Gedung Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) Padang atau Gedung Joang '45 Padang terletak di Jalan Pasar Mudik No. 50, Pasar Gadang, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia. Sesuai dengan namanya, gedung ini dulunya merupakan Kantor BPPI Padang sekaligus menjadi tempat pembentukan organisasi tersebut pada 21 Agustus 1945, ditandai dengan pengibaran Merah Putih pertama di Padang.[1]
BPPI Padang menampakkan identitas sebagai "kantor penerangan umum" untuk menghindari kecurigaan Sekutu. Menyusul kedatangan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda pada Oktober 1945, gedung ini menjadi sasaran penggeledahan dan penangkapan, di antaranya menimpa Chatib Sulaiman. Pada akhir November 1945, seiring dengan meningkatnya pemeriksaan Sekutu, para pemuda yang biasanya berkumpul di BPPI berpencar. Selanjutnya dengan terbentuknya Badan Keamanan Rakyat di Sumatera Barat, para pemuda menggabungkan diri ke dalam badan tersebut.[2]
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat menetapkan gedung ini sebagai bangunan cagar budaya. Namun, pasca-gempa bumi 2009, kondisi gedung mengalami kerusakan berupa retak-retak di hampir seluruh dinding dan lantainya. Saat ini, Gedung BPPI Padang difungsikan sebagai kantor oleh Dewan Harian Cabang 45 Kota Padang.[1]
Sejarah
Sejarah Gedung BPPI Padang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai Kantor BPPI pada masa perjuagan kemerdekaan. BPPI dibentuk atas usulan Ismael Lengah yang ditujukan sebagai badan yang bertugas menjaga keamanan dan menjadi media penyuara informasi kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatera Barat. Di gedung ini, bendera Merah Putih dikibarkan pada 21 Agustus 1945, bertepatan dengan tanggal pembentukan BPPI Padang. BPPI Padang diketuai oleh Ismael Lengah. Namun, karena Ismael Lengah berikutnya fokus pada pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), urusan ketua dikerjakan oleh Chatib Sulaiman.[3][1]
Setelah Sekutu yang diboncengi oleh Belanda mendarat pada Oktober 1945, suasana Kota Padang diliputi oleh ketegangan.[4] BPPI kerap jadi tujuan penggeledahan dan penangkapan. Memasuki pertengahan November 1945, penggeledahan dan pengkapan di Kantor BPPI menjadi semakin rutin, termasuk menimpa Chatib Sulaiman. Sulaiman, yang sedang berada di kantor, ditangkap dan dibawa ke markas Sekutu. Penangkapan Sulaiman segera memicu pemberontakan pemuda-pemuda BPPI sehingga sehari setelah ditahan, Sulaiman segera dibebaskan.[2]
Setelah bebas, Soelaiman lebih banyak aktif ke luar kota, BPPI menetapkan Kamaroelzaman, seorang bekas guru, sebagai pengganti. Sekutu kembali rutin mendatangi bangunan dan Kamaroelzaman tak luput dari penangkapan. Lagi-lagi pemuda bangkit mengadakan pelbagai tindakan yang menambah tegangnya suasana sehingga sesudah satu hari ditahan, Sekutu membebaskan Kamaroelzaman.[2][1]
Mengingat pemeriksaan Sekutu terhadap Kantor BPPI hampir berlangsung setiap hari, BPPI mengubah taktik bekerja. Jika sebelumnya anggota BPPI duduk bertugas di kantor, setelah Sekutu mulai memakai tindakan kekerasan, maka anggota BPPI tidak lagi bertugas secara rutin di kantor. Mereka menjalankan tugas secara gerilya. Dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945–1950, Nasrul AS sewaktu bertugas sebagai Sekretaris BPPI Padang menyebutkan, dirinya dalam bekerja sehari-hari beralih tempat ke Masjid Pasar Gadang yang letaknya di seberang jalan. Dari masjid itulah, ia mengawasi kantor dan jika kelihatan ada pemuda atau orang datang yang gelagatnya perlu berurusan dengan BPPI, maka Nasrul AS datang menemui mereka untuk melayani. Demikianlah BPPI berjalan terus hingga kondisi Kota Padang aman.[2][1]
Bangunan
Gedung BPPI Padang terdiri dari dua lantai. Atap bangunan terbuat dari seng dengan bentuk atap pelana kuda. Pintu masuk berjumlah dua buah, berada di lantai satu yang terletak di bagian tengah. Bagian dalam ruangan memiliki lantai yang terbuat dari ubin tegel polos berwarna abu-abu. Adapun untuk menuju ke lantai dua, terdapat dua tangga di sudut kiri dan kanan gedung. Tangga terbuat dari kayu berlantai semen dan sudah dikeramik. Lantai atas berupa ruangan berlantai papan kayu. Sebelum gempa, lantai atas sempat difungsikan sebagai aula dan kerap dijadikan sebagai tempat pertemuan. Namun, setelah gempa pada 2009, lantai dua tidak lagi digunakan.[5]
Berdasarkan pengamatan BPCB Sumatera Barat, gempa 2009 mengakibatkan kondisi gedung mengalami kerusakan sekitar 50%. Sebagian besar dinding mengalami retak-retak dalam, atap mengalami kerusakan, dan sebagian langit-langit ambruk.[1]
Pada 2017, Pemerintah Kota Padang memulai rencana merevitalisasi gedung. Menurut rencana, gedung akan diifungsikan sebagai museum pejuang.[6]
Husein, Ahmad (1991). Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945–1950. Jilid 1. Jakarta: Badan Pemurnian Sejarah Indonesia Minangkabau. ISBN979-405-127-6.