Gerakan buruh di Taiwan dimulai sejak era 1980-an, ketika berakhirnya darurat militer dan sikap partai politik Kuomintang (KMT) yang lebih toleran terhadap gerakan-gerakan sosial. Dengan didukung oleh sejumlah tokoh-tokoh politik non-KMT seperti anggota dari Partai Progresif Demokrat, serikat-serikat pekerja dan pengurus perusahaan milik negara yang menghilangkan pengaruh KMT dan hal ini membentuk kembali sektor ekonomi Taiwan agar tidak dikendalikan secara ketat oleh pemerintah.
Sejarah
Sebelum darurat militer
Selama periode darurat militer sejak tahun 1949, Kuomintang melarang pendirian partai politik baru dan aksi pengumpulan massa termasuk pemogokan buruh serta melakukan sensor terhadap seluruh media.[1] Hal ini menciptakan kelompok-kelompok organisasi bergaya Leninisme di pabrik-pabrik besar dan perusahaan milik negara dengan penyelenggara pabrik yang bekerja sama dalam mengatasi keluhan dan keberatan para buruh.[2] Pemerintahan Kuomintang juga menjalankan kebijakan industrialisasi nasional yang mengarah kepada perkembangan banyak industri tertentu, termasuk industri transportasi, listrik, minyak bumi dan telekomunikasi sebagai perusahaan milik negara atau perusahaan publik. Serikat pekerja kemudian dibentuk untuk mendukung negara dan rencana ekonominya, alih-alih sebagai wadah komunikasi bersama dan sarana perundingan bagi para pekerja dalam industri milik negara tersebut.[3] Sebelum tahun 1980-an, kedudukan oposisi kuat KMT terhadap gerakan sosial, mulai lemah ketika munculnya kekuatan politik baru dari kelas menengah, kemudian Partai Progresif Demokrat dibentuk tahun 1986 dan berakhirnya darurat militer pada 1987.[1] Pada awalnya gerakan buruh terfokus dalam mengemukakan isu-isu mengenai pengupahan, seperti lembur dan bonus tahunan, tetapi kemudian gerakan ini berubah menjadi perebutan serikat-serikat buruh. Banyak perusahaan-perusahaan yang awalnya memiliki hubungan dekat dengan KMT, tetapi dengan adanya gerakan buruh, cabang-cabang kelompok KMT menjadi kehilangan hak istimewanya dalam perusahaan-perusahaan tersebut.[2]
Setelah darurat militer
Awal 1990-an, serikat pekerja mulai menuntut agar KMT menarik kekuatan dan pengaruhnya dari serikat pekerja, dengan menyebarkan berita korupsi partai, lalu bekerja sama dengan Partai Progresif Demokrat dalam mengungkap kegiatan ilegal KMT.[4] Selama terjadinya krisis keuangan Asia pada 1997, perselisihan mengenai perburuhan dan masalah tentang pengangguran menjadi perhatian Pemerintah, lalu para pekerja mulai menyadari tentang pentingnya serikat pekerja otonom.[5] Partai Kuomintang kehilangan posisinya sebagai partai yang berkuasa, baik di Yuan Legislatif maupun di cabang eksekutif setelah pemilihan umum tahun 2000. Revisi undang-undang Standar Perburuhan mulai diperkenalkan oleh Partai Progresif Demokrat melalui Rancangan undang-undang (RUU) yang mencoba menetapkan batas hukum sejumlah 44 jam kerja per minggu. Namun setelah melakukan perundingan dengan KMT, RUU tersebut direvisi untuk menetapkan masa kerja legal menjadi 84 jam per dua minggu. Undang-undang ini mulai diberlakukan pada 2001.[6] Hal ini dipandang sebagai langkah pertama Partai Progresif Demokrat yang menegaskan kekuasaan eksekutif mereka atas gerakan buruh.
Selain merevisi undang-undang Standar Ketenagakerjaan, negara juga melakukan revisi terhadap undang-undang Serikat Pekerja dan undang-undang Mediasi Perselisihan Tenaga Kerja. Pada 1980-an, organisasi buruh tidak banyak melibatkan tokoh-tokoh oposisi. Namun, para pekerja tetap mengikuti agendanya dan menegaskan posisinya yang berlawanan dengan perusahaan dan pemerintah.[7] Seiring dengan kemajuan gerakan buruh, meningkat pula perselisihan antara pekerja dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Jumlah kasus perselisihan meningkat dari 1.609 kasus pada 1987 menjadi 10.955 kasus tahun 2001. Keanggotaan serikat pekerja juga meningkat dari 37.58% pada 1987 menjadi 39.40% tahun 2001. Selain itu, sejak tahun 1989, banyak perusahaan-perusahaan milik negara yang diprivatisasi hingga sejumlah 30 perusahaan antara tahun 1989 dan 2003.[8] Hal ini dilakukan bukan disebabkan oleh tekanan ekonomi seperti hutang, tetapi karena kondisi politik dan makro ekonomi.[9]
Referensi
- ^ a b Chu, Yin-wah (1996). "Democracy and Organized Labor in Taiwan: The 1986 Transition". Asian Survey (dalam bahasa Inggris). 36 (5): 495–510. doi:10.2307/2645496. JSTOR 2645496.
- ^ a b Ho, Ming-sho (2006). "Challenging State Corporatism: The Politics of Taiwan's Labor Federation Movement" (PDF). The China Journal (dalam bahasa Inggris). 56 (56): 107–127. doi:10.2307/20066188. JSTOR 20066188. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-08-31. Diakses tanggal 2022-04-07.
- ^ Tai, Hsiao-Hui (2012). "Labour Identity and Union Strategies in Taiwan: A Case Study" (PDF) (dalam bahasa Inggris). London: 2. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2017-02-16. Diakses tanggal 2022-04-07.
- ^ Ho, Ming-sho (2007). "The Rise and Fall of Leninist Control in Taiwan's Industry". The China Quarterly. 189: 162–189. doi:10.1017/S0305741006000853.
- ^ Wang, James W. Y. (2010). "The Political Economy of Collective Labour Legislation in Taiwan". Journal of Current Chinese Affairs (dalam bahasa Inggris). 3/2010 (3): 51–85. doi:10.1177/186810261003900303. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-11-25. Diakses tanggal 2022-04-07.
- ^ Huang, Chang-Ling (2002). "The Politics of Reregulation: Globalization, Democratization, and the Taiwanese Labor Movement". The Developing Economies (dalam bahasa Inggris). XL–3 (3): 305–26. doi:10.1111/j.1746-1049.2002.tb00917.x.
- ^ HO, MING-SHO (2003). "Democratization and Autonomous Unionism in Taiwan: The Case of Petrochemical Workers" (PDF). Issues & Studies (dalam bahasa Inggris). 39 (3): 105–135. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2016-12-01. Diakses tanggal 2022-04-07.
- ^ Kong, Tat Yan (2006). "Labour and Globalization: Locating the Northeast Asian Newly Industrializing Countries". Review of International Political Economy (dalam bahasa Inggris). 13 (1): 103–128. doi:10.1080/09692290500396727.
- ^ Liou, Kuo-Tsai (1992). "Privatizing State-owned Enterprises: the Taiwan Experience". International Review of Administrative Sciences (dalam bahasa Inggris). 58 (3): 403–419. doi:10.1177/002085239205800308.