Hela Rotan AboruHela Rotan adalah tradisi khas masyarakat Desa Aboru, Pulau Haruku. Tradisi ini biasanya dilaksanakan memperingati hari besar keagamaan atau peristiwa tertentu yang bertepatan dengan prosesi adat tertentu di Aboru. Tradisi ini telah dilakukan masyarakat Aboru setiap tahun pada bulan Desember. Properti utama dalam tradisi ini adalah rotan.[1] SejarahTradisi Hela Rotan ini terbentuk sejak abad ke-16 tepatnya antara tahun 1627–1628 M. Dari penuturan para tetua adat sejarah Hela Rotan tak terlepas dari sejarah terbentuknya negeri Aboru. Tradisi Hela Rotan di negeri Aboru dilakukan dengan tujuan untuk menyatukan masyarakat dari 4 petuanan yaitu Petuanan Latu Sinai dari Negeri Aboru, Petuanan Latuconsina dari Negeri Pelauw, Petuanan Latu Marawakan dari Negeri Oma, dan Petuanan Latu Surinai dari Negeri Rohomoni. Tradisi Budaya Hela Rotan ini dilaksanakan kembali pada tahun 2016 atas perintah Kapitan Aboru yaitu Tua Saia dan Jhon Nahumury untuk menyatukan semua warga dari 4 Latu ini, dan hingga sekarang tradisi Hela Rotan ini selalu diselenggarakan di negeri Aboru. Pada awal mula negeri Aboru terbentuk daerahnya itu tidak mendukung karena tak ada air. Kemudian kapitan Saia turun cari negeri baru. Ada pro dan kontra maka untuk mencari jalan damai sampai masuk negeri baru maka di jengkal/diukur dengan rotan karena jaman dulu belum ada alat ukur. Ketika sampai di negeri baru kedua kubu mulai melakukan tanding dengan cara menarik rotan/hela rotan. Hal ini dilakukan agar siapa pemenangnya merupakan hal yang adil dalam menyelesaikan dan mendamaikan kekacauan tentang perpindahan negeri. Tradisi ini merupakan suatu wujud persatuan dari masyarakat. Suatu nilai yang harus dipertahankan anak negeri dalam menjaga mempererat hubungan persaudaraan. Tidak ada aturan yang mengikat dalam melakukan tradisi ini dan keterlibatan semua warga dalam mempersiapkan alat dan bahan rotan untuk ditarik oleh semua anak laki-laki, perempuan tua maupun muda.[2] Pelaksanaan tradisiPersiapan awal pemerintah negeri dalam hal ini raja dan saniri negeri telah menentukan tanggal dan waktu pelaksanaan lewat rapat saniri di baeleu. Setelah rapat dilaksanakan maka masyarakat mulai bergegas memotong rotan. Butuh 2 minggu persiapan sebelum pelaksanaannya, mulai dari persiapan bahan pengambilan pembesihan dan penganyaman rotan. Rotan dipotong dan diambil di wilayah petuanan Aboru bertempat di gunung Hatuasa, Wemakel. Ada persiapan-persiapan yang dilakukan dalam perjalanan mengambil rotan yaitu sebelum berangkat ada doa yang dilakukan sesuai kepercayaan dan keyakinan masyarakatnya kemudian persediaan bekal makan dam minum selama perjalanan. Setelah rotan yang disiapkan dan dibawa ke dalam negeri maka ada gotong royong dalam mengikat utas-utas rotan ini jadi satu. Persiapan rotan harus 500 urat/utas. Panjang rotan mencapai 300 meter. Ada 2 bagian rotan yang diikat masing masing berjumlah 16 urat. Bagian pertama ada 4 utas yang terdiri 16 rotan yang di pelating/anyam bagian kedua ada satu berjumlah 5 utas. Dari panjang 300 diletakan sebuah kayu besar/pakal yang akan membagi kedua bagian panjang rotan. Tidak ada pemaknaan pada ikatan-ikatan tersebut. Namun sebagian masyarakat berasumsi bahwa dalam 1 liliran utas melambangkan 4 petuanan besar yang pertama di Pulau Haruku yang jika digabung dengan 5 utas menjadi 9 utas yang jika dicermati merupakan rumpun negeri adat tersebut yaitu "Patasiwa". Setelah rotan selesai dianyam maka rotan diletakan di tengah jalan utama negeri Aboru. Kemudian setelah waktu yang ditentukan maka masyarakat mulai berdatangan berbodong-bondong. Biasanya yang melakukan tarik menarik adalah semua warga masyarakat dari tiap kalangan manapun yang hadir pada saat itu. Ada dua kelompok kiri dan kanan yang masing masing memilki jumlah sama besar sehingga kekuatan untuk tarik menarik dapat seimbang. Tarik menarik bisa berlangsung pagi hingga malam. Disini ada adu kekuatan dalam menarik rotan. Harga diri dan kekompakan dipertaruhkan dalam tarik menarik memindahkan batas/pakal kayu yang disediakan. Ada seorang yang ditunjuk untuk melakukan aba-aba. Selain tarik menarik terdapat kapata-kapata yang dilantunkan dalam menarik rotan tersebut untuk meningkatkan kekompakan kebersamaan dan rasa persaudaran yang terjalin dalam tradisi ini. Keesokan harinya ada rentetan acara makan bersama atau dalam bahasa Aboru disebut "patita" yang dilakukan setelah sehari suntuk melakukan tradisi ini. Patita melambangkan keterikatan persaudaraan dalam sebuah meja makan panjang yang sederhana beralaskan daun kelapa. Makan yang disajikan adalah makanan tradisional masyarakat Aboru yang disajikan pada acara-acara tertentu yang tak lepas dari makanan pokok setiap hari. Jika makan patita selesai dilakukan maka akan terdengar aba-aba berkumpul dan mengarah rotan ke laut. Itu merupakan suatu pantangan jika sisa rotan tidak boleh ada di dalam negeri tersebut dan harus diarak kelaut. Ada keyakinan bahwa sisa-sisa rotan yang berada akan mendatangkan penyakit bagi masyarakatnya. Rotan yang diarak tidak boleh mengena tanah setelah itu rotan akan diarak menuju pantai dan akan ditenggelamkan kelaut kemudian batu besar akan diikat ke rotan guna menenggelamkan rotan ke dasar laut. Biasanya akan dibawa ke pelabuhan negeri Aboru untuk ditenggelamkan. RekorTradisi Hela Rotan mendapatkan piagam penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) setelah tradisi ini diikut oleh hampir 10.000 peserta. Piagam rekor MURI tersebut diserahkan kepada perwakilan masyarakat Aboru di Jakarta pada 16 Oktober 2020 kemudian pada tanggal 19 Desember piagam penghargaan tersebut dibawa ke Kota Ambon lalu dibawa ke negeri Aboru pada 21 Desember 2020 untuk dilaksanakan upacara penyerahan kepada Gubernur Maluku, Murad Ismail.[3] Referensi
|