Himation (bahasa Yunani Kuno: ἱμάτιον, translit. himátion) adalah jenis pakaian, mantel atau bungkus yang dikenakan oleh pria dan wanita Yunani kuno dari periode Arkais hingga Helenistik (k. 750–30 SM).
Pakaian ini biasanya dikenakan di atas khiton dan/atau peplos, tetapi terbuat dari tirai yang lebih berat dan berperan sebagai jubah atau selendang. Ketika himation digunakan sendiri, tanpa khiton, dan berfungsi baik sebagai khiton maupun sebagai jubah, itu disebut akhiton. Pembuatan himation memerlukan bahan yang jauh lebih sedikit daripada toga Romawi, yang biasanya sepotong kain wol persegi panjang yang besar. Banyak lukisan menggambarkan wanita mengenakan himation sebagai kerudung yang menutupi wajah mereka. Penggunaan himation berlanjut ke era Romawi Timur sebagai "pakaian ikonografi" yang digunakan dalam seni dan oleh kelas bawah, dikenakan oleh Kristus, Perawan Maria, dan tokoh-tokoh di Alkitab.[1]
Gaya pemakaian
Himation tidak disimpan menggunakan pin, tidak seperti jenis pakaian luar Yunani Kuno lainnya. Saat dikenakan oleh pria, himation disampirkan di bahu kiri dan dililitkan ke seluruh tubuh, kecuali lengan kanan. Bagi wanita, himation memungkinkan lengan kanan atau kiri dibebaskan dari pakaian.[2]
Guci-guci yang menggambarkan kehidupan pada awal Yunani Arkais menunjukkan bahwa pria dari segala usia dan kelas sosial mengenakan himation di atas khiton. Namun pada abad ke-6, hanya kelompok pria tertentu yang terus memakai keduanya (mis., pendeta, ayah pengantin wanita, tokoh mitologis); pria yang belum menikah dan pria yang sudah menikah sama-sama hanya mengenakan himation. Wanita juga mulai mengenakan khiton dan himation selama periode yang sama dan melanjutkan kebiasaan tersebut hingga periode Helenistik.[2] Anak laki-laki yang lebih tua, yang berusia di atas efebos, jika tidak mengenakan gaya yang diikuti oleh pria dewasa, menutupi seluruh tubuhnya dengan himation.[3]
Meskipun tidak ada aturan pasti yang harus diikuti dalam memakai himation – kecuali selama ibadah di tempat suci Yunani – gaya yang diadopsi seseorang dapat memberikan arti yang berbeda dan masyarakat menilai sifat seseorang dari cara mereka memilih untuk memakai himation mereka.[2][3] Bagian tubuh mana yang mereka pilih untuk diungkapkan juga membuat orang lain memandangnya secara berbeda. Para filsuf Yunani Kuno pada masa itu menyebutkan sudut pandang ini dalam karya-karya mereka. Salah satunya, Theofrastos, menjelaskan ketidaksopanan itu dalam kitabnya berjudul Ethikoi Kharakteres (Ἠθικοὶ χαρακτῆρες, berarti "Karakter Etika") sebagai orang yang duduk sambil membiarkan himationnya disampirkan di atas lutut.[2]
Bagi wanita, himation juga bisa dipakai sebagai kerudung, seperti yang digambarkan pada beberapa lukisan guci dari zaman Arkais. Meski begitu, wanita jarang mengenakan himation tanpa khiton, terutama dari kalangan atas.[2]