Gerakan kemerdekaan Islandia
Gerakan kemerdekaan Islandia (bahasa Islandia: Sjálfstæðisbarátta Íslendinga) adalah upaya bersama yang dilakukan oleh bangsa Islandia untuk mencapai penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Kerajaan Denmark sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20. Islandia memiliki sebuah konstitusi dan pemerintahan dalam negeri terbatas pada tahun 1874. Seorang menteri urusan Islandia diangkat dalam kabinet Denmark pada tahun 1904. Kemerdekaan penuh diberikan pada tahun 1918 melalui Undang-Undang Penyatuan Denmark-Islandia. Peristiwa ini diikuti oleh pemutusan seluruh hubungan dengan Denmark dengan deklarasi republik ini pada tahun 1944. Latar belakangMelalui penandatanganan Perjanjian Lama pada tahun 1262, setelah konflik sipil Zaman Sturlung, bangsa Islandia menyerahkan kedaulatannya kepada Haakon IV, Raja Norwegia. Islandia tetap berada di bawah kerajaan Norwegia hingga tahun 1380, ketika kematian Olav IV dari Norwegia menghapus garis kerajaan laki-laki Norwegia. Norwegia (dan demikian juga Islandia) kemudian menjadi bagian dari Union Kalmar dengan Swedia dan Denmark, di mana Denmark merupakan kekuatan dominan. Tidak seperti Norwegia, Denmark tidak membutuhkan ikan dan wol tenunan rumah tangga dari Islandia. Hal ini menciptakan defisit dramatis dalam perdagangan Islandia, dan sebagai hasilnya, tidak ada kapal baru untuk perdagangan kontinental yang dibuat. Pada abad-abad berikutnya, Islandia menjadi salah satu negara termiskin di Eropa. Sementara upaya telah dilakukan untuk menemukan bukti mengenai sentimen nasionalis sebelum abad ke-19, tidak banyak bukti komprehensif yang ditemukan mengenai nasionalisme seperti yang kita pahami sekarang.[1][2][3] Gerakan nasionalisSekitar pertengahan abad ke-19, kesadaran nasional yang baru tumbuh kembali di Islandia, yang dipimpin oleh intelektual Islandia berpendidikan Denmark yang telah terinspirasi oleh gagasan-gagasan romantis dan nasionalis dari benua Eropa.[4] Yang paling terkenal dari para intelektual ini adalah apa yang disebut Fjölnismenn—para penyair dan penulis untuk jurnal Fjölnir— Brynjólfur Pétursson, Jónas Hallgrímsson, Konráð Gíslason, dan Tómas Sæmundsson. Sementara itu, gerakan kemerdekaan berkembang di bawah Jón Sigurðsson. Pada tahun 1843, sebuah titah kerajaan membentuk kembali parlemen nasional, yakni Althing, sebagai majelis konsultatif. Parlemen ini mempertahankan kesinambungan dengan Althing dari Persemakmuran Islandia, yang telah bertahan selama berabad-abad sebagai badan yudisial dan telah dihapuskan pada tahun 1800. Para pendukung kemerdekaan Islandia memperjuangkan tujuan mereka secara damai, membujuk para pejabat Denmark melalui sarana hukum.[5] Referensi
|