Grand Hotel Lembang adalah hotel bersejarah yang terletak di pusat Kota Lembang, Bandung Barat. Berada di kaki Gunung Tangkuban Parahu, hotel ini didirikan pada tahun 1918, menjadikannya sebagai hotel tertua di kota gunung tersebut. Setelah lebih dari satu abad beroperasi, hotel ditutup permanen pada tahun 2022.[1]
Sejarah
Lahan di mana Grand Hotel Lembang berdiri dahulu adalah bagian dari perkebunan kina bernama Baroeadjak. Perkebunan tersebut dirintis oleh Pietro Antonio Ursone, seorang Italia dari Alessandria, Piemonte yang hijrah ke Hindia Belanda pada tahun 1884 untuk mencari kesuksesan di tengah gejolak Penyatuan Italia. Keluarga Ursone kelak dikenal sebagai pelopor peternak sapi perah di Cekungan Bandung. Pada tahun 1916, mereka menyewakan sebagian lahan Baroeadjak untuk dijadikan hotel oleh sepasang suami istri Houf dari Jerman. Dua tahun kemudian, Hotel Lembang resmi dibuka untuk umum.[2]
Pada tahun 1934, keponakan pasangan Houf, Bruno Treipl, datang di Pelabuhan Tanjung Priok. Mereka memutuskan untuk mewariskan Hotel Lembang kepada dirinya. Di bawah kepemilikan Treipl, hotel ini berkembang pesat dan berganti nama menjadi Grand Hotel Lembang.[2]
Pada masa pendudukan Jepang di Hindia-Belanda, Pemerintah Jepang mengambil alih dan menutup Grand Hotel Lembang. Mereka mengalihfungsikan tempat tersebut sebagai pusat rekreasi jugun ianfu, wanita-wanita pribumi yang diperbudakkan untuk melayani tentara Jepang. Korban pelecehan seksual yang dibunuh dibuang ke sumur di dekat gedung utama hotel yang kemudian ditutupi oleh sebuah replika patung Venus de Milo. Patung ini konon dipahat oleh Alexandro Ursone, putra bungsu dari Pietro Antonio, sebagai bentuk pemujaan terhadap kekasihnya. Hingga saat ini, gedung utama Grand Hotel Lembang masih dijuluki sebagai "Gedung Melia", nama yang diambil dari Venus de Milo.[3]
Pasca kemerdekaan Indonesia, Grand Hotel Lembang dijadikan sebagai kamp penampungan warga Eropa yang hendak dipulangkan ke negara asalnya. Saat itu, kondisi hotel dikabarkan kumuh, dengan berbagai benda seni yang rusak, kemegahannya digantikan dengan cerita pilu masa perang. Selain kamp, hotel ini juga sempat digunakan sebagai gudang garam dan kebutuhan pokok. Sekitar tahun 1970-an, Grand Hotel Lembang sudah kembali difungsikan sebagai penginapan dan popularitasnya melonjak kembali.[2] Hotel ini kerap kali digunakan untuk rapat instansi pemerintah. Dikarenakan Lembang tidak mempunyai fasilitas kolam renang umum pada zaman tersebut, kolam renang Grand Hotel Lembang juga sering digunakan untuk latihan berenang oleh siswa sekolah.[4]
Sebagai dampak dari pandemi Covid-19, Grand Hotel Lembang tutup permanen pada tahun 2022. Menurut Heri Partomo, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, penutupan ini adalah imbas dari pergantian manajemen yang hendak mengubah gedung menjadi sebuah museum transportasi.[1][5] Tiga tahun silam, hotel ini juga sempat diancam ditutup paksa oleh Pemerintah Kabupaten Bandung Barat karena menunggak pajak selama empat tahun berturut-turut.[6] Meskipun telah tiada, nama Grand Hotel Lembang sudah diabadikan oleh masyarakat kota Lembang menjadi nama jalan yang menghubungkan Jalan Raya Lembang dengan Pasar Panorama Lembang.[7]