H.B. Saanin
Hasan Basri Saanin Datuk Tan Pariaman atau biasa disingkat H.B. Saanin (9 Juni 1917 – 18 Maret 1988) adalah dokter dan guru besar psikiatri Indonesia di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.[1] Ia berjasa memperjuangkan layanan kesehatan jiwa di Sumatera Barat. Namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit jiwa milik Pemerintah Provinsi Sumatera Barat di Kota Padang.[2] Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, H.B. Saanin pernah menjadi pemimpin Harian Berita Indonesia di Jakarta.[3] Kehidupan awal dan pendidikanHasan Basri lahir di Kayu Kalek, Kambang, Lengayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat pada 9 Juni 1917. Ia merupakan ketiga dari delapan bersaudara.[4] Ia mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Desa Lasi, Agam serta Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bukittinggi. Setelah itu, ia diterima menjadi mahasiswa di Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS) Soerabaia. Pada masa pendudukan Jepang sekolah ini ditutup dan ia bergabung menjadi mahasiswa Ika Daigaku Djakarta[5] (bekas School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), satu-satunya sekolah kedokteran pada masa Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Ika Daigaku dinasionalisasi menjadi Perguruan Tinggi Kedokteran, Balai Perguruan Tinggi Djakarta (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) dan ia meraih gelar dokter di kampus itu pada 27 November 1945.[3] Semula ia bercita-cita menjadi ahli hukum, tetapi kelak ia menjadi psikiater.[6] Ia sempat mengambil kuliah Tk C II Fakultas Hukum, Balai Pengajaran Tinggi Jakarta pada 1948.[3] KarierPada 1 Desember 1945, dr. Hasan Basri memulai karier dengan bekerja di Laboratorium Eijkman Jakarta.[3] Hasan Basri selanjutnya lama berkarier di rumah sakit. Karena Agresi Militer Belanda I, pada 21 Januari 1947 pasien Koloni Orang Sakit Djiwa (KOSD) Ulu Gadut Padang diungsikan dan bergabung ke RSU Sawahlunto yang ia pimpin dan menjadi Rumah Perawatan Sakit Djiwa (RPSD) Sawahlunto.[2][6][7] Pada 4 Februari 1948 ia juga bekerja di Tugas Transfusi Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Sumatera Barat. Tahun 1948–1949 ia juga menjabat Kepala Rumah Sakit Umum (RSU) Bukittinggi. Dari 1949 hingga 1957, ia bertugas sebagai Kepala RSU Sawahlunto, dokter di Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, Kepala Rumah Sakit Jiwa Sawahlunto dan Ulu Gadut Padang, Kepala Sekolah Jururawat Sawahlunto, dan Dokter Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto. Pada 1954, Hasan Basri memimpin pembangunan ulang dan pemugaran bangunan rumah sakit yang rusak dan pemindahan kembali pasien ke Padang.[2][3] Pada 1957, Hasan Basri menjabat Pengawas Kepala Jawatan Kesehatan Provinsi Sumatera Tengah di Padang.[3][4] Pada 1959 hingga 1961, ia dimutasi sebagai Dokter di Rumah Sakit Umum Rancabadak Bandung (kini Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin). Sejak 1961 hingga 1981, ia diangkat sebagai Direktur RSJ Bandung dan Cimahi (Cisarua) serta Kepala Bagian Penyakit Jiwa Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung.[3] Ia memimpin rumah sakit selama total 28 tahun.[6] Hasan Basri diangkat sebagai Dosen Luar Biasa Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung pada 1964. Pada 1973, ia diangkat sebagai lektor kepala di fakultas itu. Ia diangkat sebagai guru besar/profesor psikiatri Universitas Padjadjaran pada 1978.[3] Ia dikenal mampu menguasai dan menggabungkan ilmu hukum dan ilmu psikiatrik. Saat aktif di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, ia dikenal gigih membela para sejawat yang dituduh melakukan malapraktik.[6] Denny Thong mencatat Hasan Basri sebagai sosok bersemangat tinggi, disiplin, dan sangat menyayangi keluarga. Para sejawat dan bawahannya mengenangnya sebagai sosok merakyat dan kekeluargaan, walaupun tampilan wajahnya terkesan 'angker'.[6] WafatHasan Basri Saanin meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada Jumat, 18 Maret 1988 setelah sembilan hari dirawat. Ia menderita penyakit liver, paru-paru, ginjal, dan pendarahan di usus. Sebelum meninggal, ia dibawa ke rumah sakit dalam kondisi muntah darah akibat pendarahan di usus. Operasinya kemudian ditangani oleh ahli bedah, dr. Warko Karnadihardja. Ia meninggalkan seorang istri dan tujuh orang anak.[4] PenghargaanPada 2 November 2000, rumah sakit yang dahulu pernah dipimpin Hasan Basri Saanin di Padang diresmikan dengan nama baru yaitu Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Hasan Basri Saanin Datuk Tan Pariaman.[6] Rujukan
|