Festival Lagu Populer Indonesia (disebut pula Festival Lagu Populer Tingkat Nasional atau FLPTN) adalah festival musik tahunan Indonesia yang dimulai pelaksanaannya sejak tahun 1973 hingga 1991.[1] Tujuan diadakannya lomba cipta lagu ini adalah untuk mencari lagu yang akan mewakili Indonesia di ajang World Popular Song Festival, festival lagu bertaraf Internasional yang diadakan di Tokyo, Jepang.
Sejarah
Indonesia sendiri sudah berpartisipasi di ajang internasional World Pop Song Festival (WPSF) sejak tahun 1971 dengan mengirimkan lagu Salam Mesra Dari Djakarta (With The Deepest Love Of Djakarta) ciptaan Mochtar Embut dan dibawakan Elly Sri Kudus, dan kemudian pada tahun 1972 mengirimkan lagu Before I Die ciptaan Mus K. Wirya dan dibawakan Tuty Ahem, meskipun tanpa mengadakan seleksi khusus. Barulah pada tahun 1973 diadakan semacam seleksi dalam bentuk Festival Cipta Lagu yang kemudian dikenal dengan nama Festival Lagu Populer Tingkat Nasional dan kemudian menjadi Festival Lagu Populer Indonesia.[1]
Meskipun maksud awalnya adalah untuk menyeleksi lagu terbaik yang akan mewakili Indonesia di tingkat internasional, pada perkembangannya festival ini juga menjadi tolok ukur kepiawaian pencipta sekaligus penyanyi yang berpartisipasi.[1] Bahkan kemudian Festival ini menjadi salah satu yang ditunggu kehadirannya setiap tahun oleh para penikmat lagu pop Indonesia karena album-album FLPI yang dirilis selalu menghasilkan lagu-lagu yang keren dan berhasil menjadi hits.
Baru pada tahun 1977, nama Indonesia bergaung di acara World Pop Song Festival tersebut. Tahun itu, Adjie Bandy berhasil memperoleh penghargaan dalam kategori Outstanding Song Award lewat lagu ciptaannya Damai Tapi Gersang, yang dinyanyikan secara duet dengan Hetty Koes Endang.[2] Kesuksesan tersebut membuat ajang FLPI menjadi ajang yang dinantikan oleh para komposer dan penyanyi Indonesia untuk bisa meraih sukses yang sama. Maka pada era 1980-an sederet komposer pun berlomba-lomba menampilkan karya terbaiknya di ajang ini seperti Elfa Secioria, Wieke Gur, Titiek Hamzah, Yovie Widianto, Anton Issoedibyo, Guruh Soekarno Putra, Tarida Hutauruk, Minggus Tahitoe dan beberapa nama lain.
Perkembangan
Festival Lagu Populer Indonesia mencapai masa kejayaannya pada pertengahan 80-an, dalam artian lagu-lagu yang dihasilkan berhasil memenangkan penghargaan Internasional sekaligus laris di pasaran. Tahun 1985 boleh dibilang panitia FLPI berhasil mendapatkan 12 lagu yang benar-benar 'terbaik'. Hampir semua lagu menjadi hits, dan pemenangnya pun bisa berbicara di Festival Internasional. Adalah lagu Burung Camar yang dibawakan Vina Panduwinata yang berhasil mendapatkan Kawakami Awards dalam World Pop Song Festival di Budokan Hall, Tokyo, Jepang.[3] Lagu lainnya yang berhasil jadi hits antara lain Satu Dalam Nada Cinta, Jingga, Selamat Datang Cinta dan Merah Hitam Cinta Kita.
Sayangnya, ketika Indonesia tengah getol mencetak prestasi di ajang kompetisi tingkat dunia, acara World Popular Song Festival itu pun ditiadakan pada tahun 1988 oleh pihak Yamaha Music Foundations. Meskipun demikian, penyelenggaraan Festival Lagu Populer Indonesia masih tetap berlanjut.
Seusai penyelenggaraan kompetisi pada tahun 1991, Festival Lagu Populer Indonesia resmi ditiadakan.[6]
Penyelenggaraan
Dalam penyelenggaraan setiap tahunnya, lagu-lagu finalis selalu diperkenalkan di TVRI dalam sebuah acara khusus. Dan tentu saja, penyelenggaraan malam finalnya juga selalu disiarkan oleh TVRI sehingga otomatis dilihat oleh seluruh masyarakat Indonesia. Hal inilah yang membuat lagu-lagu hasil FLPI meskipun terdengar lebih berat dibandingkan lagu-lagu pop komersial saat itu, dapat eksis dan menjadi hits ketika dirilis di pasaran.
Album kompilasi
Belum diketahui (data belum didapat) apakah di awal penyelenggaraannya, lagu-lagu dibuatkan album khusus, yang baru didapat adalah tahun 1975 sempat dibuat album para finalis, kemudian berlanjut dimulai tahun 1977 album khusus para finalis dirilis secara rutin.
Sejak tahun 1988 lagu-lagu pemenang pertama FLPI tidak diikutsertakan dalam album finalis FLPI, melainkan dirilis dalam album tersendiri setelah selesai mengikuti festival di luar negeri.[6]
Lagu jebolan FLPI yang paling sering dirilis ulang oleh penyanyi lain adalah lagu Dirimu Satu (FLPI 1981). Versi festival dibawakan oleh Bornok Hutauruk, dan di pasaran kemudian muncul versi lainnya dibawakan oleh antara lain Euis Darliah, Rita Monica, Pretty Sisters, Hutauruk Sisters, De Jollies, dan bahkan dirilis ulang oleh Seurieus Band pada era 2000-an.[6]
Saat bernyanyi di malam final FLPI 1985, Vina Panduwinata salah lirik ketika menyanyikan lagu Burung Camar. Beruntung lagu tersebut merupakan lagu baru dan belum dikenal sehingga tidak begitu diperhatikan.[6]
Kolaborasi pencipta Ibu dan Anak terjadi pada FLPI 1988. Kusdamarsasi Koesnoen memilih ibunya sendiri Nien K. Soerjo sebagai penulis lirik lagu Adakah Restumu.[6]
Setelah memenangi FLPI 1984 lewat lagu Aku Melangkah Lagi, Santoso Gondowijoyo tidak pernah menghasilkan lagu hits lagi, namanya bahkan tidak banyak dikenal sebagai komposer, meskipun lagu Aku Melangkah Lagi terhitung sukses.[6]