Estetika Resepsi atau estetika tanggapan merupakan estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada penerimaan/peresepsian dan tanggapan dari pembaca terhadap karya sastra. Sebuah karya sastra tidak dapat dilepaskan dari individu atau masyarakat yang meresepsi karya sastra tersebut.
Kata "resepsi" berasal dari bahasa Latin recipere (menerima, menanggapi). Kata estetika berasal dari bahasa Yunani αἴσθησις aísthesis (keindahan). Istilah "estetika resepsi" pertama kali dipakai oleh mazhab Konstanz dari Universitas Konstanz. Untuk itu, "estetika resepsi" adalah bagian dari teori sastra.
Tokoh sentral dari mazhab Konstanz (pada Universitas Konstanz) adalah Hans Robert Jauss, Manfred Fuhrmann, Wolfgang Iser dan Wolfgang Preisendanz.
Dasar Teori
Ada empat macam orientasi terhadap sebuah karya sastra:
- Mimetik (alam): Orientasi ini bertolak pada pandangan bahwa suatu karya sastra adalah gambaran atau rekaan dari dunia dan kehidupan manusia.[1] Karya sastra adalah sebagai tiruan alam atau penggambaran alam. Segala sesuatu yang terdapat dalam karya sastra adalah wujud yang terdapat di alam semesta. Segala isi yang ada di dunia ini menjadi ide yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.
- Objektif (karya sastra): Orientasi ini melihat karya sastra sebagai karya yang berdiri sendiri.[2] Karya sastra adalah objek yang mandiri dan memiliki dunianya sendiri.[3] Karya sastra menjadi objek tiruan alam. Sebuah karya sastra tidak akan mampu menjadi objek yang estetis tanpa meniru dari alam karena manusia hidup di alam dengan sarana-saranya yang ada di dunia, sehingga jika manusia menjadikan karya sastra tanpa tiruan dari alam maka mustahil karya sastra itu akan menimbulkan rasa bagi pembacanya.
- Ekspresif (pengarang): Orientasi ini menekankan analisis pada kemampuan pengarang dalam mengekspresikan atau menuangkan idenya dalam wujud sastra.[4] Seorang pengarang melihat kenyataan atau realitas alam lalu alam memunculkan sebuah ide dalam fikiran pengarang kemudian pengarang menuangkannya dalam sebuah karya sastra.
- Pragmatik (pembaca): Orientasi ini melihat kegunaan suatu karya sastra. Kegunaan ini dilihat dari segi hiburan, estetika, pendidikan, dan hal lainnya.[5] Pembaca ketika membaca sebuah karya sastra pasti akan melakukan sebuah tanggapan atau komentar tentang karya sastra yang dibacanya, karena dalam hal ini karya sastra melakukan defamiliarisasi dalam bentuk bahasanya sehingga defamiliarisasi mampu menggugahkan hati pembaca dengan rasa yang ada di jiwanya karena bahasa defamiliarisasi berbeda dengan bahasa praktis atau bahasa komunikasi. Pembaca mendapatkan sebuah rasa ketika membaca sebuah karya sastra karena karya sastra adalah memuat tentang tiruan alam sehingga pembaca mampu merasakan apa yang dibahas oleh kajian karya sastra tersebut.
Dari keempat orientasi tersebut di atas, teori estetika resepsi terletak pada orientasi pragmatik. Untuk itu estetika resepsi adalah teori pendekatan yang digunakan dalam menilai sebuah karya sastra. Estetika resepsi adalah ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan atau resepsi pembaca. Teori ini muncul karena karya sastra tidak mempunyai arti tanpa ada pembaca yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena ada pembaca yang menilainya.
Cakrawala Harapan: Teori Hans Robert Jauss
Masing-masing pembaca di dalam menanggapi sebuah karya sastra akan berbeda-beda. Hal ini terjadi karena perbedaan cakrawala harapan yang dimiliki oleh masing-masing pembaca. Cakrawala harapan (Erwartungshorizon) adalah harapan-harapan yang dimiliki pembaca sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Perbedaan cakrawala harapan dari antara para pembaca disebabkan oleh tingkat pendidikan, zaman, asal daerah, suku, dll. Untuk itulah resepsi dari masing-masing pembaca akan berbeda-beda sesuai dengan cakrawala harapan yang dimilikinya.
Telah dikatakan di atas, bahwa zaman juga dapat mempengaruhi cakrawala harapan pembaca. Untuk itu sebuah teks sastra memiliki sejarah peresepsian (Rezeptionsgeschichte). Masing-masing periode zaman memiliki peresepsian yang berbeda terhadap sebuah teks sastra. Teori sejarah peresepsian adalah merekonstruksi peresepsian sebuah karya sastra dengan melihat periodisasi peresepsian teks sastra tersebut.
Contoh peresepsian yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan: Cerita Ramayana versi Valmiki berbeda dengan cerita yang terdapat pada Kakawin Ramayana (disebut juga Ramayana Jawa Kuno). Dalam cerita Ramayana versi Valmiki tidak dijumpai cerita penjabaran ajaran sastra jendra oleh Wisrawa seperti yang terdapat dalam tradisi pewayangan Jawa. Cerita Ramayana yang diresepsi di Jawa akan berbeda dengan peresepsian di Thailand.
Pembaca Implisit: Teori Wolfgang Iser
Selain ada Pembaca Historis atau Pembaca Eksplisit, sebuah karya sastra juga memiliki pembaca implisit. Dikatakan pembaca implisit karena merupakan suatu instansi di dalam teks sastra yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks sastra dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca dalam membaca teks itu dengan cara tertentu.
Lihat pula
Literatur
- Umberto Eco: Lector in fabula. Die Mitarbeit der Interpretation in erzählenden Texten. München (3. Auflage) 1998.
- Roman Ingarden: Vom Erkennen des literarischen Kunstwerks. Tübingen 1968.
- Wolfgang Iser: Die Appellstruktur der Texte. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. München (4. Auflage) 1994, S. 228–252.
- Hans Robert Jauß: Literaturgeschichte als Provokation der Literaturwissenschaft. In: R. Warning (Hrsg.): Rezeptionsästhetik. 4. Auflage. München 1994, S. 126–162.
- Wolfgang Kemp (Hrsg.): Der Betrachter ist im Bild. Kunstwissenschaft und Rezeptionsästhetik. Ostfildern 1991.
- Ulrich H. J. Körtner: Der inspirierte Leser. Göttingen 1994.
- Christoph Metzger: Mahler-Rezeption. Perspektiven der Rezeption Gustav Mahlers. Wilhelmshaven 2000.
- Horst Turk: Wirkungsästhetik. Theorie und Interpretation der literarischen Wirkung. edition text, München 1976.
- Harald Weinrich: Für eine Literaturgeschichte des Lesers. In: Ders.: Literatur für Leser. Stuttgart 1970, S. 23–34.
- Klaus Semsch, Artikel Rezeptionsästhetik. In: Historisches Wörterbuch der Rhetorik, hrsg. v. Gert Ueding. Niemeyer, Tübingen 1992 ff., Bd. 7 (2005), 1363–1374.
- Simone Winko, Tilmann Köppe: Kap. 6 Rezeptionsästhetik. In: Dies. (Hrsg.): Neuere Literaturtheorien. Eine Einführung. Metzler 2008, ISBN 978-3-476-02059-8, S. 85–96.
Referensi
- ^ Atar Semi (1989). Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. hlm. 11-14. ISBN 979-404-457-1.
- ^ Ibid.
- ^ Ibid.
- ^ Ibid.
- ^ Ibid.
Pranala luar