mengetahui bahasa mereka sendiri".[12]

Legitimitas bahasa baku

Terbentuknya konsep bahasa baku dan penyebarannya ke khalayak umum sering kali diikuti dengan penurunan nilai varietas bahasa lain yang tidak dikodifikasikan. Varietas bahasa tersebut kemudian dianggap tidak baku, yang dalam persepsi umum sering diidentikkan dengan "salah".[13] Menurut James Milroy, pemahaman dikotomis mengenai hubungan antara bentuk baku dan nonbaku dalam wacana linguistik sebenarnya merupakan cerminan dari ideologi bahasa standar itu sendiri.[14] Konvensi linguistik yang memperlawankan istilah "dialek nonbaku" dengan istilah "bahasa baku" juga dikatakan bersifat ideologis.[15]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Vogl (2012), hlm. 13
  2. ^ Lippi-Green (1997), hlm. 64
  3. ^ Vaicekauskienė (2012), hlm. 78-80
  4. ^ Kapović (2011), hlm. 46-48
  5. ^ Milroy (2007), hlm. 134
  6. ^ Milroy (2001), hlm. 535–539
  7. ^ Milroy (2007), hlm. 134–135
  8. ^ Kapović (2013), hlm. 391–400
  9. ^ Kapović, Starčević & Sarić (2016), hlm. 56–57
  10. ^ Milroy (2007), hlm. 135–136
  11. ^ Milroy (2007), hlm. 138–139
  12. ^ a b Milroy (2007), hlm. 136–138
  13. ^ Milroy (2007), hlm. 137–138
  14. ^ Milroy (2001), hlm. 534
  15. ^ Vogl (2012), hlm. 15

Kepustakaan